Paradoks Persepsi Korupsi dan Makna Integritas pada Petugas Pemasyarakatan

Anka Priehanggoro
alam menginspirasi, manusia berimajinasi
Konten dari Pengguna
19 September 2021 21:21 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anka Priehanggoro tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tidak dipungkiri fenomena budaya korupsi pada pelayan publik kian hari kian krusial. Ertimi dan Saeh (2013) menyatakan bahwa korupsi dikatakan “salah secara hukum, salah secara moral, dan tidak etis secara ekonomi” karena secara langsung maupun tidak langsung memberikan dampak negatif bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Bahkan bukan hanya menghancurkan bidang ekonomi masyarakat saja tetapi sudah merambah pada penghancuran sistem politik, sistem demokrasi dan berpotensi mengganggu ketahanan nasional.
ADVERTISEMENT
Secara etimologis, kata korupsi dipadankan dengan bahasa Latin “corruptuse” yang artinya merusak; membusuk; menghancurkan dan hancur berkeping-keping. Definisi ini semakna dengan penjelasan Aristotle (2001) dalam sebuah karyanya yang berjudul "De Generatione er Corruptione" bahwa korupsi adalah lawannya dari kebangkitan dan cenderung mengacu kepada pemerosotan atau yang binasa. Dalam suatu negara korupsi bermakna degradasi sistemik terhadap komitmen aparatur penegak hukum yang mengemban sumpah dan komitmen kepada negara dan masyarakat.
Jajaran kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Banten zona Tangerang Raya berfoto bersama, usai penandatanganan deklarasi janji kinerja. Foto : KabarBanten.com/Yandri Adiyanda
Upaya pemberantasan permasalahan korupsi di Indonesia sebenarnya sudah diinisiasikan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat yang terjadi pada tahun 1998 melalui suatu agenda reformasi hukum besar-besaran dalam mencegah dan memberantas korupsi yang dilandasi oleh kesadaran yang timbul pada periode orde lama hingga proses reformasi sehingga tumbuh pengertian bersama bahwa apabila permasalahan korupsi dibiarkan dan tidak diatasi sampai ke akarnya maka akan membawa negara ini ke dalam jurang kehancuran.
ADVERTISEMENT
Oleh karenanya hingga kini pemerintah negara Indonesia tidak kehilangan asa untuk melakukan upaya pemberantasan korupsi yang terbukti dengan telah lahirnya berbagai produk hukum misalnya TAP MPR (Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat), Undang-undang, Peraturan Pemerintah atau lebih rinci diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 / 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Fenomena korupsi yang kini telah mengakar mulai dari tingkatan jabatan atas hingga bawah kini juga merasuk pada tubuh lembaga-lembaga penegak hukum yang terintegrasi dalam sebuah sistem yang dikenal dengan sebutan Integrated Criminal Justice System. Korupsi yang lumrah terjadi pada lembaga penegak hukum umumnya dilakukan dengan menyalahgunakan kewenangan, menyelewengkan kepercayaan dan melibatkan kekuasaan pribadi dan koneksi yang tujuannya untuk meraih keuntungan pribadi dan cenderung merugikan kepentingan publik (bersama).
ADVERTISEMENT
Padahal sudah jelas tertulis dalam alinea ke-4 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa negara memerlukan Aparatur Sipil Negara (ASN) yang mampu profesional, independen dari intervensi kepentingan politik, bersih dari praktik kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) sehingga mampu menyuguhkan pelayanan publik bagi masyarakat serta mampu melaksanakan peran sebagai perekat persatuan dan kesatuan bangsa yang didasari nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Sudah banyak analisis mengapa tindakan korupsi cenderung kerap terjadi pada instansi negara, bahkan sudah dilakukan upaya berulang kali untuk memberantas perilaku korupsi tersebut namun tetap saja perilaku ini tetap ada dan semakin sulit untuk diberantas.
Ilustrasi Korupsi. Foto: Indra Fauzi/kumparan
Masyarakat memiliki persepsi kebencian terhadap adanya praktik korupsi, mereka berpandangan bahwa korupsi sebagai masalah sosial yang sungguh kentara dampaknya dan berbahaya layaknya penyakit kronis yang menggerogoti dan harus sesegera mungkin diberantas. Namun hal itu menjadi paradoks ketika masyarakat dihadapkan pada keadaan sehari-hari yang konkret, mereka akan memaklumi kemudian berpandangan bahwa korupsi adalah sesuatu yang biasa dan normal bagaimanapun memang itu kenyataannya dan bersedia membayar atau dibayar dalam bentuk uang atau bentuk lain seperti hadiah (gratifikasi). Bahkan sebagian besar masyarakat enggan melaporkan praktik ini sehingga praktik korupsi kian menjadi fenomena yang wajar dan kontinyu.
ADVERTISEMENT
Masyarakat seakan-akan mengutuk praktik korupsi namun sebaliknya juga masyarakat bersikap permisif terhadap berbagai perilaku korupsi yang terjadi, sehingga secara tidak langsung terbentuk hubungan yang saling membutuhkan satu sama lain dari pihak aparatur penegak hukum terhadap individu masyarakat yang berkepentingan.
Perlu diketahui bahwa konsep dari korupsi itu sendiri tidaklah sempit melainkan luas dan sangat bervariasi tergantung pada pandangan masyarakat itu sendiri. Karena di balik konsep korupsi itu terdapat berbagai macam pemikiran dan bahasa yang kontras satu sama lain. Akibatnya, pandangan sosial terhadap korupsi memungkinkan untuk bervariasi secara dramatis dari berbagai kelompok masyarakat dan di antara individu ke individu.
Sebagai contoh suatu tindakan korupsi pasti dianggap korup dalam suatu entitas masyarakat namun bisa juga dikatakan normal di entitas masyarakat lainnya. Jika ingin memahami korupsi secara lebih komprehensif daripada hanya mendefinisikan korupsi sebagai penyelewengan kekuasaan oleh aparatur penegak hukum, maka korupsi dapat dilihat dari kacamata berbeda sebagai penyalahgunaan kekuasaan di semua lini kehidupan. Sebuah klub sepak bola yang mau mengalah untuk uang taruhan bandar judi, atlet yang melakukan doping atau curang agar bisa menang dalam olimpiade, seorang seniman yang memplagiasi karya orang lain, semua hal itu juga merupakan kasus korupsi. Karena pada kasus tersebut orang berkuasa atas pilihannya, namun apabila kekuasaan tersebut disalahgunakan maka praktik korupsi terjadi secara gradual. Oleh karena itu, konsep korupsi bukanlah suatu kondisi yang mutlak melainkan sebuah fenomena sosial.
ADVERTISEMENT
Dengan adanya fenomena sosial ini, apa yang seharusnya ditanamkan pada setiap petugas pemasyarakatan dan masyarakat ?
Pada kasus ini terjadi hubungan antara manusia dengan institusi negara yang juga dikendalikan oleh manusia, persoalannya di sini adalah bagaimana kedua belah pihak saling membangun dan mempertahankan martabat diri melalui partisipasi yang konsisten dengan cara bersama-sama memutuskan tindakan mana yang merendahkan martabat dan tindakan mana yang menghargai martabat diri. Oleh karena itu, integritas merupakan suatu hal yang menjadi keutamaan bagi aparatur penegak hukum dan karakter yang baik akan membawa manusia terhindar dari tindakan yang dapat merugikan kepentingan masyarakat luas.
Hal ini mungkin terdengar agak klise namun yakinlah bila integritas dan karakter dimaknai secara mendalam maka akan berdampak jauh lebih efektif daripada produk hukum penangkal korupsi yang sebenarnya dibuat oleh manusia juga. Dengan demikian hubungan antara masyarakat dengan aparatur penegak hukum harus didasarkan pada tujuan “demi kehidupan bersama yang lebih baik” sebagai tujuan akhir.
ADVERTISEMENT