Meluruskan Kekeliruan Fasilitas Bebas PPN Atas Barang Strategis

Konten Media Partner
1 Februari 2021 9:59 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Semangat dari fasilitas pembebasan PPN atas barang strategis sangat baik. Sayangnya, pada tataran pelaksanaannya kadang terjadi kekeliruan dalam mendefinisikan "penyerahan barang kena pajak" sehingga perlu diluruskan agar tidak merugikan wajib pajak.
Karsino, Direktur MUC Tax Research meluruskan kekeliruan pelaksanaan fasilitas pembebasan PPN atas barang strategis (foto: www.mucglobal.com)
Selain berfungsi sebagai sumber pendapatan negara (fungsi budgeter), pajak juga berfungsi sebagai instrumen kebijakan pemerintah guna mengatur kegiatan ekonomi dan sosial (fungsi regulerend). Fungsi regulerend dari pajak antara lain dalam bentuk insentif atau fasilitas perpajakan.
ADVERTISEMENT
Insentif perpajakan merupakan instrumen kebijakan fiskal yang paling banyak digunakan pemerintah, terutama pada masa pandemi Covid-19. Tentu saja tujuan utamanya untuk mengatasi pagebluk yang tidak hanya mengganggu kesehatan dan sosial masyarakat, tetapi juga menggerogoti ekonomi nasional. Karenanya, kebijakan stimulus fiskal digenjot habis-habisan guna menyelamatkan ekonomi dari resesi.
Stimulusnya antara lain pemerintah menanggung PPh 21 pekerja berpenghasilan hingga Rp 200 juta setahun, membebaskan PPh Impor dan meringankan kewajiban PPh 25 bagi pelaku usaha sektor tertentu, menurunkan tarif PPh Badan, memberikan insentif tambahan terkait Kawasan Berikat dan Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE), serta mempercepat restitusi PPN.
Sejatinya, jauh sebelum pandemi Covid-19 pemerintah telah mengeluarkan banyak stimulus fiskal guna mengakselerasi roda ekonomi nasional, terutama untuk meningkatkan investasi dan ekspor.
ADVERTISEMENT
Salah satunya adalah pembebasan PPN atas Barang Kena Pajak (BKP) tertentu yang bersifat strategis. Tujuannya antara lain dalam rangka menggairahkan industri barang-barang strategis nasional. Kebijakan ini diterapkan sudah hampir satu dekade, yang awalnya mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 12 Tahun 2001. Seiring dengan perkembangan sosial ekonomi PP tersebut telah beberapa kali mengalami perubahan, yang terakhir direvisi oleh PP Nomor 48 Tahun 2020 tertanggal 24 Agustus 2020. Pembebasan pajak dibebaskan atas PPN 10% yang seharusnya terutang atas impor maupun atas penyerahan barang strategis.
Keliru
Semangat dari pemberian fasilitas PPN dibebaskan atas impor maupun atas penyerahan BKP strategis tersebut sebenarnya sangat baik. Sayangnya, pada tataran pelaksanaannya acap kali timbul permasalahan. Biasanya masalah dipicu oleh beda intepretasi, terutama menyangkut lingkup penyerahan yang dinyatakan dalam PP tersebut. Fiskus kerap berpendapat bahwa makna penyerahan BKP mencakup pula kegiatan ekspor BKP. Dengan kata lain, istilah penyerahan dimaknai sebagai penyerahan di dalam daerah pabean (dalam negeri) maupun ekspor.
ADVERTISEMENT
Akibat beda intepretasi tersebut, fiskus kerap menganggap bahwa ekspor BKP strategis juga dibebaskan PPN. Konsekuensinya, merujuk pada Pasal 16B UU PPN, eksportir yang melakukan ekspor BKP Strategis menjadi tidak dapat mengkreditkan dan merestitusi PPN Masukannya. Pendapat ini tentu saja justru keluar dari prinsip dasar PPN, yang menyatakan bahwa PPN merupakan pajak atas konsumsi barang atau jasa di dalam negeri berdasarkan prinsip destinasi (destination principle).
Padahal, UU PPN telah memuat definisi mengenai penyerahan BKP dan ekspor BKP secara jelas dan gamblang dalam Pasal 1 UU PPN. Penyerahan barang kena pajak adalah setiap kegiatan penyerahan barang kena pajak (Pasal 1 angka 4 UU PPN). Sementara, ekspor barang kena pajak berwujud adalah setiap kegiatan mengeluarkan barang kena pajak berwujud dari dalam daerah pabean ke luar daerah pabean (Pasal 1 angka 11 UU PPN). Dari definisi tersebut, sangat jelas bahwa pengertian ekspor menekankan pada kegiatan mengeluarkan barang dari dalam daerah pabean ke luar daerah pabean. Artinya, berbeda dengan kegiatan penyerahan.
ADVERTISEMENT
UU PPN juga telah mengatur secara khusus pengenaan PPN atas ekspor, yakni dengan memberlakukan tarif PPN 0% atas ekspor BKP berwujud; ekspor BKP tidak berwujud; dan ekspor JKP (Pasal 7 UU PPN). Artinya, pendapat yang mengangap bahwa ekspor BKP strategis termasuk dalam kegiatan yang diberikan fasilitas PPN Dibebaskan justru tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 7 UU PPN tentang tarif PPN 0% atas ekspor. Secara logika, kegiatan ekspor yang tarif PPN-nya sudah 0% tidak relevan untuk diberikan fasilitas pembebasan PPN. Dengan kata lain, fasilitas pembebasan PPN hanya relevan untuk kegiatan yang pada awalnya terutang PPN 10%, yaitu atas impor BKP strategis atau penyerahan BKP strategis di dalam daerah pabean (dalam negeri).
ADVERTISEMENT
Dukung Ekspor
Pemberlakuan tarif PPN 0% atas kegiatan ekspor, selain merupakan implementasi dari prinsip dasar PPN sebagai pajak atas konsumsi di dalam negeri, juga berfungsi sebagai instrumen kebijakan fiskal guna mendorong ekspor produk nasional. Dengan diterapkannya tarif PPN 0% maka dalam nilai barang atau jasa yang diekspor tidak lagi terdapat unsur PPN, karena PPN Masukan atas barang atau jasa tersebut akan direstitusi oleh eksportir.
Kekeliruan interpretasi yang menganggap bahwa ekspor BKP strategis juga dibebaskan PPN akan mengakibatkan tidak dapat dikreditkan dan direstitusinya Pajak Masukan oleh eksportir. Akibatnya, dalam nilai barang yang diekspor justru akan terkandung unsur PPN Masukan, sehingga harga jual produk tersebut menjadi tidak kompetitif di luar negeri.
Guna menghindari intrepretasi yang keliru tersebut, alangkah baiknya bila DJP mengeluarkan penegasan mengenai pengertian “penyerahan BKP strategis“ dalam konteks kebijakan PPN dibebaskan, yakni penyerahan BKP strategis di dalam daerah pabean. Apabila beda persepsi semacam ini dibiarkan dikhawatirkan akan berdampak luas. Alih-alih memberikan insentif kepada wajib pajak, yang terjadi bisa sebaliknya dan berpotensi memicu sengketa. Jangan sampai wajib pajak--khususnya pelaku ekspor—merasa terjebak dengan label “PPN dibebaskan”.
ADVERTISEMENT
Dan alangkah lebih baik lagi bila redaksional dalam Pasal 1 ayat 2 PP No. 48 Tahun 2020 dapat disempurnakan dengan menambahkan frasa “di dalam daerah pabean” setelah frasa “penyerahannya”. Sehingga, menjadi jelas bahwa yang dimaksud dengan “penyerahan” adalah “penyerahan di dalam daerah pabean”.