Defisit APBN: Sebuah Kebijakan Penentu Masa Depan

Nur Udi Ilmiyanto
Mahasiswa Aktif D-III Akuntansi Alih Program Politeknik Keuangan Negara STAN
Konten dari Pengguna
31 Januari 2021 11:48 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nur Udi Ilmiyanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi uang rupiah Foto: Maciej Matlak/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi uang rupiah Foto: Maciej Matlak/Shutterstock
ADVERTISEMENT
Ketika menilik postur APBN dan menemukan defisit anggaran, seringkali terlintas sebuah pertanyaan. Mengapa APBN negara kita dibuat defisit? Mengapa tidak dikurangi saja anggaran belanja didalam APBN agar berimbang? Mengapa pemerintah lebih memilih kebijakan anggaran defisit untuk APBN? Mari kita bersama-sama melihat kebijakan anggaran defisit ini.
ADVERTISEMENT
Jika kita tinjau dari sisi positif, defisit anggaran bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Pemerintah tidak harus mengurangi belanja agar anggaran menjadi berimbang atau surplus. Semakin tinggi belanja tentu semakin banyak pihak yang terfasilitasi dan diharapkan merata sehingga akan berpengaruh pada roda perekonomian.
Pemerintah dalam menyusun APBN ternyata diatur secara resmi melalui Undang-Undang APBN pada Tahun yang Bersangkutan. Selain itu berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, defisit APBN dalam satu periode dibatasi maksimal 3 persen dari total PDB agar kebijakan ekspansif pemerintah tetap dapat menjamin APBN dalam kondisi sehat.
Defisit Anggaran pada Tahun Anggaran 2020 dan 2021 melebihi dari ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 yakni sebesar 6,34 persen dan 5,70 persen. Seperti yang kita ketahui sudah hampir satu tahun Indonesia menghadapi pandemi COVID-19 yang terjadi di hampir seluruh dunia yang berdampak pada melambatnya pertumbuhan ekonomi dan meningkatnya kemiskinan. Berkenaan dengan hal tersebut Pemerintah mengeluarkan kebijakan pelebaran defisit. Dengan pelebaran defisit terhadap PDB ini Pemerintah dapat menganggarkan lebih banyak belanja dalam rangka memulihkan perekonomian dan pengentasan kemisikinan.
ADVERTISEMENT
Pemerintah menutup defisit anggaran tersebut dengan pembiayaan yang bersumber dari utang baik dalam negeri maupun luar negeri. Defisit ini berbanding positif dengan kenaikan utang. Utang memang merupakan konsekuensi belanja negara yang ekspansif disaat penerimaan negara (Perpajakan, Bea Cukai, Hibah dan PNBP) belum dapat memenuhi besarnya belanja negara.
Tentu saja pemerintah menerapkan kebijakan melalui analisa dan perhitungan, dalam konteks pendapatan negara dan belanja kita pasti menyinggung mengenai kapasitas fiskal dan kebutuhan fiskal. Kapasitas fiskal merupakan kemampuan keuangan negara dihimpun dari sumber pendanaan yang sah sesuai undang-undang, sedangkan kebutuhan fiskal merupakan kebutuhan untuk belanja negara dalam membayar bunga dan pokok utang serta menjalankan fungsi pemerintahan.
Dalam penyusunan APBN hubungan antara kapasitas fiskal dan kebutuhan fiskal dituangkan dalam sebuah hubungan yang disebut keseimbangan dan terdiri atas dua yakni keseimbangan primer dan keseimbangan umum. Apabila pendapatan negara lebih kecil daripada belanja dan keseimbangan primer negatif maka dibutuhkan penambahan utang baru.
ADVERTISEMENT
Dalam kondisi Pandemi seperti sekarang ini, banyak “pekerjaan rumah” yang harus diselesaikan bahkan ketika penerimaan dalam negeri kita masih dalam tekanan. Kebijakan defisit dan penambahan pembiayaan ini diharapkan dapat menjaga momentum pertumbuhan eknomi dan menghindari opportunity loss. Terlebih jika defisit ini sudah memperhitungkan kebijakan fiskal konsolidatif , kebijakan pembiayaan yang terukur dan seiring dengan berjalannya waktu akan kembali normal di angka 3 persen.
Nur Udi Ilmiyanto
-Mahasiswa Diploma III Akuntansi Alih Program Politeknik Keuangan Negara STAN-