Pajak Penghasilan Naik?

Shofia Rossya Millah
Mahasiswa PKN STAN dan ASN Kementerian Keuangan
Konten dari Pengguna
2 Februari 2022 12:56 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Shofia Rossya Millah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi orang sedang bekerja. Foto: Shofia Rossya
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi orang sedang bekerja. Foto: Shofia Rossya
ADVERTISEMENT
Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) baru saja merilis berita peresmian Rancangan Undang-Undang (RUU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) menjadi Undang-Undang. Lahirnya Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) menjadi bagian dari proses reformasi struktural untuk mendorong sistem perpajakan yang adil, sehat, efektif, dan akuntabel. Penguatan sistem perpajakan akan memperkuat fungsi APBN dari sisi penerimaan terutama dalam pembangunan jangka panjang.
ADVERTISEMENT
Melalui UU HPP, komitmen keberpihakan kepada masyarakat menengah-bawah dilaksanakan. Di bidang pajak penghasilan (PPh), perbaikan kebijakan diantaranya melalui insentif bagi Wajib Pajak (WP) Usaha Mikro, Kecil, Menengah (UMKM), perbaikan progresivitas tarif PPh Orang Pribadi (OP), serta perbaikan administrasi salah satunya dengan penggunaan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) untuk Wajib Pajak Oprang Pribadi (WP OP).
Kehadiran UU HPP Ini membuktikan Indonesia selalu bisa menggunakan sebuah krisis menjadi momentum reformasi. Pandemi yang menjadi sebuah fenomena extraordinary telah menimbulkan tekanan yang luar biasa bagi masyarakat. Ini menyebabkan APBN harus hadir untuk mengurangi tekanan tersebut. Pemerintah harus menghadapi situasi dimana pendapatan negara terkontraksi sangat dalam sementara belanja negara tumbuh signifikan, sehingga defisit melebar.
ADVERTISEMENT
Disahkannya UU HPP memunculkan pertanyaan mengenai besaran pajak. Banyak yang berfikir bahwa akan terjadi kenaikan pajak penghasilan sebagai imbas dari naiknya tarif pajak penghasilan (PPh). Salah satu penyebab munculnya presepsi ini karena masyarakat tersebut belum memaknai arti dari kenaikan tarif PPh. Tulisan ini akan fokus untuk membahas makna kenaikan tarif pajak penghasilan (PPh).
Sebelum membahas lebih lanjut terkait pajak penghasilan (PPh), kita harus tahu besaran apa yang naik, apakah pajaknya? atau lapisan tarifnya? kita perlu melihat perbandingan lapisan tarif pajak dahulu dan lapisan pajak sekarang (UU HPP). Lapisan tarif pajak penghasilan (PPh) karyawan atau wajib pajak orang pribadi diperluas untuk lapisan tarif 5%. Kalau sebelumnya tarif 5% hanya untuk penghasilan sampai 50 juta, UU HPP memperluasnya sampai 60 juta. Jadi, pajak yang dibayarkan lebih murah dan pekerja baru akan ditarik pajaknya sebesar 5% atas penghasilan kena pajak sampai dengan Rp 60 juta per tahun, bukan lagi Rp 50 juta. Di sisi lain, pemerintah mengubah tarif dan menambah lapisan (layer) PPh orang pribadi sebesar 35% untuk penghasilan kena pajak di atas Rp5 miliar.
ADVERTISEMENT
Lapisan pajak 35% disini memberikan informasi bahwa perubahan-perubahan ini ditekankan untuk meningkatkan keadilan dan keberpihakan kepada masyarakat berpenghasilan menengah dan rendah, termasuk pengusaha UMKM orang pribadi maupun UMKM badan, dan bagi orang pribadi yang lebih mampu harus membayar pajak lebih besar (efek fairness bagi wajib pajak).
UU HPP merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari rangkaian panjang birokrasi perpajakan yang telah dilakukan selama ini baik reformasi administrasi maupun reformasi kebijakan. UU ini akan menjadi batu pijak yang sangat penting bgai proses reformasi selanjutnya. UU ini juga hadir dalam momentum yang tepat, dan akan memainkan pernan yang sangat signifikan dalam upaya pemerintah dalam melakukan konsolidasi fiskal.