Arief Hidayat: 5 Kali Pilpres Tak Ditemukan Cawe-Cawe, 2024 Presiden Tak Netral

23 April 2024 12:50 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Hakim Konstitusi Arief Hidayat mengikuti sidang perdana perselisihan hasil Pemilu (PHPU) atau Pilpres 2024 di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (27/3/2024). Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Hakim Konstitusi Arief Hidayat mengikuti sidang perdana perselisihan hasil Pemilu (PHPU) atau Pilpres 2024 di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (27/3/2024). Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Hakim Konstitusi Arief Hidayat menilai ada perbedaan yang terjadi dalam Pilpres 2024 dibanding pilpres yang sudah terselenggara sebelumnya. Perbedaan itu yakni terkait dugaan intervensi pemerintah untuk memenangkan calon tertentu.
ADVERTISEMENT
"Mencermati dan memaknai penyelenggaraan Pemilu serentak tahun 2024 yang secara umum amat berbeda dari penyelenggaraan Pemilu pada tahun 1999, tahun 2004, tahun 2009, tahun 2014, dan tahun 2019. Perbedaan ini terletak pada adanya dugaan intervensi kuat dari sentral cabang kekuasaan eksekutif yang cenderung dan secara jelas mendukung calon tertentu dengan segenap infrastruktur politiknya," bunyi pertimbangan dissenting opinion Arief Hidayat dalam putusan Gugatan Pilpres 2024 dikutip dari situs MK pada Selasa (23/4).
Menurut dia, anggapan bahwa Presiden boleh berkampanye merupakan justifikasi yang tak dapat diterima oleh nalar yang sehat dan etika yang peka.
Ia menyebut bahwa UU Pemilu memang membolehkan Presiden untuk berkampanye. Namun, hanya ketika Presiden tersebut akan mencalonkan diri kembali dalam kontestasi Pemilihan Presiden/Wakil Presiden untuk kali kedua.
ADVERTISEMENT
"Artinya, Presiden boleh berkampanye ketika posisinya adalah sebagai pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden dan bukan berkampanye untuk mempromosikan pasangan calon Presiden tertentu atau pun yang didukungnya," tegas Arief yang juga Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Diponegoro itu.
"Oleh karena itu, apabila Presiden/Wakil Presiden turut mengkampanyekan calon yang didukungnya maka tindakan ini telah mencederai prinsip moral dan etika kehidupan berbangsa dan bernegara yang seharusnya dijunjung tinggi," sambungnya.
Jokowi dan Iriana nyoblos di TPS 10 Gambir Foto: Vico/Biro Pers Sekretariat Presiden
Arief menambahkan, sudah ada lima kali Pilpres yang terselenggara. Mulai dari 2004, 2009, 2014, 2019, serta 2024. Namun, pemilu 2024 menjadi paling gaduh.
"Sejak Pemilu Presiden/Wakil Presiden tahun 2004, 2009, 2014, dan 2019 tak pernah ditemukan pemerintah turut campur dan cawe-cawe dalam Pemilihan Presiden/Wakil Presiden," ujar Arief.
ADVERTISEMENT
"Akan tetapi, pada Pemilihan Presiden/Wakil Presiden 2024, terjadi hiruk pikuk dan kegaduhan disebabkan secara terang-terangan Presiden dan aparaturnya bersikap tak netral bahkan mendukung Pasangan Calon Presiden tertentu," pungkasnya.