Manusia, Anjing, dan Kuda: Terbiasa Menjadi Pemakan Segala

Fandi Achmad Fahrezi
Fandi Achmad Fahrezi FKIP Pendidikan Sejarah Universitas Jember
Konten dari Pengguna
30 Maret 2024 16:47 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fandi Achmad Fahrezi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi manusia dan anjing. Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi manusia dan anjing. Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kala cakrawala semakin membiru, aku membenamkan diri di dalam gawai. Scroll IG terus-menerus sampai nampak video anjing yang diberi makan telur dan mi instan. Terbesit pertanyaan sederhana: "kok bisa ya kayak gitu?" "Kok bisa ya manusia yang pada umumnya makan nasi kemudian menjadi pemakan segala?"
ADVERTISEMENT
"Tergantung habit yang dibangun." ujar kawanku.

Terbiasa

Pusat Bahasa Depdiknas mengartikan habit/habituasi dalam bentuk Nomina (kata benda) sebagai pembiasaan pada, dengan, atau untuk sesuatu; penyesuaian supaya menjadi terbiasa atau terlatih. Habit adalah proses penciptaan situasi dan kondisi (persistence life situation) yang memungkinkan individu pelaku terbiasa untuk berperilaku sesuai nilai dan telah menjadi karakter dirinya, karena telah diinternalisasi dan dipersonifikasi melalui proses intervensi.
Oleh sebab itu, habit bisa saja terciptakan melalui perintah, suri teladan, hukuman dan hadiah yang bertujuan untuk membangun. Sedangkan, jika ditinjau melalui kaca mata psikologi, habit diciptakan melalui enam tahapan yaitu: berpikir, merekam, mengulang, menyimpan, mengulang kembali kemudian terbiasa. Sederhananya kebiasaan bisa terbentuk berkat dorongan dan respons positif dari orang-orang sekitar.
ADVERTISEMENT

Manusia dan Lingkunganya

Tindak-tanduk manusia kini makin pelik untuk ditoleransi, salah satunya ialah manusia yang sengaja memamerkan kemaluanya di sosial media. Mengapa bisa begitu? Pertama, bisa saja pelaku melihat salah satu temanya yang melakukan tindakan serupa di lingkungan yang mendukung perbuatan tersebut sehingga menimbulkan kesan positif akan tindakan itu.
Kedua, ketika tindakan dan respons positif itu telah terekam dalam ingat maka timbulah dorongan untuk meniru.
Ketiga, meniru segala tindakan yang mendapatkan respons positif oleh lingkungan akan menimbulkan kesan mengikuti zaman dan jika meninggalkan akan menimbulkan kesan berbeda. Oleh sebab itu, dorongan untuk meniru semakin menggelora.
Oleh karena itu, rumah, teman dan juga pergaulan menjadi sangat penting untuk diperhatikan. Kalaupun bisa dibeli maka uang berapa pun harusnya dengan sukarela digelontorkan. Seperti salah satu kisah seseorang yang rela membeli sebuah rumah yang kecil dengan harga selangit. Sebab, yang ia beli bukan hanya rumah tetapi lingkunganya juga.
ADVERTISEMENT

Seekor Kuda

Lantas, apakah kita akan terus-menerus menjadi seseorang yang diperbudak oleh lingkungan?
Pertama, bertahap.
Ketika kita langsung memberikan pelana pada punggung kuda maka kuda itu akan memberontak dengan menendang-nendang. Akan berbeda, jika kita memberikan tumpukan kain tipis di punggung kuda maka kuda tersebut akan tenang dan tidak memberontak.
Kedua, kalah.
Ketika mendaratkan pelana pada punggung kuda yang telanjang maka kuda tersebut akan memberontak. Akan ada fase di mana kuda lelah untuk memberontak dan menyerah terhadap kuasa sang penunggang.
Ketiga, deraan derita.
Ketika pelana didaratkan ke punggung kuda yang telanjang dan kuda itu memberontak lalu si penunggang terjatuh di atas kubangan lumpur. Dengan kata lain, lakukan sesuatu yang membuat dirimu menderita ketika telah melakukan sesuatu yang kita ingin hentikan.
ADVERTISEMENT