Museum Tekstil: Jejak Khilafah Utsmaniyah di Tanah Abang dan Habaib Indonesia

Rahmat Mubaroq
Mahasiswa Sejarah Peradaban Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Konten dari Pengguna
7 Januari 2024 9:21 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rahmat Mubaroq tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
bangunan Museum Tekstil/Foto: https://museum.kemdikbud.go.id/storage/assets/images/museums/183/2019-11-27_523.jpg
zoom-in-whitePerbesar
bangunan Museum Tekstil/Foto: https://museum.kemdikbud.go.id/storage/assets/images/museums/183/2019-11-27_523.jpg
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Museum Tekstil terletak di Jakarta, tepatnya di Jl. K.S. Tubun No.2-4, RT.4/RW.2, Kota Bambu Sel., Kec. Palmerah, Kota Jakarta Barat, DKI Jakarta. Sebuah bangunan dengan corak arsitektur kolonial Belanda ini silih berganti kepemilikan dan fungsinya, mulai dari rumah pribadi, menjadi tempat penting perwakilan kekuasaan Khilafah Utsmaniyah di Batavia, kemudian jadi basis perjuangan kemerdekaan BKR (Barisan Keamanan Rakyat), dan menjadi Museum Tekstil.
ADVERTISEMENT
Bangunan yang kita kenal sekarang sebagai Museum Tekstil, dahulu sering berganti penghuni serta fungsinya sesuai dengan masa dan keperluan si penghuni. Bangunan tersebut terletak di daerah Sekarang Tanah Abang, pada zaman Kolonial Hindia Belanda, daerah tersebut menjadi hunian orang-orang Prancis di Batavia karena berdekatan dengan Harmoni yang menjadi pusat hunian tersebut. Pada tahun 1882, Konsulat Utsmaniyah pertama dibuka di Batavia, dengan menunjuk Sayyid ‘Abd al-Aziz al-Musawi al-Baghdadi sebagai konsul kehormatan Utsmaniyah pertama. Beliau adalah seorang saudagar kaya dari Bagdad yang memiliki garis keturunan mulia yakni dilihat dari gelar al-Musawi yang merujuk pada Musa al-Kazimi bin Ja’far al-Sadiq bin Muhammad al-Baqir bin ‘Ali Zayn al- ‘Abidin bin Husayn bin Ali bin Abi Thalib. Karena garis keturunan yang mulia itu lah Sultan Abdul Hamid II memilihnya sebagai Konsul kehormatan di Batavia, hal ini untuk menarik perhatian Muslim Batavia pada gerakan Pan-Islamism yang digaungkan Sultan melalui Konsulnya di Batavia. (Pandawa, 2021, p. 161)
salah satu rumah zaman Hindia Belanda di Tanah Abang sekitar tahun 1860-1865/ foto:https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/view/item/898966?solr_nav%5Bid%5D=0d0b332567af878d9413&solr_nav%5Bpage%5D=2&solr_nav%5Boffset%5D=5
ADVERTISEMENT
Seorang saudagar yang kaya raya dan memiliki karakter peduli kompeten ini ternyata telah membawa pengaruh yang progresif pada Muslim di Batavia. Dari ideologi Pan-Islamism Sultan Abdul Hamid II, hingga menjadi tempat pengaduan masyarakat Muslim yang dipersulit oleh berbagai kebijakan Kolonial Belanda. Sebagai seorang Arab, Beliau juga mendapat kewajiban menaati kebijakan Timur Asing (Vreemde Oosterlingen) yang membatasi mobilitas nya sebagai pedagang selain sebagai Konsulat. Pada akhirnya Beliau menggugat kebijakan tersebut yang didukung oleh kaum Hadrami Batavia dan memenangkan Gugatannya yang berujung pada dapat membeli dan menempati bangunan yang berada di daerah Tanah Abang. (Pandawa, 2021, p. 161)
Foto Sayyid Abdullah bin Alwi Alattas menantu Sayyid ‘Abd al-Aziz al-Musawi al-Baghdadi/ Foto: https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/view/item/791002
Menjadi orang yang memiliki nama terpandang dan jabatan yang disegani orang, apalagi keberadaannya sebagai perwakilan Utsmaniyah di Hindia Belanda, membuat pemerintah Kolonial risih dan takut akan pergerakan Umat Islam yang merasa ada simbol Islam yang hadir di tengah-tengah mereka, karena Pan-Islamisme mempengaruhi pemikiran Intelektual Muslim dan awal dari persatuan Indonesia yakni berdiri sebuah Sarekat Dagang Islam (SI), yang akhirnya Beliau menjabat hanya sebentar saja. selain itu, Beliau juga akrab dengan kaum Hadrami yang memiliki satu garis keturunan dengannya sampai pada Ali bin Abi Thalib, salah satunya adalah Sayyid ‘Alawi bin Abdullah al- ‘Attas. Sayyid ‘Abd al-Aziz menikahkan anak tertuanya Maryam dengan anak tertua Sayyid ‘Alawi bin Abdullah al- ‘Attas yakni Ibrahim. Mereka berdua melahirkan 4 anak yang kemudian dikirim ke Istanbul untuk belajar. Keturunan mereka masih ada sampai sekarang, yakni Dr. Alwi al- ‘Attas M. Hsc, sebagai pengajar sejarah di International Islamic University of Malaysia (IIUM) dan Habib Hanif al-Attas, sebagai Ketum. Front Santri Indonesia (FSI) sekaligus menantu Habib Rizieq Shihab (Pandawa, 2021, pp. 161-163)
ADVERTISEMENT