The Power of Open Source, Gratis Tak Lagi Alternatif

Iwan Santosa
Media and Communication Practitioner / Master of Computer Science / Postgraduate UK Maranatha
Konten dari Pengguna
23 Maret 2024 11:31 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Iwan Santosa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi software gratis. Foto: dok.Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi software gratis. Foto: dok.Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Perangkat lunak open source dalam pemahaman kebanyakan orang adalah software gratis, tidak berbayar. Persepsi kebanyakan orang terhadap barang gratis tentunya adalah sesuatu yang mutu dan performanya di bawah barang branded, atau yang berharga mahal.
ADVERTISEMENT
Open-source software juga sering diasosiasikan sebagai software kelas dua yang biasanya diinstal pada device murah. Contohnya pada laptop yang preinstalled dengan sistem operasi berbasis Linux. Harga laptopnya cenderung lebih murah daripada varian yang bundling dengan OS Windows.
Hal itu menambah kesan bahwa open-source software adalah software alternatif kelas dua, bila dibandingkan dengan proprietary software yang biasanya berharga cukup tinggi dan dipandang lebih bergengsi.

Open Source Bukan Semata-mata Gratis

Konsep free dalam istilah “free and open-source software” (FOSS) sebetulnya bukan tentang gratis dalam hal harga, tetapi free dalam hal kebebasan untuk digunakan, dipelajari, dikembangkan, dimodifikasi, dan didistribusikan.
Open source merujuk pada sesuatu yang dapat dimodifikasi dan dibagikan oleh siapa pun karena rancangannya terbuka dan dapat diakses oleh publik.
ADVERTISEMENT
Pengertian open-source software berdasarkan definisi pada situs opensource.com adalah software atau perangkat lunak dengan source code yang dapat dilihat, dimodifikasi, dan dikembangkan oleh siapa pun.
Istilah open-source software konon lahir untuk menggantikan (atau memperluas) istilah free software yang banyak dipersepsikan secara salah. Keduanya memiliki perbedaan konsep.
Perangkat lunak atau aplikasi open source ternyata memiliki banyak kelebihan dibandingkan dengan proprietary software, atau lebih dikenal sebagai perangkat lunak komersial atau berbayar – yang tentunya tidak gratis.
Contoh proprietary software yang populer antara lain adalah Microsoft Windows, Microsoft Office, Adobe Photoshop, Adobe Premiere Pro, dan CorelDRAW. Kelimanya jelas tidak gratis. Bahkan, ada yang harganya di luar jangkauan kalangan perorangan.

Bila Bagus, Mengapa Bisa Gratis?

Open-source software mempunyai keunggulan yang tidak dimiliki oleh proprietary software. Salah satu faktor keunggulannya adalah karena open-source software umumnya dikembangkan bersama-sama oleh komunitas yang biasanya berjumlah besar. Oleh karena itu, proses pengembangan, update, dan bug fixing menjadi sangat cepat dibandingkan dengan proprietary software.
ADVERTISEMENT
Faktor lainnya adalah dari sisi software security atau keamanan. Dengan banyaknya programmer yang terlibat dalam pengembangan, dan semuanya dapat melihat source code yang dikembangkan bersama-sama dengan programmer-programmer lainnya, maka bila terdapat bug, holes, ataupun hal-hal yang mengancam keamanan software, dapat terdeteksi dan diatasi dengan cepat.
Pertanyaan itu lumrah ditanyakan oleh orang yang belum terbiasa dengan konsep open source. Wajar ditanyakan, karena sebuah produk yang bagus pasti membutuhkan biaya pengembangan yang tidak sedikit. Bila produknya gratis, dari mana datangnya biaya untuk melakukan riset dan pengembangannya?
Bila kita menelusuri model bisnis yang diterapkan di sekitar produk-produk open source, kita akan menemukan bahwa perputaran uang mungkin tidak terjadi di produk perangkat lunak open source itu sendiri, tetapi di ekosistem lainnya yang mendayagunakan produk open source tersebut.
ADVERTISEMENT

Dukungan Brand Global

Selain itu, produk-produk open source berskala besar umumnya didukung kontribusi dan pendanaan dari para donatur yang jumlahnya tidak kecil.
Contohnya adalah Linux, sistem operasi open source yang sangat populer, baik di kalangan pengguna PC, apalagi di dunia server. Donatur dan kontributor Linux terbesar ternyata datang dari merek-merek komersial top dunia, antara lain Intel, Huawei, Samsung, IBM, Google, AMD. Bahkan, Microsoft pun saat ini mendukung dan ikut serta dalam pengembangan open source.
Tidak hanya ikut serta dalam pengembangan Linux, Microsoft sampai-sampai mengakuisisi GitHub, komunitas open source terbesar di dunia. Padahal, sebelumnya Microsoft dengan sistem operasi Windows-nya dikenal oleh para pengguna PC sebagai kompetitor dari Linux.

Open Source vs Proprietary

Open-source software dengan segala kelebihannya sangat menarik untuk digunakan, baik dalam kebutuhan komputasi sehari-hari ataupun untuk menunjang pekerjaan.
ADVERTISEMENT
Mungkin tidak kita sadari, perangkat lunak open source sudah menjadi bagian penting dari kehidupan kita sebagai warganet masa kini. Contohnya adalah Android. Perangkat lunak sistem operasi mobile besutan Google ini tertanam di hampir semua smartphone yang kita gunakan sehari-hari.
Android adalah sistem operasi berbasis open source yang merajai pasar smartphone, dengan kompetitor terbesar iOS milik Apple di kubu proprietary software.
Bagaimana bila Anda adalah pengguna iPhone fanatik yang enggan menyentuh Android? Kemungkinan besar Anda juga masih dikepung dengan open source.
Tidak percaya?
Bila Anda sering membuka Instagram, nonton YouTube, atau hanya sekadar googling, Anda sudah bersentuhan dengan open source karena server di balik Instagram, YouTube, dan Google search engine dijalankan menggunakan sistem berbasis Linux yang open source.
ADVERTISEMENT

Full Open Source, Full Gratis

Bisakah kita sepenuhnya mengandalkan perangkat lunak open source untuk kebutuhan sehari-hari?
Saya mencoba menjawab pertanyaan itu dengan pengalaman nyata.
Beberapa tahun terakhir ini saya beraktivitas sehari-hari ditemani laptop yang semua aplikasinya open source. Mulai dari operating system (OS), office suite (untuk mengetik, mengolah tabel, membuat presentasi ppt, dll.), browser, photo editing, video editing, mendesain poster, sampai online meeting, semuanya menggunakan open source.
Perangkat lunak yang paling sering saya gunakan adalah LibreOffice, Mozilla Firefox, GIMP, Kdenlive, dan Inkscape. Sistem operasi yang saya pilih adalah Ubuntu (mulai dari versi Bionic Beaver sampai yang terbaru saat ini, Jammy Jellyfish).
Selain itu, ada juga aplikasi-aplikasi pendukung lainnya untuk sorting foto, mengolah file pdf, menonton video, dan hal-hal pendukung aktivitas digital lainnya.
ADVERTISEMENT
Memang, beberapa minggu pertama masih terasa agak kikuk karena sebelumnya saya sudah terbiasa menggunakan Windows dan macOS. Namun, adaptasinya berjalan mulus dan akhirnya jadi terbiasa.
Setelah sekian lama, ternyata bisa juga saya mengandalkan open source. Hampir semua kebutuhan netizen melek digital bisa saya lakukan menggunakan laptop yang isinya full open source dan full gratis – kecuali perangkat laptopnya.
Mengutip Dirk-Peter van Leeuwen beberapa tahun lalu, saat menjabat Senior Vice President and General Manager Red Hat wilayah Asia Pasifik (dilansir Kumparan, 4/10/2019), “Open source memiliki kekuatan tidak hanya meningkatkan sistem teknologi informasi, tetapi juga mentransformasi cara kita berinteraksi dan menyelesaikan masalah secara kolektif. Sangat menggembirakan melihat begitu banyak perusahaan menggunakan open source untuk meraih kemampuan transformasi yang hebat.”
ADVERTISEMENT
Terbukti, perangkat lunak open source tidak bisa dianggap hanya sebagai alternatif. ~IS