Mengurai Benang Kusut Phubbing

Anisya Rahmadani
Mahasiswa Program Studi Pendidikan Sosiologi dan Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Negeri Semarang
Konten dari Pengguna
26 April 2024 10:26 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anisya Rahmadani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi bermain gadget sambil tiduran. Foto: Julija Sulkovska/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi bermain gadget sambil tiduran. Foto: Julija Sulkovska/Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Phubbing memang telah menjadi fenomena yang ironis di tengah kemajuan teknologi komunikasi. Gadget, yang seharusnya menjadi alat yang memperkaya interaksi sosial, malah sering kali menjadi penghalang antara kita dengan orang-orang di sekitar. Kita terpaku pada layar kecil, mengejar notifikasi dan update terbaru, sementara mengabaikan mereka yang secara fisik hadir bersama kita.
ADVERTISEMENT
Ketergantungan kita pada gadget telah menciptakan paradoks yang Ketika kita semakin terhubung secara virtual, semakin terisolasi kita secara nyata. Pada setiap waktu kita sering berbagi tawa dengan teman di media sosial, namun lupa bagaimana rasanya tertawa bersama teman yang duduk di samping kita.
Kita mengirim emoji hati dan ciuman, tapi menghindari pelukan dan tatapan mata yang sebenarnya. Phubbing telah mengubah dinamika interaksi manusia, menggantikan kehangatan tatap muka dengan dinginnya komunikasi digital. Bagi sebagian mahasiswa, phubbing sangat mengganggu kualitas hubungan interpersonal dan interaksi sosial yang sebenarnya.
Mereka merasa bahwa penggunaan ponsel secara berlebihan menghalangi kemampuan kita untuk berkomunikasi secara efektif dan menghargai kehadiran orang lain di sekitar kita.
ADVERTISEMENT
"Ketika teman-teman saya phubbing, itu membuat saya merasa diabaikan dan tidak dihargai," kata seorang mahasiswa. "Kami datang bersama-sama untuk berinteraksi, bukan untuk bersama-sama tetapi terhubung dengan ponsel kami sendiri."
Namun, ada juga mahasiswa yang berpendapat bahwa phubbing tidak selalu negatif. Mereka menganggap bahwa penggunaan ponsel dapat menjadi alat untuk tetap terhubung dengan orang lain di luar lingkungan fisik mereka, terutama dalam konteks hubungan jarak jauh atau ketika membutuhkan bantuan dalam situasi darurat.
"Saya tidak melihat masalah dengan menggunakan ponsel saya ketika itu adalah cara untuk berkomunikasi dengan teman-teman atau keluarga yang tidak berada di sekitar saya," kata mahasiswa lainnya. "Ini adalah cara untuk tetap terhubung di dunia yang terus bergerak."
ADVERTISEMENT
Dalam era digital yang semakin mendominasi kehidupan kita, fenomena phubbing telah menjadi simbol dari bagaimana ketergantungan pada teknologi dapat merusak kesehatan mental manusia secara signifikan.
Melalui perangkat ponsel yang selalu terhubung dengan internet dan media sosial, individu sering kali tenggelam dalam dunia virtual yang tak terbatas, mengorbankan kesejahteraan psikologis mereka dalam prosesnya.
Keterlibatan yang berlebihan dalam media sosial dan penggunaan ponsel yang tidak terkendali telah terbukti menjadi pemicu utama bagi berbagai gangguan kesehatan mental, mulai dari kecemasan hingga
depresi. Pada tingkat yang lebih dalam, phubbing mengindikasikan ketidakmampuan individu untuk memisahkan diri dari dunia digital, mengganggu keseimbangan yang penting antara kehidupan online dan offline. Ini tidak hanya menguras waktu yang berpotensi berharga untuk refleksi diri dan relaksasi, tetapi juga menghalangi proses pemulihan mental yang diperlukan.
ADVERTISEMENT
Dengan menyerap diri dalam interaksi online yang serba cepat dan kadang-kadang merusak, individu kehilangan kontak dengan realitas yang lebih luas di sekitar mereka. Hal ini dapat mengarah pada perasaan terisolasi, kurangnya koneksi sosial yang nyata, dan perasaan kesepian yang meningkat.
Sebagai gantinya, phubbing membawa kita ke dalam spiral negatif di mana penggunaan teknologi yang berlebihan memperkuat gejala-gejala gangguan kesehatan mental yang sudah ada, menciptakan lingkaran setan yang sulit diputuskan.
Dalam lanskap sosial yang semakin terintegrasi dengan teknologi, phubbing telah menjadi sinyal yang kuat tentang bagaimana kehadiran perangkat elektronik dapat merusak norma-norma etika dan tata krama dalam interaksi manusia. Ketika seseorang lebih memilih untuk tenggelam dalam dunia digital daripada memberikan perhatian penuh kepada orang yang
ADVERTISEMENT
berbicara dengan mereka, itu tidak hanya merupakan bentuk ketidakpedulian, tetapi juga menyampaikan pesan yang mengganggu bahwa perangkat elektronik memiliki prioritas yang lebih tinggi daripada hubungan manusiawi yang sedang berlangsung.
Dengan demikian, perilaku phubbing ini tidak hanya mengurangi rasa hormat terhadap orang lain, tetapi juga mengganggu kualitas komunikasi interpersonal yang sehat. Ketika seseorang terus-menerus terpaku pada perangkat elektronik mereka, mereka secara tidak langsung menunjukkan ketidakberpihakan terhadap orang yang berinteraksi dengan mereka, memotong ikatan emosional yang seharusnya terjalin dalam pertukaran kata dan pandangan.
Hal ini dapat menciptakan perasaan diabaikan dan merusak kualitas interaksi sosial, mengubahnya menjadi pertukaran mekanis tanpa kedalaman emosional. Dengan demikian, phubbing tidak hanya mengganggu norma-norma etika dasar seperti kesopanan dan penghargaan, tetapi juga menghambat perkembangan hubungan interpersonal yang bermakna dan memuaskan.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, phubbing juga dapat menciptakan efek domino negatif dalam komunitas sosial secara keseluruhan. Saat satu individu mempraktikkan phubbing, tindakan tersebut dapat menyebar ke orang lain, menciptakan lingkaran setan dari ketidakpedulian dan kurangnya kesadaran akan kebutuhan akan koneksi manusiawi yang autentik. Ini bisa memicu spiral negatif di mana norma-norma etika sosial menjadi terkikis, dan kehadiran fisik diabaikan demi menyelamatkan kehadiran virtual yang semu.
Di tengah kemajuan teknologi yang mempesona, kita menyaksikan fenomena paradoksal yang mengguncang inti keberadaan kita: kita lebih memilih menyelam dalam lautan media sosial daripada menemukan kedalaman hubungan manusiawi yang sejati.
Dari meja makan hingga ruang pertemuan, bahkan hingga tempat paling intim seperti kamar tidur, kita tertangkap dalam belenggu ponsel cerdas kita, lebih mengutamakan pesan teks dan pembaruan status daripada kehadiran emosional yang autentik di sekitar kita.
ADVERTISEMENT
Pada meja makan, yang seharusnya menjadi tempat untuk berkumpul dan berbagi momen dengan keluarga, kita malah tenggelam dalam aliran tak berujung dari notifikasi media sosial. Diskusi hangat dan tawa bersama tergantikan oleh keramaian di layar, merusak ikatan yang seharusnya menguatkan keluarga kita.
Di ruang pertemuan, tempat dimana ide-ide harusnya bermekaran dan gagasan dipertukarkan, kita malah terpecah antara perbincangan yang sedang berlangsung dan pesan teks yang mendesak, membagi perhatian kita dan merusak kolaborasi yang seharusnya produktif.
Namun, paradoks ini mencapai puncaknya di kamar tidur, tempat yang seharusnya penuh dengan keintiman dan kebersamaan dengan pasangan. Namun, alih-alih berbagi momen pribadi dan mendalam, kita lebih memilih menyelam dalam lautan maya, merelakan momen kebersamaan yang berharga untuk ditukar dengan guliran tak berujung dari halaman web.
ADVERTISEMENT
Kita hidup dalam dunia yang semakin terhubung secara digital, di mana jumlah ‘teman’ online kita melonjak tinggi, tetapi paradoksnya, kita semakin terisolasi dari kehadiran manusia sejati di sekitar kita. Kita menghabiskan waktu dengan menggulir halaman-halaman media sosial, mencari pengakuan dalam bentuk ‘likes’ dan ‘comments’, tetapi tanpa menyadari, kita justru kehilangan makna dari sebuah hubungan yang sejati.
Kita mengejar kepopuleran dalam bentuk pengikut yang banyak, tetapi melupakan kehangatan dan keintiman dari persahabatan yang sejati. Kita perlu menghadapi kenyataan bahwa teknologi yang seharusnya mendekatkan kita, justru memisahkan kita dari kualitas hubungan yang bermakna.
Kita perlu kembali menghargai kehadiran fisik dan emosional dari orang-orang di sekitar kita, dan menyadari bahwa kebahagiaan sejati tidak dapat diukur dalam jumlah pengikut atau ‘likes’, tetapi dalam keintiman dan koneksi yang kita bagikan dengan orang-orang yang kita cintai.
ADVERTISEMENT
Phubbing bukan hanya masalah individu, tetapi juga masalah kolektif yang membutuhkan solusi bersama. Kita perlu membangun kesadaran akan pentingnya menjaga keseimbangan antara dunia nyata dan virtual. Ini bisa dimulai dari hal-hal sederhana seperti menetapkan aturan untuk tidak menggunakan ponsel selama makan malam, atau memutuskan untuk tidak membawa ponsel ke tempat tidur.
Kita juga perlu menghargai nilai dari komunikasi langsung, yang tidak hanya melibatkan kata-kata, tetapi juga ekspresi wajah, bahasa tubuh, dan energi emosional yang tidak bisa ditransmisikan melalui layar. Phubbing tidak hanya merampas waktu berkualitas yang seharusnya kita habiskan bersama orang yang kita sayangi, tetapi juga secara tidak langsung mengirimkan pesan bahwa dunia maya lebih penting daripada mereka yang ada di hadapan kita.
ADVERTISEMENT
Ini adalah sebuah paradoks komunikasi yang mencerminkan ketidakseimbangan antara kehidupan nyata dan virtual. Namun, tidak semua harapan hilang. Dampak phubbing tidak hanya terbatas pada kualitas hubungan interpersonal kita, tetapi juga pada kesehatan mental.
Keresahan, kesepian, dan perasaan tidak dihargai dapat muncul ketika kita lebih memilih interaksi dengan dunia maya daripada dengan orang yang kita cintai. Ini adalah alarm bagi kita untuk merefleksikan bagaimana kita menggunakan teknologi dalam kehidupan sehari-hari.
Untuk mengatasi keresahan ini, kita perlu mengambil langkah-langkah konkret. Misalnya, menetapkan ‘zona bebas gadget’ di waktu makan atau pertemuan keluarga, atau ‘jam digital detox’ di mana kita secara sadar meletakkan gadget dan menghabiskan waktu untuk berinteraksi langsung.
Kita juga bisa memulai percakapan tentang pentingnya hadir secara penuh, baik secara fisik maupun mental, dalam setiap interaksi. Melalui upaya-upaya kecil ini, kita dapat mulai mengurai benang kusut phubbing dan membangun kembali jembatan komunikasi yang sehat.
ADVERTISEMENT
Kita dapat menemukan kembali kehangatan dalam hubungan yang telah lama kita abaikan karena terlalu sibuk ‘menatap layar, melupakan dunia’. Kesadaran akan dampak negatif phubbing dapat menjadi langkah pertama untuk mengubah perilaku kita.
Dengan membatasi penggunaan gawai di momen-momen penting dan memprioritaskan interaksi langsung, kita dapat perlahan-lahan mengurai benang kusut yang telah kita ciptakan. Mari kita mulai dengan mengakui bahwa setiap orang yang hadir di kehidupan kita memiliki nilai yang tak tergantikan, dan layak mendapatkan perhatian penuh kita, tidak hanya sekedar sisa waktu dari dunia maya.