Mendiagnosis Penyakit-penyakit Italia di Bawah Arahan Ventura

6 September 2017 15:30 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Timnas Italia sedang menjalani masa sulit. (Foto: Reuters/Alberto Lingria)
zoom-in-whitePerbesar
Timnas Italia sedang menjalani masa sulit. (Foto: Reuters/Alberto Lingria)
ADVERTISEMENT
"Untuk mengatakan bahwa apabila kita tidak lolos sebagai sebuah bencana rasanya berlebihan. Rasanya tidak pernah ada pelatih Italia yang lolos dari kritik. Itu adalah bagian dari pekerjaan. Tetapi kami paham bahwa ketika undian dilakukan, memang tidak akan mudah tergabung satu grup dengan Spanyol," kata Gian Piero Ventura jelang laga Kualifikasi Piala Dunia melawan Israel.
ADVERTISEMENT
Pada laga melawan Israel, Rabu (6/9) dini hari tersebut, Italia berhasil mengemas tiga poin lewat kemenangan tipis 1-0. Satu-satunya gol Azzurri di situ dicetak oleh Ciro Immobile.
Meski menang, skor 1-0 itu tentu tidak cukup untuk mengobati duka publik sepak bola Italia usai tim nasional (timnas) mereka dihancurkan Spanyol 0-3 di Madrid pada hari Minggu (3/9) dini hari lalu. Pasalnya, kekalahan itu punya dua arti yang sama-sama tidak mengenakkan.
Pertama, itu adalah kekalahan pertama Timnas Italia di ajang kualifikasi turnamen apa pun sejak 11 tahun silam. Sebelum itu, kekalahan terakhir Italia datang dari Prancis pada 6 September 2006 di ajang Kualifikasi Piala Eropa 2008. Kala itu, dua gol Sidney Govou dan satu gol Thierry Henry hanya mampu dibalas sekali oleh Italia lewat sundulan Alberto Gilardino.
ADVERTISEMENT
Kedua, apa yang ditunjukkan anak-anak asuh Ventura di Madrid itu benar-benar mengenaskan. Gianluigi Buffon dkk. betul-betul terlihat tidak berdaya menghadapi Spanyol yang pada Piala Eropa 2016 lalu mampu mereka permalukan.
Memang benar bahwa Spanyol asuhan Julen Lopetegui itu berbeda dengan Spanyol besutan Vicente Del Bosque yang dipecundangi Italia-nya Antonio Conte. Pada 2016 lalu, tidak ada nama Koke Resurreccion, Isco Alarcon, Daniel Carvajal, dan tentunya, Marco Asensio. Spanyol yang dihadapi tim asuhan Ventura adalah Spanyol yang lebih segar dan lebih direct dalam menyerang.
Akan tetapi, itu tidak bisa dijadikan alasan. Apalagi, ketika bermain imbang di Turin bulan Oktober 2016 lalu, Ventura sudah tahu dan sudah membuktikan sendiri bahwa rahasia untuk meredam Spanyol adalah dengan menggunakan pakem tiga bek dan menumpuk pemain di area tengah. Conte melakukan itu di Piala Eropa dan Ventura pun sebenarnya sudah melakukan itu.
ADVERTISEMENT
Namun, ketika kalah 0-3 lalu, Ventura justru ngotot menggunakan formasi 4-2-4 yang sebenarnya hanya layak untuk dimainkan di angan-angan sang Commissario Tecnico saja. Pasalnya, dengan menggunakan formasi tersebut, lini tengah Italia pun praktis tidak berfungsi. Apalagi, di situ Lopetegui memainkan Asensio sebagai false nine. Sehingga, duet Daniele De Rossi dan Marco Verratti pun dipaksa menghadapi enam pemain tengah sekaligus.
Kemudian, selain masalah lini tengah itu, masalah lain juga dihadapi pemain ofensif terbaik Italia, Lorenzo Insigne. Di situ, Insigne bermain terlalu jauh ke pinggir. Padahal, seperti yang sudah berulang kali dibuktikannya di Napoli, pemain berusia 26 tahun itu adalah penyerang sayap kiri yang akan jauh lebih efektif bermain jika dimainkan lebih dekat ke gawang dengan formasi 4-3-3.
ADVERTISEMENT
Ventura (kanan) belum bisa mengoptimalkan Insigne. (Foto: Reuters/Alberto Lingria)
zoom-in-whitePerbesar
Ventura (kanan) belum bisa mengoptimalkan Insigne. (Foto: Reuters/Alberto Lingria)
Terakhir, yang jadi sorotan dalam kebijakan Ventura malam itu adalah pemilihan pemain di posisi full-back. Menghadapi tim seperti Spanyol, Ventura justru memainkan dua full-back yang sama sekali belum memiliki menit bermain kompetitif di level klub sejauh ini, Matteo Darmian dan Leonardo Spinazzola.
Darmian di Manchester United kalah bersaing dengan Antonio Valencia dan Daley Blind, sementara Spinazzola belum bermain untuk Atalanta lantaran ada permasalahan dengan kontraknya. Masalah kontrak yang dimaksud adalah bagaimana sang pemain memaksa untuk kembali ke Juventus, padahal dalam perjanjian, pemain 24 tahun itu baru akan kembali ke dekapan "Si Nyonya Tua" musim panas tahun depan.
Itulah situasi yang terjadi di tim Italia pada laga melawan Spanyol. Tak heran jika kemudian nama Ventura dicerca habis. Meski awalnya dipuji lantaran keberaniannya menggunakan pemain yang lebih muda, dia kini disebut sebagai sosok yang tidak layak melatih di level setinggi ini. Tudingan itu sendiri sama sekali tidak salah karena di situ terlihat bagaimana Ventura tidak mampu meramu tim yang pas dengan talent pool yang dia miliki.
ADVERTISEMENT
Apa yang dilakukan Ventura di Madrid itu sebenarnya bisa dipahami sebagai sebuah upaya untuk mengoptimalkan talenta-talenta menyerang Italia, khususnya Insigne yang memang sedang panas-panasnya. Di era Conte dulu, Insigne tidak mendapat tempat karena Conte lebih memilih tim yang solid dan bisa bermain sepragmatis mungkin.
Ventura ingin mengubah itu. Mantan pelatih Torino ini ingin agar Italia menjadi lebih proaktif alih-alih reaktif. Akan tetapi, ada tiga cacat di rencana milik Ventura tersebut.
Jorginho (tengah) tidak digubris Ventura. (Foto: Reuters/Ciro De Luca)
zoom-in-whitePerbesar
Jorginho (tengah) tidak digubris Ventura. (Foto: Reuters/Ciro De Luca)
Pertama, dia lupa bahwa yang dia hadapi itu adalah Spanyol. Meski sudah tidak sekuat lima sampa tujuh tahun lalu, Spanyol tetap memiliki pemain-pemain yang kualitas tekniknya ada di atas. Kedua, tentu saja adalah ketidakpahamannya tentang di mana seharusnya Insigne bermain. Ketiga, kalaupun dia nantinya memainkan Insigne di formasi 4-3-3, seharusnya dia membawa Jorginho, distributor bola terbaik yang dimiliki Italia saat ini sehingga lini tengah Italia bisa lebih berbicara banyak saat menguasai bola.
ADVERTISEMENT
Di skuat Italia yang dibawa Ventura ke Madrid, tiadanya Jorginho adalah sesuatu yang paling membuat publik berang. Alih-alih Jorginho, Ventura justru mengikutsertakan Riccardo Montolivo yang masa jayanya sudah lewat dan Lorenzo Pellegrini yang masih terlalu hijau.
Berbagai blunder inilah yang kemudian dikhawatirkan akan merusak kans Italia untuk berlaga di Piala Dunia tahun depan. Pasalnya, kalaupun nanti Italia akhirnya harus melakoni babak play-off, calon lawan mereka pun tidak mudah. Tim-tim seperti Bosnia & Herzegovina, Islandia, Slovakia, Portugal, dan Swedia kemungkinan besar bakal menanti mereka.
Selain itu, apabila nantinya mereka lolos ke Piala Dunia sekalipun, asa untuk berprestasi pun menipis. Dengan kualitas pemain yang tidak bisa dibilang berkelas dunia, Italia seharusnya dilatih oleh sosok pragmatis seperti Conte. Jika di Rusia nanti Ventura tak mampu mengesampingkan ego dan kenaifannya, lebih baik kontingen Italia membawa pakaian seperlunya saja. Toh, mereka takkan lama-lama berada di sana.
ADVERTISEMENT