‘Pajak Tontonan’ Wayang Masa Kolonial

Potongan Nostalgia
#PotonganNostalgia || Mari bernostalgia! Menjelajah apa yang sudah mulai terlupakan, atau bahkan belum sempat diingat
Konten dari Pengguna
4 Maret 2017 21:16 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Potongan Nostalgia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pada 1829 pajak untuk pagelaran wayang kulit sebesar 20 gulden. Namun jangan dibayangkan jika harga tersebut sama dengan harga tiket nonton ke bioskop zaman sekarang, 20 gulden pada masa itu sama harganya dengan 10 kuintal padi kering
ADVERTISEMENT
Wayang yang pada masa kolonial menjadi salah satu hiburan pribumi, tidak lepas dari pengawasan pemerintah kolonial. Maklum para elit penguasa pada saat itu selalu ‘mengkomersilkan’ segala sesuatu dengan alasan keamanan, di tambah lagi wayang mengundang banyak penonton.
Meski pemerintah Belanda agaknya tidak banyak kepentingan akan pertunjukan wayang kulit, tetapi bukan berarti mereka lepas tangan begitu saja. Para sarjana Belanda yang khusus datang ke Nusantara melakukan peneitian mengenai wayang, adat-istiadat, sastra dan kebudayaan Indonesia, seperti : Pensen, Dr. Rassers, Dr. Brandes, Prof. Dr. Kern, J. Kats, dan masih banyak lagi.
Selain melakukan berbagai kajian dan penelitian ilmiah mengenai kekayaan kebudayaan Nusantara saat itu, pemerintah kolonial juga menerapkan pajak tontonan. Pada 1829 pajak untuk pagelaran wayang kulit sebesar 20 gulden. Namun jangan dibayangkan jika harga tersebut sama dengan harga tiket nonton ke bioskop zaman sekarang, 20 gulden pada masa itu sama harganya dengan 10 kuintal padi kering. Sehingga tidak heran jika hanya mereka dengan kekayaan melimpah yang bisa mengadakan pagelaran wayang
foto :mengakubackpacker.blogspot.co.id
ADVERTISEMENT