20 Tahun Setelah Krisis 1998, Boediono Sebut Resep IMF Salah

28 November 2018 17:09 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Boediono, Wakil Presiden Indonesia ke-11. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Boediono, Wakil Presiden Indonesia ke-11. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Krisis moneter yang melanda Indonesia pada 1997-1998 memberikan tekanan yang sangat besar bagi perekonomian domestik. Bahkan untuk meredakan tekanan global saat itu, pemerintah terpaksa berutang kepada Dana Moneter Internasional (IMF) senilai USD 9,1 miliar dan baru bisa lunas pada 2006.
ADVERTISEMENT
Mantan Wakil Presiden Boediono menilai IMF salah dalam menghadapi krisis moneter di Indonesia pada 1997-1998. Saat itu, IMF menyarankan agar Indonesia menutup 16 bank kecil yang memiliki aset 3-4 persen dari total aset perbankan nasional, namun tanpa payung pengaman.
Menurut Boediono, saran IMF tersebut justru memberikan dampak psikologis bagi masyarakat di Indonesia. Bahkan, setelah 16 bank ditutup masyarakat semakin enggan menyimpan dananya di bank nasional.
"Pada waktu itu resep ronde pertama salah. Untuk 16 bank yang 3-4 persen dari aset bank tanpa ada payung pengamannya," ujar Boediono dalam pembahasan mengenai turbulansi ekonomi di Djakarta Theater, Jakarta, Rabu (28/11).
Boediono melanjutkan, saat itu masyarakat secara serentak memindahkan dananya dari bank kecil ke bank besar swasta maupun BUMN. Tak hanya itu, sebagian masyarakat bahkan menyimpan dananya ke luar negeri agar dananya tetap aman.
ADVERTISEMENT
"Itu proses psikologi 16 bank ditutup yang beredar beberapa hari kemudian setelah ditutup, beredar berita who is the next. Lalu ada dampak aliran perpindahan simpanan dari bank yang diperkirkan ditutup ke bank yang dianggap lebih aman. Yang besar dianggap berisiko dipindah ke BUMN. Di BUMN juga dianggap tak aman, dilarikan ke Singapura," jelasnya.
"Terus terang IMF enggak memikirkan dampak seperti ini," lanjutnya.
Ilustrasi IMF (Foto: Reuters)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi IMF (Foto: Reuters)
Menurut Boediono, krisis yang terjadi tahun 1997-1998 sangat berbeda dengan krisis tahun 1960 maupun 1980. Pada 1997-1998, krisis moneter lebih disebabkan pembalikan dana asing ke luar negeri, sementara pada 1960 atau 1980 lebih disebabkan anjloknya harga minyak yang menyebabkan beban ke APBN.
"Ini (tahun 1997-1998) lain, karena disentil aliran balik modal yang dulu beredar di dalam negeri unutk likuiditas perekonomian, pulang, balik. Yang terjadi tiba-tiba likuiditas mengering. Itu waktu itu suatu yang baru bagi kita semua. IMF bahkan belum punya resep masih mencari-cari," kata dia.
ADVERTISEMENT
Boediono yang saat itu menjabat sebagai Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), mengatakan pemerintah baru menyadari resep pertama dari IMF itu salah setelah beberapa bulan setelahnya.
Baru kemudian pada November 1997, masuk kebijakan baru IMF dan pada Januari 1998 pemerintah mulai membuat blanket guarantee, yakni kebijakan penjaminan 100 persen dana nasabah di perbankan.
"Akhirnya diputuskan blanket guarantee, supaya deposan-deposan ini memikirkan seandainya bank ditutup, maka simpanannya aman. Ini Januari 1998 dilakukan," katanya.
Meskipun pemerintah telah mengeluarkan kebijakan blanket guarantee tersebut, ekonomi tak langsung membaik. Masyarakat juga masih ragu untuk menyimpan dananya di Indonesia. Namun Boediono mengatakan, pemerintah terus mendorong kepercayaan masyarakat bahwa ekonomi akan membaik.
"Itu masa yang rawan dari kemungkinan untuk bangkit kembali. Sebabnya kepercayaan pelaku ekonomi terhadap solvabilitas negara sangat rendah. Berlaku juga bagi orang-orang yang punya duit dalam negeri, karena masih ragu pemerintah dengan beban krsiis 97-98 begitu besar," tambahnya.
ADVERTISEMENT