Pedofilia: Bagian dari Parafilia yang Dinormalisasi di Indonesia

Almi Sayyidatul Q
Mahasiswi Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang
Konten dari Pengguna
8 Juli 2021 8:25 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Almi Sayyidatul Q tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi pedofil Foto: Thinkstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pedofil Foto: Thinkstock
ADVERTISEMENT
Belum lama ini sedang ramai diperbincangkan oleh warganet Indonesia, seorang gadis belum genap berusia 15 tahun yang berperan sebagai seorang istri ke tiga dari aktor yang berusia 39 tahun pada sebuah serial televisi nasional. Bukan perkara poligami saja yang menjadi sorotan, tetapi dalam series TV itu mempertontonkan adegan ranjang yang tidak pantas dilakukan oleh seorang gadis yang belum cukup dewasa seolah menormalisasi perkawinan di bawah umur, poligami dan juga tindak kejahatan pedofilia.
ADVERTISEMENT
Baru saja beberapa hari ditayangkan tetapi series tersebut telah dikecam dan dilaporkan masyarakat kepada KPAI & KPI dalam berbagai postingan di media sosial. Muncul pula petisi yang menginginkan untuk series tersebut dihentikan tayang karena kemungkinan besar akan berpengaruh pada pola pikir masyarakat Indonesia terlebih hal itu ditayangkan oleh stasiun televisi nasional yang akan ditonton oleh berbagai usia & kalangan.
Salah satu adegan pedofilia terhadap anak di bawah umur yang berperan sebagai istri ketiga pada sebuah series di TV nasional
APA mengatakan, pedofilia adalah parafilia di mana seseorang memiliki hubungan yang kuat dan berulang terhadap dorongan seksual dan fantasi tentang anak prapuber. Pedofilia bisa dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan terhadap korban sesama jenis ataupun tidak. Pedofilia bukan berarti kekerasan seksual karena terkadang pelakunya hanya ingin berfantasi atau sekadar memuaskan hasratnya dengan melihat foto atau video bugil anak kecil tanpa harus berkontak fisik dengan mereka lalu juga kekerasan seksual tidak selalu pedofilia.
ADVERTISEMENT
Dilansir dari healthkompas.com, Menurut dokter spesialis kejiwaan dari Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung, Teddy Hidayat. Pedophilia terbagi menjadi tiga jenis yaitu,
1. Immature Pedophiles
Pengidapnya cenderung melakukan pendekatan kepada targetnya yang masih kanak-kanak, misal memberi iming-iming dengan makanan.
2. Regressed Pedophiles
Pengidapnya biasanya memiliki istri untuk kedok penyimpangan orientasi seksual, tetapi tak jarang pasangan ini memiliki masalah seksual dalam kehidupan rumah tangganya.
3. Agressive Pedophiles
Pengidapnya cenderung berperilaku anti-sosial di lingkungannya, biasanya punya keinginan untuk menyerang dan bahkan membunuh setelah menikmati korbannya.
Ciri umum lainnya dari seorang pedofil yakni introvert biasanya cenderung menyendiri & sulit bergaul dengan orang dewasa seusianya, obsesif terhadap konten pornografi anak, berkamuflase berusaha baik & mencari alasan untuk bisa selalu dekat dengan anak, agresif mengincar siapapun jika korban targetnya gagal didapatkan, dan bisa jadi memiliki problem penyalahgunaan NAPZA.
ADVERTISEMENT
Dampak psikologis yang didapatkan korban pedofilia antara lain trauma, menjadi tidak percaya diri, gelisah, cemas, pemarah & sensitif, stress sampai depresi Disebutkan juga dalam sebuah penelitian (Ningsih et al., 2017) terdapat tiga jenis dampak psikologis yang dialami korban.
1. Gangguan Perilaku
Seperti menyendiri, malas melakukan rutinitas, & terhambatnya interaksi sosial.
2. Gangguan Kognisi
Ditandai dengan sulitnya berkonsentrasi & melamun saat belajar sehingga menurunkan prestasi di sekolah.
3. Gangguan Emosional
Ditunjukan dengan perubahan suasana hati, merasa takut pada orang lain, sedih & menyalahkan diri sendiri terhadap hal yang menimpanya sampai pada kecewa terhadap Tuhan.
Lalu dampak negatif yang timbul bagi kesehatannya yaitu pola makan tidak teratur, sulit tidur, sering mimpi buruk tentang kejadian pedofilia yang dialaminya, berpotensi menyebabkan penyakit seksual menular, hamil muda, hingga perdarahan.
ADVERTISEMENT
Sedangkan untuk dampak sosial yang ditimbulkan yakni terganggunya komunikasi sosial dengan keluarga ataupun di luar rumah karena berkemungkinan untuk diasingkan oleh masyarakat bahkan oleh keluarga besarnya sendiri.
Pada 2018 muncul sebuah statement dari FBI dan Interpol yang menyatakan bahwa kasus pedofilia di Indonesia merupakan yang tertinggi di Asia, tetapi ketua KPAI membantahnya “Kalaupun ada data itu harus kami cek lagi,” (kpai.go.id, 2018).
Tentunya kita tidak mau fenomena pedofilia ini kian marak di Indonesia. Oleh karena itu kita harus mampu mencegah terjadinya fenomena seperti ini dengan memberikan pengetahuan sejak dini kepada anak-anak untuk bisa menjaga tubuh mereka sendiri dimanapun dan kapanpun.
Coba berikan pemahaman kepada anak untuk tidak memperbolehkan siapapun menyentuh tubuhnya apalagi pada organ intim selain dirinya sendiri, orang tua saat memandikannya jika ia masih kecil dan dokter jika memang ada kepentingan untuk kesehatan. Beri tahu anak jika ada orang yang tidak dikenal atau dikenal sekalipun memegang tubuhnya dengan kondisi yang tidak normal atau memintanya melakukan sesuatu pada tubuhnya sendiri, ia berhak menolak, marah, berteriak, menjauh, dan meminta pertolongan karena hal itu tergolong pelecehan seksual pada anak.
ADVERTISEMENT
Hal yang bisa dilakukan untuk membantu memulihkan seorang pedofil dari gangguan mental dan seksualnya yaitu dengan terapi perilaku kognitif. Biasanya si pedofil diberi pemahaman semisal anak yang dijadikan target itu diumpamakan sebagai anaknya sendiri, apakah ia masih tega melakukan hal tidak terpuji tersebut. Hal ini bertujuan agar menumbuhkan rasa empati dan rasa bersalah sehingga si pedofil bisa menghindari niat buruknya itu.
Selanjutnya diberikan obat-obatan contohnya leuprolide acetate dan medroxyprogesterone acetate. Bertujuan untuk menurunkan produksi hormon testosteron pada seorang pedofil yang kebanyakan adalah laki-laki agar bisa menurunkan gairah seksualnya.
Memang tidak semua pedofil akan bisa sembuh dari gangguannya dalam waktu yang cepat, karena itu juga tergantung dari bagaimana motivasi dan seberapa besar usahanya untuk bisa kembali menjalani hidup dengan kondisi yang normal.
ADVERTISEMENT