Pentingnya Transportasi Publik di Tengah Keraguan Pemerintah Membangunnya

Rijal Hanif
Mahasiswa Politeknik Keuangan Negara STAN
Konten dari Pengguna
19 Desember 2021 21:41 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rijal Hanif tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kemacetan Kota Jakarta. Foto oleh Azka Rayhansyah di Unsplash
zoom-in-whitePerbesar
Kemacetan Kota Jakarta. Foto oleh Azka Rayhansyah di Unsplash
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Menjalani kehidupan di daerah perkotaan Indonesia itu tidak mudah. Menjadi tempat mengadu nasib dan perantauan di negara dengan populasi terbanyak ke empat di dunia membuat daerah perkotaan harus menampung jumlah manusia yang melebihi kapasitasnya. Meledaknya jumlah populasi pun menimbulkan sejumlah permasalahan yang tidak terhindarkan, salah satunya tingkat kemacetan. Berdasarkan seratus daftar kota termacet di dunia, enam di antaranya terletak di Indonesia. Kemacetan pun memberikan dampak kerugian yang besar, bahkan Presiden Jokowi mengatakan bahwa kerugian akibat kemacetan di Jabodetabek mencapai Rp 100 Triliun.
ADVERTISEMENT
Ketika menghadapi kemacetan, mungkin pernah terlintas di benak kita tentang "apakah pemerintah tidak mempertimbangkan untuk membangun sarana transportasi publik? Kenapa pemerintah belum juga membangunnya? Apakah karena tidak ada dananya? Apakah solusi kemacetan di daerah hanya dengan rekayasa lalu lintas? Apa ada solusi lain dari pemerintah daerah mengatasi kemacetan di daerahnya?"
Persoalan transportasi massal
Ternyata, dibalik persoalan untuk membangun transportasi massal yang terbilang baik cukuplah rumit. Setidaknya terdapat tiga alasan mengapa pemerintah daerah tidak mempunyai cukup insentif untuk membangun transportasi massal yang baik di daerahnya.
Pertama, pembangunan transportasi massal dilakukan dalam tahun jamak (multi-years) sehingga apabila kepala daerah saat ini membangun, hasilnya baru akan selesai bertahun-tahun kemudian dan seolah diakui sebagai “prestasi” kepala daerah selanjutnya. Sebagai contoh untuk membangun MRT Jakarta fase 1 Lebak Bulus-Bundaran HI sepanjang 16 Kilometer membutuhkan waktu selama enam tahun. Sedangkan LRT Palembang sepanjang 25 Kilometer yang diprakarsai dan dibiayai Pemerintah Pusat melalui APBN dapat selesai dalam waktu hanya tiga tahun.
ADVERTISEMENT
Kedua, transportasi massal sangat jarang mendapatkan keuntungan bahkan harus disubsidi oleh pemerintah. Pada tahun 2020 saja MRT Jakarta membutuhkan subsidi sebesar Rp 700 Miliar dan LRT Palembang membutuhkan subsidi sebesar Rp 180 Miliar. DKI Jakarta, sebagai provinsi dengan pendapatan daerah terbesar di Indonesia, mungkin satu-satunya provinsi yang sanggup mensubsidi sebanyak itu, sedangkan LRT Palembang masih disubsidi oleh Pemerintah Pusat melalui Kementerian Perhubungan.
Ketiga, salah satu penerimaan terbesar pemerintah daerah adalah Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB), Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB), dan Pajak Parkir. Sebagai contoh Berdasarkan APBD DKI Jakarta tahun 2021, keempat penerimaan pajak tersebut mencapai Rp 16,6 Triliun setahun atau 32% dari total penerimaan.
ADVERTISEMENT
Apabila anda sebagai kepala daerah DKI Jakarta, tentu saja menekan jumlah kendaraan baru, menekan pemakaian kendaraan pribadi, dan merogoh kocek lebih untuk membangun dan mensubsidi transportasi massal adalah kebijakan populer namun seolah bunuh diri. Kehilangan hampir sepertiga dari penerimaan daerah dapat membuat keuangan daerah pincang dan membuat pemerintah daerah tidak bisa menjalankan fungsi-fungsinya. Namun apabila dibandingkan dari kerugian akibat kemacetan di Jabodetabek yang mencapai Rp 100 Triliun, Rp 16,6 Triliun seolah menjadi kecil untuk ke depannya mendapatkan jumlah pendapatan yang lebih besar dari sektor lain.
Ketiga alasan di atas seolah bersinergi untuk mempersulit terciptanya transportasi massal. pemerintah daerah pun akan ragu, apakah dengan berkurangnya pendapatan perpajakan kendaraan bermotor dapat dikompensasi dengan meningkatnya pendapatan perpajakan di sektor lain? pemerintah daerah tentu tidak mau mempertaruhkan risiko tersebut. Bahkan kecenderungannya bisa jadi membuat pemerintah daerah seolah mempromosikan kendaraan bermotor. Karena semakin banyak kendaraan bermotor semakin banyak pendapatan daerahnya. Kemacetan yang membuang-buang bensin? Meningkatkan pendapatan Pajak Bahan Bakar. Membangun transportasi publik? Membebani kas daerah. Akhirnya kendaraan pribadi pun terpaksa membudaya di masyarakat.
ADVERTISEMENT

Dampak lain kemacetan

Dilansir dari mediaindonesia.com, kemacetan di Jakarta membuat pengendara hanya memiliki kecepatan 22 Km/Jam. Artinya apabila jarak dari rumah ke kantor adalah 20 Kilometer, dalam sehari seorang pekerja membutuhkan waktu kurang lebih dua jam hanya untuk dalam perjalanan.
Melihat kecenderungan pemerintah daerah untuk tidak membangun transportasi massal yang baik, sebaiknya pemerintah dapat memberikan bantuan/kompensasi kepada warganya yang terdampak.

Kompensasi pemerintah

Mungkin di benak kita akan timbul suatu pertanyaan tentang bagaimana pemerintah memberikan kompensasi atas kemacetan yang timbul? Atau bahasa lainnya adalah bagaimana pemerintah memberikan bantuan “kesenangan” yang paling maksimal untuk warganya? Dalam Mikroekonomi ada hukum-hukum mengenai penurunan utilitas yang bernama The law of Diminishing Marginal Utility. Yaitu tambahan kepuasan yang akan diperoleh seseorang dari mengkonsumsikan satu barang akan menjadi semakin sedikit apabila orang tersebut terus-menerus menambah konsumsinya pada barang tersebut. Jadi hanya masing-masing pribadi yang mengetahui apa preferensinya untuk dapat mencapai total kepuasan tertinggi.
ADVERTISEMENT
Melihat hukum penurunan utilitas tersebut, menjadikan bantuan langsung tunai adalah solusi terbaik untuk mencapai tingkat kepuasan maksimal, yaitu dengan memberikan uang dan membebaskan masing-masing memilih sendiri apa preferensinya. Permasalah selanjutnya, bagaimana memberikannya? Apakah diberikan kepada setiap orang yang terdampak kemacetan? Hal itu kurang tepat karena seringkali yang paling membutuhkan adalah masyarakat menengah ke bawah. Bagaimana dengan memberikan kepada yang memiliki masyarakat tidak mampu? Nyaris sulit dilakukan karena permasalahan seperti ada yang tidak memiliki rekening Bank, bantuan bisa jadi digunakan untuk konsumsi yang tidak seharusnya, dan sulitnya pendataan penghasilan yang akurat.
Salah satu solusi terbaiknya adalah bukan dengan pemberian uang tapi dengan pemberian pelayanan dasar umum (universal basic service). Pemerintah dapat menyediakan pelayanan dasar umum yang dibutuhkan orang kurang mampu dan tidak dibutuhkan orang mampu. Beberapa contohnya adalah Beras untuk Keluarga Miskin (RASKIN), rumah subsidi, dan transportasi publik. Mengapa transportasi publik termasuk? Karena orang mampu cenderung tetap memilih kendaraan pribadi dengan alasan seperti keamanan, kenyamanan, fleksibilitas, dan gaya hidup.
ADVERTISEMENT

Transportasi Massal dan pekerja

Selain dapat mempercepat waktu transportasi dan mengurangi kemacetan pada kawasan perkotaan, transportasi massal dapat memberikan keuntungan lain, yaitu dapat meningkatkan tingkat kompetitif pekerja.
Pada pasar tenaga kerja (labor market), kerap kali tenaga kerja berada pada posisi lebih lemah. Pekerja dihadapkan dengan beragam penghalang (barrier) yang membuatnya mau tidak mau menerima pekerjaan berupah rendah atau tetap bertahan di pekerjaannya walau diberi upah rendah. Beberapa penghalangnya adalah seperti sudah nyaman bekerja di pekerjaan saat ini, lokasi kerja yang dekat dengan domisili, sulit melamar pekerjaan di tempat baru, dan beragam alasan lain yang menjadi penghalang sehingga perusahaan memiliki kekuatan pasar sangat besar dan menjadi monopsoni pasar pekerja.
Perusahaan menjadi satu-satunya pemberi kerja pada pekerja tersebut dengan dan bertindak sebagai pembuat harga, yaitu penentu berapa upah yang ingin diberikan kepada setiap tenaga kerja. Contoh penghalang lokasi kerja terhadap pertimbangan pemilihan pekerjaan adalah pekerjaan berjarak 1 kilometer dari rumah tentu lebih disukai daripada pekerjaan dengan upah yang sama tetapi berjarak 20 kilometer. Dan apabila pekerjaan yang berjarak 20 kilometer tersebut bergaji lebih tinggi namun perjalanan menuju tempat kerja sangat macet dan tidak ada pilihan transportasi publik, bisa jadi ia tetap memilih pekerjaan yang dekat dari rumah. Jadi bagi seorang pekerja, lokasi kerja merupakan suatu penghalang yang membuatnya tidak memilih bekerja di tempat jauh.
ADVERTISEMENT
Dengan transportasi publik yang baik, pertimbangan sulitnya menempuh perjalanan ke kantor akan berkurang dan dapat membuat pasar tenaga kerja menjadi lebih kompetitif.

Pasar tenaga kerja yang kompetitif

Beberapa kali kita mendengar ada pekerja yang ingin keluar dari pekerjaannya, namun ketika akan menyampaikan pengajuan keluar perusahaan, justru ia ditahan oleh perusahaan dan dijanjikan kenaikan upah. Mungkin saja sebenarnya perusahaan dapat memberikan upah lebih namun karena perusahaan memiliki kekuatan pasar yang dominan, membuatnya dapat mengambil profit sebesar-besarnya dari tenaga kerja yang tidak mempunyai pilihan lain untuk bekerja. Dalam Mikroekonomi, selisih antara output yang dihasilkan dari mempekerjakan unit tenaga kerja tambahan (Marginal Product of Labor) dan upah tenaga kerja adalah profit perusahaan. Semakin rendah upah tenaga kerja, semakin besar profit perusahaan. Dengan semakin kompetitifnya pasar tenaga kerja, pekerja menjadi dapat memiliki kesempatan bekerja dengan upah yang lebih baik dan tidak dieksploitasi berlebih oleh perusahaan.
ADVERTISEMENT

Kesimpulan

Dari pembahasan diatas saran yang dapat kita berikan untuk kemajuan trasportasi publik ialah, sebaiknya Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah dapat berinovasi untuk pembiayaan transportasi publik dari subsidi silang. Contohnya seperti implementasi jalan berbayar elektronik (JBE) yang dari pendapatannya dapat dialokasikan khusus hanya untuk pembiayaan transportasi publik. Diharapkan pemerintah daerah dapat menggali potensi pajak daerah selain dari Pajak Kendaraan Bermotor dan dapat menarik potensi kerugian ratusan triliun dari kemacetan. Selain itu, melihat tingginya biaya transportasi publik, diharapkan Pemerintah Pusat dapat membuat cetak biru kerangka kerja transportasi massal nasional, dan sebagai asistensi atau inisiator transportasi publik.
Dengan adanya usaha-usaha tersebut, diharapkan perlahan seluruh masyarakat mendapat kesempatan bekerja yang sama dan dapat menaikkan kualitas tenaga kerja Indonesia menjadi lebih tinggi serta membaiknya tingkat kemacetan yang dialami daerah perkotaan di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Sumber:
Pindyck, R. S., & Rubinfeld, D. L. (2018). Microeconomics. Upper Saddle River, N.J: Pearson/Prentice Hall.
Jonathan, Gruber. “Principles of Microeconomics.” MIT OpenCourseWare. Accessed December 18, 2021. https://ocw.mit.edu/courses/economics/14-01-principles-of-microeconomics-fall-2018/