Kegelisahan Ilmuwan Melihat Respons Manusia Hadapi Kematian

Akhmad Saputra Syarif
Masters Candidate in Sains Psychology Universitas Indonesia
Konten dari Pengguna
9 April 2024 8:57 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Akhmad Saputra Syarif tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi berpikir. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi berpikir. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
“Kate Middleton telah berakhir seperti Diana?” pertanyaan tersebut adalah salah satu pertanyaan dari banyak mata yang terus menatap ke Istana Buckingham. Hal tersebut ditengarai oleh dugaan hilangnya Kate Middleton. Tuduh-menuduh tersebut berlangsung cukup lama, hingga pada tanggal 22/3
ADVERTISEMENT
Kemarin, Duchess of Cambridge tersebut tampil di hadapan publik dengan membawa berita duka—dirinya menderita kanker. Alasan Kate bungkam selama ini karena mencoba untuk mencari cara terbaik untuk mengungkapkan kondisinya pada anaknya dengan Pangeran William.
Seperti Kate Middleton, manusia pastinya sebagai makhluk fana memiliki hidup yang tidak dapat lepas dari duka. Baik kematian, ditinggalkan kekasih, atau menghadapi bencana. Oleh karenanya, banyak di antara para ahli mencoba untuk menafsirkan bagaimana tahapan yang manusia miliki dalam menjalani kehidupan yang sedang tidak baik-baik saja tersebut.
Satu di antara yang terkenal adalah the five stages of grief. Elisabeth Kübler-Ross pada tahun 1969 dalam bukunya, "On Death and Dying”, menjelaskan bahwa manusia yang memiliki perasaan sedih yang tidak tertahankan akan melewati lima tahap duka, yakni: penyangkalan, kemarahan, tawar-menawar, depresi, dan penerimaan. Pada bukunya, Kübler-Ross mewawancarai sekitar 200 Responden, sebelum akhirnya menyimpulkan akan ada lima tahapan dalam berduka.
ADVERTISEMENT
Meski, disebutnya Individu dalam merespons kelima tahapan tersebut memiliki periode waktu yang berbeda-beda karena perbedaan psikologis Individu. Kübler-Ross juga menekankan bahwa setiap tahapan memiliki keciriannya masing-masing sehingga satu tahapan tidak mungkin menggantikan tahapan lainnya, namun tahapan tersebut dapat saling tumpang tindih.
Teori the five stages of grief memiliki banyak kontribusi, di antaranya memberikan pemahaman tentang cara terbaik dalam memberikan bantuan terhadap kolega ataupun anggota keluarga yang sedang berduka. Salah satu pengembangannya adalah intervensi yang diperkenalkan oleh Marwit dan Meuser di mana memfokuskan besarnya duka, penguatan, coping stress, dan resiliensi berdasarkan teori the five stages of grief.
Meski teori tersebut sangat dekat kaitannya dengan perawatan orang-orang dengan terminal illness, namun banyak penelitian mengembangkannya pada pembahasan lain. Seperti yang diungkap oleh Teh pada tahun 2023 silam, memfokuskan pada fenomena di mana banyak pengusaha yang terpaksa gulung tikar karena COVID.
ADVERTISEMENT
Tahapan penderitaan yang dirasakan oleh para pemilik perusahaan ini kemudian dapat menjadi informasi yang penting untuk pemerintah merumuskan seperti apa kebijakan yang harus diberikan, serta pada waktu apa saja kebijakan-kebijakan tersebut perlu diperkenalkan khalayak umum. Hal ini tentu saja akan menyelamatkan banyak orang, mengingat pentingnya peran para pengusaha dalam memutar perekonomian negara.
Sayangnya, keberlangsungan teori ini bukanlah tanpa tantangan. Banyak kritikan yang muncul beralasankan ke lima tahapan yang dibingkai oleh Teori the five stages of grief seharusnya tidaklah seuniversal seperti dugaan Kübler-Ross. Beberapa di antara pengkritik memahami berduka adalah kondisi kompleks dan lebih cenderung personal sehingga sulit untuk secara formal dikategorisasikan menjadi tahapan yang sama dirasakan oleh tiap Individu.
ADVERTISEMENT
Terutama pada saat membandingkan Individu berlatar belakang budaya yang berbeda, Kim dan kawan-kawan (2017) menemukan bahwa anak-anak asia yang pada umumnya memiliki lebih banyak afeksi dan komunikasi dengan keluarga akan memiliki coping stress yang lebih baik dibandingkan dengan mereka dari belahan negara barat.
Markus dan kitayama (1991) menjelaskan budaya akan memberikan perbedaan yang sangat mencolok tentang bagaimana Individu dalam memaknai dirinya di tengah kelompok sejak kecil. Jikalau pada budaya eropa ada peribahasa “roda yang berderit mendapat minyak” yang menjelaskan tentang keunikan Individu sangat penting dalam menggambarkan self.
Sementara pada budaya Jepang perbedaan self harus ditekan pada titik harmoni karena perasaan interdependen yang mereka anut, kepercayaan tersebut tergambarkan dari peribahasa yang mereka pakai “paku yang mencolok akan dipukul ke bawah”. Sehingga Markus dan kitayama (1991) menekankan perbedaan budaya tersebut akan melahirkan pola pengolahan emosi yang berbeda, dan pada akhirnya pula akan mempengaruhi self-regulation yang mereka miliki.
ADVERTISEMENT
Bukan saja sampai di situ, Thus, Papadatou and Anagnostopoulos (2012) juga memberikan kritikan terhadap teori the five stages of grief di mana penggunaan kata “stage” yang digunakan oleh Kübler-Ross sebagai tahapan seharusnya keliru. Baik penyangkalan, kemarahan, tawar-menawar, depresi, dan penerimaan adalah kemungkinan respons yang akan dirasakan oleh Individu ketika berhadapan dengan kematian.
Perasaan tersebut pun memiliki perbedaan berdasarkan konteks budaya di mana Individu tersebut tumbuh atau tinggal. Pada saat teori Kübler-Ross ini banyak mendapat kritikan, para ilmuwan mulai menggunakan alternatif teori yang lain dalam menjelaskan mengenai komplesitas respons Individu pada saat berhadapan dengan kematian atau kehilangan, seperti teori dari corr (1992) menjelaskan dimensi manusia yang terdiri dari the physical, the psychological, the social, and the spiritual.
ADVERTISEMENT
Meski ditengarai mendapatkan banyak kritikan, namun the five stages of grief mengajarkan kita bagaimana peran budaya seharusnya tidak dipandang sebelah mata dalam menjelaskan tendensi respons Individu, terutama menghadapi kematian.
Pemahaman tentang lintas budaya dalam psikologi memberikan wawasan berharga dengan menawarkan pengembangan teori-teori yang komperhensif (Mankowski dkk, 2010). Pemahaman tersebut juga akan memberikan gambaran mengenai limitasi dari teori-teori di psikologi, serta memberikan alternatif dalam menjelaskan sebuah fenomena (Triadis, 1999).