Quo Vadis Pendidikan Indonesia?

Julpadli
Saya seorang Banker dan alumnus S1 IESP pada Universitas Mulawarman Samarinda. Belajar menulis sebagai terapi.
Konten dari Pengguna
4 Mei 2024 9:10 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Julpadli tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi siswa berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki. Foto: Toto Santiko Budi/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi siswa berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki. Foto: Toto Santiko Budi/Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Indonesia sejatinya telah berkomitmen menyangkut pendidikan masyarakat sebagaimana termaktub di preambule UUD 1945 sebagai salah satu tujuan terbentuk negara Republik Indonesia yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun komitmen tersebut tampaknya semenjak era reformasi serba tanggung atau bahkan sedang kehilangan arah.
ADVERTISEMENT
Orde lama, menempatkan orientasi patriotik sejalan dengan kebutuhan politik awal kemerdekaan. Banyak pelajar yang diberikan beasiswa ke luar negeri salah satu di antaranya adalah BJ Habibie pada tahun 1954.
Habibie mendapat beasiswa untuk melanjutkan pendidikan teknologi dan konstruksi pesawat terbang yang dirancang pemerintahan Soekarno-Hatta sebagai industri strategis Indonesia. Dengan berpatokan pada pemikiran bahwa sebagai negara kepulauan Indonesia sangat membutuhkan jalur udara untuk kemudahan.
Bung Karno menanamkan visi patriotisme pada Habibie yang kemudian diminta pulang oleh Soeharto di tahun 1973, setelah hampir 20 tahun berkecimpung di industri penerbangan Jerman.
Habibie dengan segera hendak mengimplementasikan visi Indonesia yang bertumpu pada riset dan teknologi sebagaimana telah dicanangkan oleh bung Karno. Untuk menyokong itu, Orde Baru mengarahkan pendidikan berorientasi pada kejuruan dan teknik yang disiapkan untuk memenuhi lapangan pekerjaan yang hadir seiring dengan dimulai proyek Habibie tersebut.
ADVERTISEMENT
Terhentinya industri strategis Indonesia tersebut mengembangkan kesadaran bahwa kita sedang tertinggal jauh dari perlombaan antar negara di zaman modern. Hasrat mengejar ketertinggalan tersebut kemudian melahirkan upaya mengglobalkan dan menginternasionalkan pendidikan dalam negeri dengan merintis Sekolah Berstandar Internasional (RSBI) melalui UU no 20 tahun 2003, tepat tahun ke-5 perjalanan era reformasi.
Sekolah-sekolah modern yang menggunakan bahasa asing sebagai bahasa pengantar, tumbuh subur dengan biaya yang mahal dan hanya bisa dinikmati oleh masyarakat kaya. Sejak itu, pendidikan menjadi semacam bisnis yang menguntungkan banyak pihak. Di sisi lain, segregasi masyarakat terjadi karena jomplangnya kualitas pendidikan. Beruntungnya, MK mengabulkan permohonan judicial review atas pasal 50 ayat 3 UU no 20 tahun 2003 tersebut
ADVERTISEMENT
Sedikitnya ada 3 faktor yang mendorong upaya liberalisasi dan komersialisasi dunia pendidikan di Indonesia, yakni: pertama, kemampuan keuangan yang terbatas menyebabkan negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, memiliki tingkat partisipasi dan mutu pendidikan yang tertinggal dari negara-negara maju. Dengan dibukanya pintu bagi Lembaga Pendidikan Asing diharapkan mampu membantu mengejar ketertinggalan tersebut.
Kedua, adanya harapan bahwa ekspansi pendidikan terutama sekali berhubungan dengan teknologi informasi akan melahirkan tenaga kerja terdidik untuk menunjang peningkatan kesejahteraan kehidupan bersama. Ketiga, adanya intervensi negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris dan China yang melihat pendidikan sebagai industri tersier dengan kontribusi yang cenderung meningkat setiap tahunnya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) seiring dengan kemajuan sains-teknologi yang mereka gapai.
Pendidikan adalah kunci utama perubahan dan pembangunan berkelanjutan dalam jangka panjang yang disusun berdasarkan keragaman yang dimiliki (budaya, etnis, suku, bahasa, agama dan lainnya). Saya ingin mengajukan sebuah contoh komitmen negara terhadap pendidikan masyarakat. Masyarakat Indonesia memiliki kebudayaan yang mirip atau hampir sama dengan masyarakat India, di mana religiusitas menjadi nadi bagi kehidupan masyarakatnya.
ADVERTISEMENT
Selain tantangan spiritual tersebut, Indonesia dan juga India termasuk dijajaran negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia dimana kemiskinan merupakan persoalan utama. Keduanya memiliki tantangan pembangunan yang serupa yakni industrialisasi, pengembangan infrastruktur dan kecenderungan meningkatnya aktivitas kelompok mayoritas yang fundamentalis.
Shri Jawaharlal Nehru (Perdana Menteri India pertama, dijuluki seagai arsitek India modern) berpandangan bahwa negara atau masyarakat yang tunduk pada dogma dan terbelenggu oleh mentalitas dogmatis tidak akan pernah bisa maju. Beliau menegaskan adanya keterkaitan erat antara praktik-praktik kekeramatan (yang bersumber dari dogmatisme agama) dan sikap tidak ilmiah untuk mendekati masalah-masalah kehidupan. Adanya sikap anti-kritik pada agama dan sikap pasrah oleh penganutnya mengembangkan sikap ketergantungan dan malas berusaha.
ADVERTISEMENT
Melihat kenyataan masyarakatnya seperti itu, Nehru kemudian menggagas pengembangan scientific temper atau perangai ilmiah yang kemudian termaktub dalam konstitusi India dan menjadi tugas fundamental setiap warga negaranya. Pada tahun 1938, di hadapan Akademi Sains Nasional di Allahabad, beliau menegaskan:
Dari pernyataan tersebut, kita dapat melihat bahwa persoalan besar tidak dapat diselesaikan sendirian oleh politisi, tidak pula sendirian oleh ilmuwan. Butuh kooperasi atau kerja sama dari keduanya untuk menyelesaikan persoalan besar. Sebuah komitmen dasar yang menjadi bagian dari India merdeka.
Dilansir dari data Scimago Journal & Country Rank, sepanjang 2022 India telah menghasilkan jurnal ilmiah terindeks Scopus sebanyak 273.913 scientific and technical journal dan berada di peringkat ketiga negara yang terbanyak menghasilkan jurnal ilmiah terindeks Scopus sedangkan pada periode yang sama Indonesia hanya menghasilkan 43.300 jurnal ilmiah dan menempati peringkat ke-25.
ADVERTISEMENT
Dari perbandingan di atas, kita dapat melihat hubungan erat antara orientasi politik dan orientasi pendidikan. Oleh karenanya, paradigma pendidikan harus memiliki 2 arah yakni political will dan orientasi pendidikan umum. Pendidikan yang tidak ideal akan melahirkan politisi yang tidak ideal, begitu pula politisi yang ideal akan melahirkan pendidikan yang ideal.
Tepat di hari Pendidikan Nasional, sekolah di Banten libur akibat banjir. Foto: Muhammad Bagus Khoirunas/ANTARA FOTO
Pendidikan politik dan politik pendidikan tidak dapat dipisahkan. Penting pula, untuk menentukan skala prioritas pendidikan dalam rentang waktu tertentu, jangka pendek hingga jangka panjang. Di masa depan, akan sangat sulit bagi kita mengelola kebhinekaan, asas-asas Pancasila pun bisa saja menguap, jika kita acuh dengan model pendidikan yang sedang berjalan.
Tema peringatan Hari Pendidikan Nasional pada 2 Mei 2024 adalah "Bergerak Bersama, Lanjutkan Merdeka Belajar". Tema tersebut dapat dimaknai sebagai ajakan bahwa semua pihak yang terlibat baik langsung maupun tidak langsung haruslah saling bahu-membahu terhadap kualitas dunia pendidikan di Indonesia.
ADVERTISEMENT