WHO: Sehat Fisik, Mental, dan Sosial

Abdul Rakan Jamaludin
Apoteker, Praktisi Penyembuhan Holistik - Alumnus FFS UHAMKA - Founder Situs www.LindungiDiri.id
Konten dari Pengguna
30 April 2024 9:53 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Abdul Rakan Jamaludin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi: Wanita Sehat. Foto oleh MART  PRODUCTION dari Pexels: https://www.pexels.com/id-id/foto/sehat-wanita-perempuan-kaum-wanita-7880007/
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi: Wanita Sehat. Foto oleh MART PRODUCTION dari Pexels: https://www.pexels.com/id-id/foto/sehat-wanita-perempuan-kaum-wanita-7880007/
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Saya ingin mengulang pengertian sehat menurut WHO, “World Health Organization”, yakni, “keadaan yang sempurna baik fisik, mental maupun sosial, tidak hanya terbebas dari penyakit atau kelemahan/cacat.” Jika merujuk pada apa yang didefinisikan WHO, syarat sehat begitu luas: tidak terbatas pada penyakit fisik, kelemahan, kecacatan. Lebih dari itu, harus sempurna fisik, mental, maupun sosial. Dan, seperti yang kita tahu, hampir dalam setiap kesempatan yang melibatkan harapan dan doá, yang diminta adalah panjang umur dan sehat.
ADVERTISEMENT
Masalahnya, jika kita kaji lebih lanjut, apalagi dengan berpegang pada apa yang dirumuskan WHO, saya berani katakan bahwa sejatinya tidak ada orang yang sehat 100%. Katakan saja seseorang sempurna secara fisik, tidak ada keluhan sakit, mental pun baik-baik saja. Tapi ia tidak mampu bersosial, tidak mampu bermasyarakat, maka ia sakit secara sosial. Atau jika dibalik, ia mahir bersosial, fisik sempurna, tidak ada keluhan sakit secara badani, tapi dalam pikiran ia memendam perasaan dendam, tidak mampu memaafkan, maka ia sakit secara mental. Demikian analogi seterusnya bisa dibolak-balik, hingga sampai pada satu kesimpulan bahwa semua orang itu pada dasarnya sedang sakit.
Andaikata ingin memenuhi harapan WHO, banyak Pekerjaan Rumah yang harus kita tempuh. Secara badani, kita harus memahami aspek anatomi dan fisiologi dalam tubuh, hal ini berguna untuk memahami cara kerja, fungsi organ, sistem organ dalam tubuh. Kemudian berlanjut kepada pemahaman patofisiologi, yang berguna untuk memahami penyebab satu penyakit yang didasarkan pada disfungi atau malfungsi suatu organ. Secara total, Kamu memerlukan waktu kurang lebih selama 6-7 tahun untuk menyelesaikan rangkaian pendidikan untuk menjadi seorang dokter, yang notabene bertujuan untuk memahami tubuh dan masalahnya. Belum kalau berlanjut ke spesialis, bisa lebih lama lagi.
ADVERTISEMENT
Lanjut kepada pemahaman mental, di mana bagian ini tak kalah luas. Kuliah Jurusan Psikologi ditempuh dalam waktu 3,5 sampai 4 tahun dengan 144 SKS, hanya untuk memahami mental dan karakteristik manusia. Lanjut lagi kepada aspek sosial, dan mungkin ini bagian yang paling luas. Hampir 24 jurusan kuliah yang berkaitan dengan tema sosial: Politik, Komunikasi, Kesejahteraan Sosial, Administrasi, Hubungan Internasional, Hukum, Relasi Publik dan seterusnya.
Saya membayangkan, bagaimana seseorang yang, katakan, tidak berkuliah kedokteran bisa memahami fisik secara lebih baik. Bagaimana seseorang yang tidak kuliah tentang psikologi mampu memahami mental secara utuh. Bagaimana orang tidak berkuliah jurusan sosial bisa bersosial dengan lancar.
Faktanya, ada banyak orang yang bahkan tidak mendalami ilmu fisik, mental dan sosial, bisa sehat secara fisik, mental, dan sosial. Bahkan, saya yang berkuliah di jurusan farmasi hingga Apoteker, yang seharusnya lebih mampu memahami aspek fisik, belum sepenuhnya memahami cara kerja badan. Ironi yang terjadi, banyak tenaga medis yang malah sakit-sakitan. Banyak psikolog yang malah kena penyakit mental. Banyak sosiolog yang malah tak pandai bersosial.
ADVERTISEMENT
Kalau dibuat lebih rinci, seorang praktisi medis, dalam banyak kesempatan ia memahami fisik secara lebih utuh, tapi di saat yang sama, ia pun tidak banyak bersinggungan dengan bidang psikologi dan sosial, sehingga tidak jarang ada praktisi medis yang bermasalah secara mental dan tidak mampu bersosial dengan lebih baik terhadap pasien yang ia layani. Seorang psikolog yang sedikit bersinggungan dengan ilmu badani, tidak mampu merawat badan sehingga menjadi sakit-sakitan. Ini sekedar contoh saja, tidak ada niat saya untuk menjelekkan profesi tertentu.
Memang, jika kita mengacu pada apa yang dirumuskan WHO mengenai sehat, sudah tentu banyak yang salah dengan kita semua. Kita semua boleh jadi sudah divonis tidak sehat 100%. Jika situasinya seperti itu, apa kabar mereka yang tak memahami ilmu anatomi fisiologi manusia? Apa kabar mereka yang tidak mempelajari ilmu psikologi? dan Apa kabar mereka yang tidak berkuliah jurusan sosial? Atau bahkan, apa kabar mereka yang tidak tahu definisi sehat itu sendiri? Lebih mendasar lagi, apa kabar mereka yang bahkan tidak tahu apa itu WHO? Bagaimana mereka bisa survive dan bahkan tetap bisa sehat secara mental, fisik dan sosial?
ADVERTISEMENT
Terus terang, saya tidak memiliki jawabannya.
Yang saya pahami adalah seperti ini: Sadari saja bahwa kita memang tidak mengerti apa itu sehat. Sadari betul bahwa kita memang tidak pernah tahu mengenai arti sehat yang hakiki. Akui saja bahwa dalam beberapa hal kita sehat dan sakit secara bersamaan, meski kita juga tak paham apa itu sakit, rasa sakit, dan penyakit yang sesungguhnya. Akui saja bahwa kita lebih banyak tidak pahamnya tentang suatu hal ketimbang pahamnya.
Jika kita sudah berada di fase mengakui ketidaktahuan, terlebih tentang konsep sehat. Saatnya kita mencari tahu. Jika malas mencari tahu, saatnya kita mencari orang yang tahu. Saat bertemu dengan orang yang lebih tahu, saatnya kita diam menyerap pengetahuan tersebut. Dalam konteks menggapai sehat ala WHO, yakni sehat Fisik, Mental, dan Sosial. Akui saja jika kita belum tahu konsep sehat ala WHO. Setelah mengetahu sedikit pengertiannya, lanjutkan dengan tahapan kita mencari tahu tentang apa itu fisik, mental, dan sosial. Jika malas, cari orang yang mengetahui dan menguasai topik tersebut. Paling tidak, itu Pekerjaan Rumah yang paling mendasar.
ADVERTISEMENT
Setelah itu apa?
Lakukan saja hal yang menjadi fokusmu. Lanjutkan hal yang menjadi bidangmu. Jika profesimu adalah tukang tambal ban, lanjutkan profesimu itu. Banyak yang tertolong dengan hadirnya dirimu sebagai tukang tambal ban. Namun, jika kamu sakit, atau merasakan ketidaknyamanan dalam tubuhmu, hubungi dokter, periksa, biar diresepkan obat yang sesuai, agar tubuhmu kembali sehat. Ketika ada ketidaknyamanan dalam mentalmu, kontak psikolog atau paling tidak orang yang memahami secara benar mengenai mental. Ceritakan keluh kesahmu agar mendapat arahan yang sesuai. Jika kamu susah bersosial, belajar pada orang yang cair dalam bersosial, buka dirimu. Tanyakan kepada orang asyik itu bagaimana caranya menjadi asyik, alih-alih mengurung diri dan berlindung di bali kalimat, "Aku tipikal orang pendiam. Introvert. Susah ngomong. Gak suka keramaian."
ADVERTISEMENT
Lalu bagaimana jika berikutnya kita dihadapkan pada satu kondisi bahwa pengertian sehat itu tidak sesuai lagi dengan apa yang digambarkan WHO? Ya tidak masalah. Lagi pula dalam hidup ini tidak ada satu hal yang mutlak. Setiap hal akan mengalami perubahan termasuk dalam perkara definisi. Dalam hal ini tugasmu menjadi lebih sederhana: laksanakan pekerjaanmu saat ini dengan sepenuh hati. Itu yang pertama. Untuk hal yang belum kamu tahu persis, karena berada di luar bidangmu, jangan minder untuk mengaku tidak tahu. Karena itu merupakan gerbang awal agar kita terus mencari tahu.
Sebagai penutup, saya juga ingin katakan bahwa definisi sehat menurut WHO ini kemungkinan belum final, boleh jadi akan berubah suatu hari nanti seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Selalu siapkan diri untuk menghadapi segala perubahan, termasuk perubahan definisi. Jangan kagetan. Jangan rigid. Terus buka diri. Salam sehat[]
ADVERTISEMENT