Gunung Es Praktik Thrifting

Alumnus PKN STAN - Anggota Komunita Kemenkeu
Konten dari Pengguna
19 Maret 2023 17:35
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Titania Audrey Al Fikriyyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Suasana Thrifting di Pasar Senen, Jakarta Pusat, Selasa (28/2/2023). Foto: Jonathan Devin/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Suasana Thrifting di Pasar Senen, Jakarta Pusat, Selasa (28/2/2023). Foto: Jonathan Devin/kumparan
Tren thrifting tengah menjadi perbincangan sejak pemerintah mengumumkan larangan impor pakaian bekas. Memang saat ini media sosial tengah diramaikan oleh fenomena berburu barang-barang bekas atau thrifting di kalangan remaja. Saat bersamaan, terdapat gelombang PHK besar-besaran di industri tekstil dalam negeri.
Menurut data dari Asosiasi Pertekstilan Indonesia, ada pemutusan hubungan kerja (PHK) sebanyak 60 ribu karyawan sepanjang tahun 2022. Hal ini dilatarbelakangi oleh ketidakpastian ekonomi global di sejumlah negara yang berdampak pada berkurangnya permintaan ekspor.
Penjualan di pasar dalam negeri pun juga tidak cukup menolong. Dengan adanya impor puluhan ribu ton pakaian bekas sepanjang tahun 2022, persaingan industri tekstil menjadi sedemikian ketat sehingga banyak perusahaan tekstil yang mengibarkan bendera putih.
Menurut data BPS, sampai dengan Desember 2022 terdapat impor 26.224 kilogram pakaian bekas ke Indonesia. Data ini mengalami peningkatan setidaknya tiga kali lipat dari periode yang sama—pada Desember 2021—di mana jumlah impor pakaian bekas berada di angka 7.937 kilogram.
Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia memiliki minat yang tinggi terhadap pakaian-pakaian impor bekas menyusul semakin populernya budaya thrifting di kalangan remaja ataupun anak-anak muda.
Awal fenomena ini sebenarnya dilandasi dengan niat yang baik. Budaya thrifting menggaungkan semangat menjaga lingkungan dengan memanfaatkan kembali (reuse) pakaian bekas yang ada. Tren thrifting dinilai menjadi salah satu penerapan dari ekonomi sirkular yang saat ini tengah digalakkan secara global.
Calon pembeli memilih pakaian impor bekas di Pasar Senen, Jakarta, Jumat (8/7/2022). Foto: Muhammad Adimaja/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Calon pembeli memilih pakaian impor bekas di Pasar Senen, Jakarta, Jumat (8/7/2022). Foto: Muhammad Adimaja/ANTARA FOTO
Namun jika dipandang secara holistik, fenomena thrifting ini justru menyimpan sebuah gunung es yang sangat besar apabila produk thrifting yang beredar di pasaran dalam negeri adalah barang impor.
Pertama, timbunan sampah tekstil di dalam negeri akan semakin bertambah. Seluruh pakaian bekas yang diimpor dari luar negeri belum tentu bisa dijual kembali. Para pedagang akan memisahkan pakaian bekas yang masih layak dijual dan yang rusak untuk menjaga kualitas barang dagangan mereka. Pakaian bekas yang tidak bisa dijual inilah yang otomatis akan menambah jumlah sampah tekstil di dalam negeri.
Kedua, adanya impor pakaian bekas yang masuk ke pasar dalam negeri akan berpotensi “mematikan” industri lokal. Pakaian bekas dari luar negeri menyediakan pilihan pada calon konsumen untuk dapat membeli barang bermerek dengan harga miring.
Konsumen dapat membeli beberapa pakaian bekas ini dengan jumlah uang yang sama ketika membeli satu produk baru, sehingga hal ini akan berdampak pada penurunan penjualan industri tekstil dalam negeri.
Hal ini akan menimbulkan efek yang cukup signifikan pada industri tekstil. Sebagai gambaran, dengan turunnya penjualan tekstil maka permintaan ke pabrik akan berkurang. Akibatnya, pabrik harus memangkas biaya operasi produksi agar terhindar dari kerugian atau bahkan kebangkrutan. Salah satu skenario buruk yang bisa terjadi adalah Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) bagi karyawan pabrik atau bahkan sampai dengan penutupan pabrik.
Ketiga, pakaian bekas yang berasal dari impor berpotensi tinggi dalam hal penyebaran penyakit. Melalui penelitian yang dilakukan oleh Kemendag terhadap produk pakaian bekas yang beredar di lapangan, terdapat temuan sejumlah bakteri yang ada pada pakaian bekas.
Ketiga problematika kompleks ini semakin menyakinkan bahwa impor pakaian bekas bukanlah opsi yang bijak untuk dilakukan karena dampaknya yang berlipat dari sektor lingkungan, ekonomi, bahkan kesehatan.

Apa yang Bisa Dilakukan?

Ilustrasi : Unsplash
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi : Unsplash
Untuk mengatasi ketiga problematika tersebut perlu adanya sinergi antar lembaga Pemerintah dan juga peran aktif masyarakat. Solusi pertama yang bisa dilakukan oleh Pemerintah adalah memperketat pengawasan dan peredaran pakaian bekas.
Maraknya impor pakaian bekas dengan jumlah yang sangat besar mulai mengganggu stabilitas industri tekstil dalam negeri. Jika hal ini terjadi secara berkelanjutan tentu saja akan berdampak pada semakin tingginya jumlah pengangguran di Indonesia dan kesejahteraan masyarakat secara umum.
Ketentuan terkait larangan impor pakaian bekas sendiri sudah tercantum pada Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 tentang Larangan Impor Pakaian Bekas. Sesuai yang tercantum pada peraturan tersebut, pakaian bekas adalah salah satu barang yang dilarang untuk diimpor.
Dalam peraturan tersebut dijelaskan bahwa pakaian bekas dengan pos tarif/HS 6309.00.00.00 yang tiba di wilayah Indonesia wajib dimusnahkan. Selain itu importir juga dikenai sanksi administratif dan sanksi lain sesuai ketentuan perundang-undangan. Oleh karena itu, ketegasan pemerintah dalam memperketat alur impor pakaian bekas ini sangat dibutuhkan.
Tidak hanya dalam rangka melindungi konsumen akan potensi bahaya kesehatan, namun juga untuk menyelamatkan industri dalam negeri. Selain itu, sinergi antara masyarakat dan pemerintah juga diperlukan dalam pengelolaan sampah di dalam negeri. Pengelolaan sampah yang baik dapat mewujudkan terciptanya sistem ekonomi sirkular yang lebih efektif.
Limbah tekstil atau pakaian bekas yang tidak terpakai dapat lebih mudah diakses oleh industri untuk diproses kembali menjadi pakaian baru. Cara ini lebih aman, ramah lingkungan, dan tentu saja membuat perputaran roda ekonomi yang stabil.
Sejak di bangku sekolah dasar, kita belajar bahwa membeli produk dalam negeri adalah salah satu bentuk wujud cinta tanah air atau nasionalisme. Di era ketidakpastian situasi ekonomi global saat ini, nasionalisme kita benar-benar diuji namun tidak lagi dengan cara mengangkat senjata melawan penjajah.
Hanya dengan membeli produk dalam negeri, kita bisa menjadi pahlawan masa kini dengan berkontribusi pada perputaran roda ekonomi. Hasilnya akan berdampak ke banyak orang, pengusaha baju, para karyawan pabrik tekstil, usaha-usaha di sekitar pabrik tersebut dan banyak yang lain. Oleh karena itu, kebijaksanaan konsumen dalam memilih produk sangat diperlukan untuk menjaga stabilitas ekonomi dalam negeri.
Baca Lainnya
Sedang memuat...
S
Sedang memuat...
·
Sedang memuat...
S
Sedang memuat...
·
Sedang memuat...
S
Sedang memuat...
·
Sedang memuat...
S
Sedang memuat...
0 Suka·0 Komentar·
01 April 2020
Sedang memuat...
S
Sedang memuat...
0 Suka·0 Komentar·
01 April 2020
Sedang memuat...
S
Sedang memuat...
0 Suka·0 Komentar·
01 April 2020
Sedang memuat...
S
Sedang memuat...
0 Suka·0 Komentar·
01 April 2020
Sedang memuat...
S
Sedang memuat...
0 Suka·0 Komentar·
01 April 2020