Ilustrasi DPR enggan pindah ke IKN

Enggan ke IKN, Anggota DPR Ingin Jakarta Jadi Ibu Kota Legislasi

25 Maret 2024 20:09 WIB
·
waktu baca 12 menit
comment
36
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Hanya butuh 42 hari bagi pemerintahan Jokowi dan DPR RI untuk mengesahkan Rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negara Nusantara (RUU IKN) menjadi Undang-Undang pada 2022 lalu. Indonesia resmi memiliki ibu kota baru yang berlokasi di Kutai Kartanegara dan Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur.
Proses legislasinya terbilang mulus. Dari 9 partai di parlemen, hanya PKS yang menolak pemindahan ibu kota negara. Sementara 8 partai lainnya setuju. Berikutnya, nasib Jakarta sebagai “mantan ibu kota” diatur melalui RUU Daerah Khusus Jakarta (DKJ).
Meski demikian, mulusnya pembuatan beleid IKN tak semulus niat kepindahan pembuatnya, yakni para anggota Dewan. Dalam rapat-rapat Panitia Kerja RUU DKJ antara Badan Legislasi DPR dan pemerintah (diwakili antara lain oleh Kementerian Dalam Negeri dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional), DPR memunculkan wacana agar Jakarta jadi pusat legislasi nasional.
Kubah megah Gedung Nusantara DPR atau Gedung Kura-Kura di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (19/5/2022). Foto: Aprillio Akbar/Antara Foto
Wacana Jakarta sebagai pusat legislasi nasional itu mencuat kala Baleg DPR dan pemerintah tengah membahas daftar inventarisasi masalah (DIM) RUU DKJ. Di tengah kebuntuan dalam mencari kekhususan provinsi Jakarta setelah tak lagi jadi ibu kota, legislator PKS Hermanto mengusulkan agar ibu kota negara dipisah sesuai cabang pemerintahan yang ada, yakni eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Berdasarkan usul itu, nantinya cukup pemerintah selaku lembaga eksekutif (pengelola negara) yang pindah ke IKN, sedangkan DPR sebagai lembaga legislatif bisa tetap di Jakarta. Sementara MA dan MK selaku lembaga yudikatif juga dinilai bisa di Jakarta dulu sambil dicarikan wilayah yang sesuai.
“Saya sarankan supaya kekhususan untuk DKJ ini kita ambil saja dari fungsi legislatif, karena bangunan DPR di sini lebih megah dan mewah dibandingkan dengan gedung legislatif di negara lain yang pernah kita kunjungi,” ujar Hermanto dalam Rapat Panja RUU DKJ, 15 Maret 2024.
Dalam RUU DKJ, Jakarta bersama sejumlah daerah sekitarnya akan menjadi kawasan aglomerasi. Foto: Andreas H/Shutterstock
Hermanto kepada kumparan mengatakan, adanya pengaturan soal kawasan aglomerasi hingga branding Jakarta sebagai kota global tidak mewakili kekhususan Jakarta kelak. Baginya, itu tak ubahnya seperti provinsi lain di Indonesia.
Usulan tersebut mendapat respons positif dari sesama anggota DPR. Pimpinan rapat panja, Supratman Andi Agtas dari Fraksi Gerindra, bahkan menyebut usulan Hermanto sebagai ide yang progresif dan bagus. Ia pun mendorong peserta rapat yang memiliki usul lain untuk turut mengemukakan pandangan, seraya berseloroh, “Walaupun kelihatannya sekarang semua masih enggan dilantik untuk berkantor di IKN.”
Selanjutnya ketika membahas mengenai DIM 572 soal Pasal 65 RUU DKJ, Wakil Ketua Baleg Achmad “Awiek” Baidowi dari PPP sempat pula menyinggung soal ide pemisahan ibu kota. Rumusan Pasal 65 tersebut menyebut bahwa bila sarana dan prasarana di IKN belum siap, maka lembaga negara masih dapat berkantor di Jakarta.
Ketika rapat panja berlanjut pada Senin, 18 Maret, sebelum menutup rapat, Awiek kembali membahas DIM 572. Ia mengatakan telah berdiskusi dengan rekan-rekan di Fraksi PPP maupun fraksi lain, dan melontarkan usul yang sejalan dengan Hermanto: agar Jakarta kelak diberi kekhususan sebagai ibu kota legislasi.
Baleg DPR RI menggelar rapat Panja RUU DKJ, Jumat (15/3/2024). Foto: Paulina Herasmaranindar/kumparan
Awiek menyatakan, rumusan Pasal 65 pada DIM 572 RUU DKJ tidak mencantumkan kejelasan waktu soal kapan DPR pindah ke IKN. Artinya, kalau gedung DPR dan sarana-prasarananya di IKN dianggap belum siap sampai nanti-nanti, maka hingga 100 tahun pun DPR bisa jadi tak bakal pindah ke IKN.
Oleh sebab itu Awiek—yang partainya tak lolos ke parlemen pada periode mendatang—mengusulkan dibukanya kembali ruang pembahasan terkait hal itu. Ia bahkan menskorsing rapat agar perwakilan pemerintah dapat berkonsultasi dengan pimpinannya, dan agar berlangsung lobi soal usulan Jakarta menjadi ibu kota legislasi.
Menurut Awiek, pemisahan ibu kota sesuai fungsi pemerintahan (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) bisa mengambil contoh di Afrika Selatan yang pemerintahan eksekutifnya berpusat di Pretoria, yudikatif di Bloemfontein, dan legislatif di Cape Town.
Sementara Hermanto mencontohkan Malaysia yang memiliki Kuala Lumpur sebagai pusat parlemen dan Putrajaya sebagai pusat pemerintahan federal.
Namun gayung tak bersambut. Pemerintah menanggapi masukan itu dengan dingin.
Pemerintah berkukuh DPR ikut pindah ke IKN Nusantara.
“Jangan biarkan kami (eksekutif) saja yang di sana. Kita harus tetap bersama dalam konteks negara kesatuan,” kata Sekjen Kemendagri Suhajar Diantoro, perwakilan pemerintah di Rapat Panja RUU IKN.
Gambar desain Kompleks MPR/DPR RI di IKN dari pemenang III hasil sayembara. Foto: SAPPK ITB

Berat Melepas Kemapanan Jakarta

Salah satu hal yang disoal anggota DPR mengenai kepindahan ke IKN ialah belum adanya infrastruktur yang memadai. Dalam rapat-rapat panja RUU IKN, sejumlah anggota DPR menyoroti perkara kelengkapan sarana-prasarana pendukung seperti pusat perbelanjaan dan transportasi di IKN.
Hermanto dan Mardani Ali Sera dari PKS menyatakan, tak sekadar gedung DPR yang mesti dibangun di IKN, tapi juga rumah dinas untuk 575 anggota DPR, seperti menteri-menteri yang juga disediakan rumah dinas. Lebih lanjut, menurut legislator PKS tersebut, akan muncul kompleksitas dari sisi lahan, anggaran, serta regulasi dalam pembangunan gedung DPR di IKN.
Pada hari yang sama dengan Rapat Panja RUU IKN di Baleg, berlangsung rapat Komisi II DPR dengan Kepala Otorita IKN yang mengungkap bahwa Gedung DPR belum termasuk dalam progres infrastruktur yang tengah dibangun di IKN.
Bangunan yang kini sedang tahap pengerjaan di IKN ialan Istana Kepresidenan, Lapangan Upacara, Sekretariat Negara, kantor bersama Kementerian Koordinator, rumah dinas menteri, serta rusun untuk anggota Polri, BIN, dan ASN.
Bilah-bilah untuk membangun Istana Kepresidenan di IKN Nusantara hendak dikirim dari Bandung, 30 Agustus 2023. Foto: Novrian Arbi/ANTARA FOTO
Guspardi Gaus, anggota Komisi II dari Fraksi PAN yang hadir dalam rapat itu, menegaskan bahwa nyatanya Gedung DPR belum dijamah sama sekali di IKN. Secara terpisah, Kepala Otorita IKN Bambang Susantono menyebut Gedung DPR akan mulai dibangun tahun 2025.
“Komisi II meminta selesaikanlah dulu bangunan-bangunan yang berkaitan dengan pemerintahan. Biar kami yang DPR ini belakangan. Prioritaskan saja hal-hal penting,” kata Guspardi, Kamis (21/3).
Ia mengatakan, ada korelasi antara rapat IKN di Komisi II dengan rapat RUU DKJ di Baleg. Rapat IKN membahas progres pembangunan IKN, sedangkan rapat RUU DKJ membahas langkah DPR kala kantornya di IKN belum siap. Maka muncullah ide menjadikan Jakarta sebagai pusat legislasi.
Keraguan DPR untuk pindah ke IKN juga diungkap oleh politisi PDIP Darmadi Durianto. Semula ia yakin bakal pindah ke IKN, namun setelah datang sendiri ke IKN dan melihat fasilitas di sana dalam suatu kunjungan pribadi, ia jadi tak yakin untuk pindah.
Presiden Joko Widodo menanam pohon beringin saat meninjau progres pembangunan Istana Negara, Ibu Kota Nusantara (IKN), Jumat (22/9/2023). Foto: Sigid Kurniawan/ANTARA FOTO
Seorang anggota DPR yang tak berani terang-terangan mengaku enggan pindah ke IKN, mengatakan bahwa bukan hanya rekan-rekannya di legislatif saja yang tak mau pindah, tapi juga ASN pemerintah.
Dalam liputan kumparanBISNIS pada 1 Maret, sejumlah ASN bercerita mengenai keengganan mereka pindah ke IKN meski dikompensasi tunjangan puluhan juta. Alasan utamanya: karena fasilitas publik di IKN tak selengkap di Jakarta.
Menurut legislator tersebut, Jakarta sudah menjadi zona nyaman bagi anggota DPR karena semua fasilitas tersedia di sana, berbeda dengan IKN yang didominasi hutan. Keengganan DPR ikut pindah ke IKN, menurutnya, tampak kala sejumlah anggotanya meminta kepada Otorita IKN agar lembaga legislatif itu menjadi yang terakhir pindah.
Meski begitu, menurut anggota DPR tersebut, kepindahan ke IKN tak bisa dihindari karena hal itu merupakan perintah UU yang disusun sendiri oleh DPR bersama pemerintah. Walau tentu saja, ujarnya, kehendak terbesar untuk pindah ke IKN berasal dari Presiden Jokowi.
Potret Jokowi berjalan di ruang terbuka di kawasan inti pusat pemerintahan IKN bernama Sumbu Kebangsaan, 17 Januari 2024. Foto: Kris/Biro Pers Sekretariat Presiden
Hermanto yang sempat menanyai para pegawai di lingkungan DPR, mendapatkan jawaban serupa, bahwa mereka tak mau pindah ke IKN.
Guspardi Gaus menyatakan, meski kepindahan ke IKN ditargetkan tahun ini, 2024 yang dianggap sebagai momentum show of force proyek IKN, pemerintah mesti mempersiapkan dari jauh hari tahapan-tahapan kepindahan tersebut.
“Yang kita pindahkan ini bukan barang [semata], tapi orang-orang profesional yang menggeluti kepemerintahan. Oleh karena itu Otorita harus mempersiapkan secara dini hal-hal yang berkaitan dengan hal tersebut,” pesannya.
Hermanto menilai, pembangunan gedung baru DPR di IKN perlu dikritisi terutama dari sisi anggaran. Ia berkaca pada anggaran renovasi gedung DPR miliaran rupiah yang dulu saja kerap mengundang kontroversi dan penolakan. Apalagi kini bikin gedung baru di IKN.
“Anggaran besar [pembangunan gedung baru DPR] ini, untuk kondisi ekonomi sekarang ini, ada baiknya kita alokasikan untuk kepentingan rakyat: [subsidi] pupuk, infrastruktur pertanian, pengembangan UMKM, untuk petani dan nelayan,” katanya di Gedung Nusantara I DPR, Senayan, Jumat (22/3).
Sejumlah anggota polisi bersiap melakukan penjagaan saat unjuk rasa di depan kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (19/3/2024). Foto: Galih Pradipta/ANTARA FOTO
Muncul juga kekhawatiran akan nasib Gedung DPR di Jakarta bila anggotanya pindah ke IKN. Hermanto menyebut, peralihan aset tak semudah membalikkan telapak tangan. Terlebih, Gedung DPR ialah bangunan bersejarah yang tidak dibangun di tempat lain.
Walau begitu, anggota Panja RUU DKJ dari Fraksi Golkar, Zulfikar Arse Sadikin, justru meganggap ide pemisahan ibu kota legislatif dan eksekutif adalah ahistoris, sebab sejak Indonesia merdeka, gedung parlemen selalu berpusat di ibu kota negara.
Memang Indonesia pernah beberapa kali berganti pusat pemerintahan, yakni di Yogyakarta dan Bukittinggi pada masa Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI), namun kala itu Indonesia belum memiliki kantor parlemen.
“Dari dulu tiga cabang pemerintahan selalu ada di pusat ibu kota negara. Sejak Jakarta jadi ibu kota, ya konsep pikiran kita, semua kekuasaan [ada] di ibu kota negara itu,” kata Zulfikar.
Karena itulah Zulfikar tidak setuju dengan ide pemisahan ibu kota. Menurutnya, lembaga yang mewakili trias politica pemerintahan mesti terpusat di satu kota.
Gambar desain Kompleks MPR/DPR RI di IKN dari pemenang III hasil sayembara. Foto: SAPPK ITB

Tantangan Pindah ke IKN

Pemindahan ibu kota ke IKN memang tidak ditargetkan simsalabim semua institusi berkantor di sana mulai tahun ini, 2024. Pelaksanaannya dilakukan secara bertahap seperti dirumuskan pemerintah dalam klausul Pasal 65 RUU DJK:
Meski begitu, klausul tersebut oleh legislator Golkar Supriansa sempat dipandang sebagai bentuk keraguan pemerintah untuk pindah ke IKN. Rumusan aturan itu dikhawatirkan dianggap publik jadi celah agar institusi selain presiden (eksekutif) tak beranjak dari Jakarta.
Padahal Jokowi telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2022. Dalam Bab VI lampiran beleid tersebut, dijelaskan bahwa pembangunan IKN terdiri dari lima tahap, yakni tahap 1 (2022-2024), tahap 2 (2025-2029), tahap 3 (2030-2034), tahap 4 (2035-2039), dan tahap 5 (2040-2045).
Dalam tahapan tersebut, DPR bersama lembaga tinggi negara lain, yakni MPR, DPD, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, dan BPK, masuk klaster I yang dijadwalkan pindah ke IKN pada tahap 1 (2022-2024). Pada target awal, tahun ini seharusnya telah terbentuk shared office untuk MPR, DPR, DPD, BPK, MA, MK, dan KY.
Berdasarkan jadwal itu, pembangunan kantor masing-masing lembaga, termasuk DPR, dimulai tahun 2025, dan itu pun diyakini tak akan selesai dengan cepat. Menurut perkiraan pakar otonomi daerah Prof. Djohermansyah Djohan, gedung baru DPR di IKN itu belum tentu rampung dalam 3-4 tahun, apalagi ditambah rumah dinas untuk ratusan anggotanya.
“[Pemerintah] punya duit enggak [untuk biayai pembangunan]? Belum untuk makan siang gratis dan penuhi macam-macam janji [kampanye]. Jadi ini akan panjang ceritanya. Makanya DPR mau yang pasti-pasti aja, ‘Sudahlah, bikin ibu kota legislasi dulu [di Jakarta], nanti lihat perkembangan lagi,’” kata Djohermansyah.
Suasana pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN), Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, Jumat (22/9/2023). Foto: Sigid Kurniawan/ANTARA FOTO
Pakar kebijakan publik Agus Pambagio juga menyoroti tantangan kepindahan manusia ke IKN yang menurutnya memiliki banyak aspek. Misalnya, jika ASN yang dikirim ke IKN adalah bujangan dan berusia muda, ada risiko timbul problem sosial jika bergesekan dengan budaya lokal.
Sementara untuk ASN yang berkeluarga, Agus melihat kebijakan sharing apartemen di IKN bisa menimbulkan masalah. Ia juga mempertanyakan fasilitas penunjang keluarga bagi ASN, semisal sekolah untuk anak-anak mereka atau pasar sebagai pusat pemenuhan kebutuhan keluarga.
“Terus berapa kali dia (ASN) pulang ke Jakarta? Dibayarin enggak, dapat SPJ (anggaran perjalanan) enggak? Kalau enggak, manusia kan punya kebutuhan biologis, bisa muncul masalah sosial baru,” jelas Agus.
Masalah bahkan bisa timbul sesederhana urusan perut. Misalnya, adakah warung-warung makan yang bisa memenuhi kebutuhan para ASN. Jika pun dibangun restoran, Agus menyebut tak semua ASN bakal makan di sana.
Pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN) berjalan keluar gedung di Balai Kota, Jakarta, Rabu (28/2/2024). Foto: Rivan Awal Lingga/Antara Foto
Agus memberi catatan, kepindahan ke IKN tak bisa terburu-buru karena ini perkara memindahkan manusia yang mempunyai adat kebiasaan yang sulit diubah. Mereka perlu waktu untuk adaptasi sehingga bila terjadi masalah dapat dimitigasi.
Selain masalah sosiologis, kepindahan ke IKN juga berpotensi menghambat kinerja pemerintahan, terutama institusi yang tidak/belum pindah. Menurut Djohermansyah, pemerintahan pasca-2024 sulit bekerja cepat karena aparatur pendukung presiden dan wapres tersebar di IKN dan Jakarta.
“Pejabatnya mencar-mencar. Pengambil keputusan di sana (IKN), tapi eselon I, II, dan III di Jakarta. Orang keuangan ada di mana; mana uangnya belum ada,” kata Djohermansyah.
Djohermansyah mencontohkan pemindahan ibu kota provinsi Kalimantan Selatan dari Banjarmasin ke Banjarbaru yang sudah berjalan 20 tahun tapi tak kunjung selesai. Ia juga menyinggung pemindahan ibu kota Maluku Utara dari Ternate ke Sofifi yang berjalan 14 tahun tak membuat pegawainya menetap di ibu kota provinsi dan sebagian di antaranya masih bolak-balik ke ibu kota asal.
Praktik tersebut juga diprediksi bakal terjadi saat Jakarta pindah ke IKN.
“Wira-wiri bolak-balik butuh ongkos, itu seperti dalam praktik pemindahan provinsi yang saya kasih contoh. Akhirnya boros membutuhkan anggaran besar,” kata dia.
Presiden Jokowi memberikan sambutan saat ground breaking Bandara Ibu Kota Nusantara di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, Rabu (1/11/2023). Foto: Hafidz Mubarak A/ANTARA FOTO

DPR Lebih Baik di Jakarta?

Dengan berbagai tantangan kepindahan ke IKN yang mengemuka, baik Hermanto atau Djohermansyah berada di kubu agar DPR di Jakarta saja. Menurut keduanya, salah satu kelebihan Jakarta sebagai pusat legislasi ialah mudahnya penyampaian aspirasi oleh rakyat.
Masyarakat selama ini kerap demo, menggelar aksi, dan menyampaikan aspirasi ke Senayan. Selain relatif mudah diakses jalur darat, rakyat juga dianggap sudah hafal ke mana harus menuju di Jakarta.
“Kalau ke Kalimantan pakai transportasi pesawat, berapa biayanya kalau mau menyampaikan aspirasi ke sana? Itu butuh banyak anggaran. Seperti petani atau kepala desa, apakah cukup anggaran ke sana?” tanya Hermanto.
Namun ini juga bukannya tanpa ekses. Menurut Guspardi Gaus dari PAN, jika DPR tetap di Jakarta, hal itu dapat menimbulkan persepsi publik bahwa institusi negara sendiri justru meragukan proyek IKN.
Djohermansyah mengamini pemisahan DPR-pemerintah dapat mempengaruhi perilaku investor. Makanya, menurutnya, anggota DPR dari partai pendukung pemerintah tak berani terang-terangan menolak meski secara pribadi per pribadi enggan pindah.
“[Keengganan pindah dari DPR] itu mengecilkan semangat pindah ibu kota, itu psikologi politik kena kepada Presiden Jokowi,” kata Djohermansyah.
DPR enggan pindah ke IKN. Ilustrasi: Adi Prabowo/kumparan
Di sisi lain, Zulfikar Arse Sadikin dari Partai Golkar menilai jika ibu kota pemerintah-legislatif pisah dapat menyulitkan koordinasi. Sebab, menurutnya mesti ada perpindahan manusia yang melampaui laut dan selat untuk melakukan pertemuan-pertemuan penting.
Walau begitu, Guspardi Gaus berpendapat problema koordinasi itu sebenarnya dapat ditangkal oleh sistem teknologi informasi yang kini sudah maju. Menurutnya itu hanya persoalan teknis jika pemerintah dan DPR sepakat ibu kota dipisah. Tapi karena pemerintah enggan memisahnya, apa mau dikata.
“Eksekutif dan legislatif itu kan lebih mobile, ada fungsi-fungsi anggaran yang mendukung [mobilitas manusia] itu. Kalau rakyat menyampaikan aspirasi kan enggak disediakan anggaran,” timpal Hermanto secara terpisah. Lagipula, menurut dia, pemerintah eksekutif tak mesti setiap hari datang ke DPR.
Sebagai jalan tengah, Prof Djohermansyah mengusulkan agar sementara ini Jakarta dijadikan ibu kota legislasi dengan mengubah klausul di Undang-Undang terkait seraya melihat perkembangan Ibu Kota Nusantara.
“Cuma catatannya 10 tahun dievaluasi, kalau ibu kota legislasi tidak efektif, boros dan lain-lain, baru digabung ke IKN,” tutupnya.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten