Konten dari Pengguna

Sanksi Hukum Kasus Pembunuhan dan pemerkosaan Siswi SMP di TPU Palembang

Mhd Raffa Simamora
Mahasiswa S-1 Fakultas Ilmu Hukum di Universitas Sumatera Utara
30 September 2024 9:04 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mhd Raffa Simamora tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto oleh kat wilcox dari Pexels: https://www.pexels.com/id-id/foto/crime-scene-do-not-cross-signage-923681/
zoom-in-whitePerbesar
Foto oleh kat wilcox dari Pexels: https://www.pexels.com/id-id/foto/crime-scene-do-not-cross-signage-923681/
ADVERTISEMENT
Kronologi Kasus Pembunuhan dan Pemerkosaan Siswi SMP di TPU Palembang
ADVERTISEMENT
Kasus pembunuhan dan pemerkosaan siswi SMP di Palembang bermula dari dari perkenalan korban dengan Imam Satrio (16 tahun). Keduanya dikenalkan oleh seorang teman berinisial M. Setelahnya, perkenalan mereka berlanjut dan sering berkomunikasi melalui aplikasi perpesanan di Facebook. Petaka dimulai saat Imam Satrio mengajak korban menonton kesenian tradisional kuda lumping yang berada di kawasan Jalan Pipa Reja, Kecamatan Kemuning, pada Minggu siang. Usai berjumpa, Imam Satrio lantas mengajak korban jalan-jalan di krematorium dengan diikuti oleh tiga orang lain yakni M. Zaid Al Fiky (13 tahun), Nail Shams Afzal (12 tahun), dan Agan Septiano (12 tahun). Ketika sampai di TPU Talang Kerikil, Imam Satrio membujuk korban untuk melakukan hubungan seksual, akan tetapi ditolak oleh korban. Lalu korban dibekap oleh Imam Satrio dan tubuh korban dipegangi oleh ketiga rekan Imam Satrio tersebut. Korban yang tak bisa bernapas akhirnya meninggal. Namun, Imam Satrio dan teman-temannya mengira korban dalam kondisi pingsan. Setelahnya, ke-empat pelaku membopong jasad korban ke kuburan yang berjarak 30 menit dengan berjalan kaki, hal ini dilakukan agar aksi mereka tidak diketahui orang lain. Di tempat kedua, tubuh korban yang sudah meninggal kembali diperkosa untuk kedua kalinya oleh pelaku secara bergantian.
ADVERTISEMENT
Pertanggungjawaban Pidana Para pelaku
Foto oleh KATRIN BOLOVTSOVA dari Pexels: https://www.pexels.com/id-id/foto/kayu-lapangan-pengadilan-persidangan-6077326/
Berdasarkan kasus tersebut pelaku dapat dikenakan pasal 76C yang menyatakan bahwa “Setiap Orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan Kekerasan terhadap Anak” dan pasal 80 ayat (3) “Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)” Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak.
Pelaku penganiayaan dan pencabulan anak akan dikenakan sanksi yang berat. Sebagaimana yang tertuang dalam pasal 80 ayat (3) UU Nomor 35 Tahun 2014 menyatakan bahwa pelaku yang melakukan kekerasan terhadap anak akan dihukum sesuai dengan tingkat kekerasan yang dilakukannya, jika perbuatan tersebut menyebabkan luka berat ataupun kematian, pelaku dapat dijatuhi hukuman penjara 15 tahun hingga 20 tahun. Selain hukuman penjara, pelaku dapat dikenakan denda yang besar. Hal ini bertujuan untuk memberikan efek jera serta menunjukkan keseriusan negara dalam melindungi hak-hak anak.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi pemberian hukuman atau sanksi dalam kasus pelanggaran hukum oleh anak berbeda dengan kasus pelanggaran hukum oleh orang dewasa, hal ini didasarkan pemikiran pemberian hukuman oleh negara adalah bahwa setiap warga negaranya adalah makhluk yang bertanggungjawab dan mampu mempertanggungjawabkan segala perbuatan. Sementara itu anak diakui sebagai individu yang belum dapat secara penuh bertanggungjawab atas perbuatannya dan tentunya anak masih di bawah ampuan orang tuanya. Oleh karena itu dalam proses pemberian hukuman pada anak harus berbeda dengan pemberian hukuman pada orang dewasa.
Sebagaimana yang tertuang dalam pasal 32 UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang system peradilan pidana anak menyatakan bahwa penahanan terhadap anak tidak boleh dilakukan, penahanan terhadap anak hanya dapat dilakukan dengan syarat anak tersebut telah berumur 14 tahun atau lebih dengan ancaman pidana penjara selama 7 tahun atau lebih. Dalam hal ini, ketiga pelaku yaitu M. Zaid Al Fiky, Nail Shams Afzal, dan Agan Septiano belum berusia 14 tahun. Kemudian dalam pasal 69 UU Nomor 11 Tahun 2012 menyatakan bahwa anak yang melakukan perbuatan pidana yang belum berusia 14 tahun hanya dapat dikenai tindakan, bukan pemidanaan.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, apabila hukuman maksimal bagi orang dewasa yang melakukan perbuatan tersebut adalah 20 tahun, maka untuk anak-anak, hukuman akan dikurangi menjadi separuhnya yaitu 10 tahun. Hal ini tertera dalam pasal 21 dan pasal 79 UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak yang masing-masing menyebutkan bahwa dalam hal anak belum berumur 12 (dua belas) tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, penyidik, pembimbing kemasyarakatan, dan pekerja sosial profesional mengambil keputusan untuk menyerahkan kembali kepada orang tua/wali. Sedangkan dalam pasal 79 mengatakan bahwa pidana pembatasan kebebasan yang dijatuhkan terhadap anak paling lama ½ dari maksimum pidana penjara yang diancamkan terhadap orang dewasa.
Berdasarkan penjelasan di atas keputusan kepolisian untuk memulangkan ke-tiga tersangka yang termasuk dalam kategori usia 12-13 tahun dianggap tepat dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Akan tetapi pemulangan (direhabilitasi) ke-tiga pelaku pembunuhan dan pemerkosaan siswi SMP di Palembang menuai pro dan kontra dari berbagai kalangan masyarakat, masyarakat menilai belum ada hukuman yang “setimpal” dengan tindakan keji yang dilakukan oleh para pelaku. Filosofi dalam pengaturan hukum pidana untuk anak yang melakukan pemerkosaan dan pembunuhan di Indonesia didasarkan pada prinsip bahwa anak adalah individu yang masih dalam tahap perkembangan baik secara fisik maupun mental, sehingga hukum pidana anak lebih berorientasikan pada rehabilitasi dan Pendidikan daripada pembalasan. Oleh karena itu, hukuman bagi anak pelaku tindak pidana seperti pemerkosaan dan pembunuhan tidak seberat hukuman yang diberikan kepada pelaku dewasa, mengingat adanya keyakinan bahwa anak masih memiliki potensi untuk berubah dan kembali ke dalam masyarakat.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, sistem hukum pidana anak di Indonesia berupaya untuk menyesuaikan kebutuhan rehabilitasi anak sambil berusaha untuk memenuhi rasa keadilan korban. Untuk menyeimbangkan antara rehabilitasi pelaku anak dan keadilan bagi korban, diperlukan pendekatan yang lebih holistic dan mungkin akan melibatkan proses hukum yang lebih mendalam, yang menggabungkan prinsip-prinsip restorative justice dengan mekanisme hukum yang ada. Namun, dalam hal ini yang menjadi tantangan utama tetap pada bagaimana menyeimbangkan antara kebutuhan rehabilitasi pelaku anak dan hak-hak serta keadilan bagi korban.
Referensi
Kasmir M Kolodi, Pertanggungjawaban Pidana Anak Dibawah Umur Terhadap Hilangnya Nyawa Dalam Kecelakaan Lalu Lintas, diakses pada 25 September 2024 20:11 wib, https://media.neliti.com/media/publications/149186-ID-pertanggungjawaban-pidana-anak-dibawah-u.pdf
https://www.bbc.com/indonesia/articles/czxlxx41z04o