news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

3 Hal yang Perlu Diketahui soal UMP 2020 Naik 8,51 Persen

18 Oktober 2019 8:21 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sejumlah buruh pabrik di Jalan Industri. Foto: Antara/Yulius Satria Wijaya
zoom-in-whitePerbesar
Sejumlah buruh pabrik di Jalan Industri. Foto: Antara/Yulius Satria Wijaya
ADVERTISEMENT
Menteri Ketenagakerjaan, Hanif Dhakiri, menetapkan kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) pada tahun depan sebesar 8,51 persen, lebih besar ketimbang besaran kenaikan UMP 2019 yang hanya sekitar 8,03 persen.
ADVERTISEMENT
Hal itu tertuang dalam Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Bernomor dengan Nomor B-m/308/HI.01.00/X/2019 kepada para gubernur se-Indonesia. Surat edaran yang dirilis 15 Oktober 2019 itu menyangkut soal penyampaian data tingkat inflasi nasional dan pertumbuhan produk domestik bruto tahun 2019.
Dalam surat edaran tersebut, Hanif menyampaikan persentase angka kenaikan UMP tahun 2020. Berdasarkan pada pasal 44 ayat (1) dan ayat (2) PP Nomor 78 Tahun 2015, penetapan UMP dan UMK tahun 2020 menggunakan formula perhitungan upah minimum tahun berjalan, ditambah inflasi periode September dan pertumbuhan PDB yang mencakup periode kuartal III dan IV tahun sebelumnya dan periode kuartal I dan II tahun berjalan.
Ilustrasi uang rupiah Foto: Maciej Matlak/Shutterstock
Mengacu data Badan Pusat Statistik (BPS), data inflasi nasional di September sebesar 3,39 persen. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 5,12 persen. Sehingga UMP 2020 naik sebesar 8,51 persen atau lebih besar dari nilai kenaikan UMP 2019 yang hanya 8,03 persen.
ADVERTISEMENT
"Dengan demikian, kenaikan UMP dan/atau UMK tahun 2020 berdasarkan data inflasi nasional dan pertumbuhan ekonomi nasional yaitu 8,51 persen," demikian ditulis dalam surat edaran tersebut, seperti dikutip Kamis (17/10).
Berikut fakta lain terkait kenaikan UMP 2020 yang dirangkum kumparan:
1. UMP DKI Jakarta Diramal Jadi Rp 4,27 Juta
Mengacu tingkat kenaikan UMP yang dirilis Menteri Ketenagakerjaan, kenaikan UMP DKI Jakarta untuk tahun 2020 sekitar Rp 335.376,80 atau menjadi Rp 4.276.349,86.
Wakil Ketua Apindo DKI Jakarta Bidang Pengupahan, Nurjaman, sudah memprediksi kenaikan UMP DKI Jakarta hanya berada di kisaran Rp 300 ribu.
Aktivitas karyawan di sebuah gedung perkantoran di Jakarta, Senin (26/8). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Hal ini bisa dilihat dari hasil survei 60 item Kebutuhan Hidup Layak (KHL) di 15 pasar yang ternyata tidak mengalami kenaikan signifikan. Perhitungan KHL hanya menjadi gambaran, bukan penentu perhitungan UMP.
ADVERTISEMENT
"Ada kenaikan (harga barang) tapi standar aja. Dari perhitungan KHL tafsirannya (UMP) Rp 4,2 juta, itu maksimal atau naik Rp 300 ribu," ungkap Nurjaman saat dihubungi kumparan.
Perhitungan KHL yang sudah dilakukan nantinya akan dirapatkan bersama-sama antara perwakilan pengusaha, serikat pekerja, dan unsur pemerintah dalam hal ini Pemprov DKI Jakarta. Baik pekerja, pemerintah, dan pengusaha memiliki perhitungan sendiri.
2. Kenaikan UMP 2020 Diumumkan 1 November 2019
Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri, meminta gubernur seluruh Indonesia mengumumkan kenaikan UMP 2020 pada 1 November 2019.
Saat ini masing-masing pemerintah provinsi diminta untuk segera menghitung besaran kenaikan UMP dan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK).
"UMP tahun 2020 ditetapkan dan diumumkan oleh masing-masing gubernur secara serentak pada tanggal 1 November 2019," demikian bunyi surat edaran yang ditandatangani Hanif itu.
ADVERTISEMENT
Masih berdasar surat edaran itu, gubernur memiliki opsi untuk tidak menetapkan UMK bagi kabupaten/kota tertentu yang mampu membayar upah minimum yang lebih tinggi dari UMP.
3. Daya Saing RI Bisa Menurun
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengatakan, UMP yang meningkat di tengah perlambatan ekonomi bisa berdampak pada penurunan daya saing. Bahkan harga produk-produk Indonesia bisa lebih mahal dan kalah saing dengan negara lain.
"UMP naik sebenarnya ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama situasi saat ini bisa dibilang ekonomi tengah kontraksi, sehingga kalau UMP naik, harga produk kita akan lebih tinggi, akibatnya daya saing bisa turun," ujar Tauhid di Hotel Westin, Jakarta, Kamis (17/10).
Menteri Ketenagakerjaan, Hanif Dhakiri menghadiri acara Fashion Paradise di Balai Besar Pusat Latihan Kerja (BBLLK) Semarang, Sabtu (12/10). Foto: Afiati Tsalitsati/kumparan
Peringkat daya saing Indonesia dalam laporan Global Competitiveness Index (GCI) 2019 yang dirilis World Economic Forum (WEF) turun ke posisi 50, dari posisi 45 pada tahun lalu. Tak hanya penurunan peringkat, skor daya saing Indonesia juga turun meski tipis 0,3 poin ke posisi 64,6.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan daftar tersebut, Indonesia juga makin tertinggal jauh dari Singapura yang menempati posisi pertama. Demikian pula dari Malaysia dan Thailand yang sebenarnya juga turun masing-masing dua peringkat tetapi mash di posisi 27 dan 40.
Agar daya saing tak semakin merosot, Tauhid menyarankan kenaikan UMP seharusnya tak dipatok di seluruh sektor industri. Pemerintah perlu memberi ruang kepada pelaku usaha dan pekerja agar mencapai kesepakatan.
"Jadi harusnya diberikan pemahaman juga ke pekerja, kalau tidak semua perusahaan bisa kasih kenaikan UMP 8,5 persen itu. Kan beberapa industri juga lagi tertekan, seperti tekstil, besi dan baja, perlu dipahami. Cari win-win solution," jelasnya.
Sementara itu, Ekonom Senior Indef Aviliani menjelaskan, kenaikan UMP juga bukan jaminan ekonomi Indonesia membaik. Bisa saja, pengusaha akan melakukan pengurangan jumlah karyawan jika tak mampu membayar UMP tersebut.
ADVERTISEMENT
"Kalau dia enggak bisa bayar, bukan enggak mungkin akan lakukan pengurangan jumlah karyawannya. Makanya ini harus diperhatikan betul pemerintah," kata Aviliani.
Dia khawatir, nantinya pekerja di sektor formal akan beralih ke sektor informal. Akibatnya sektor industri justru akan semakin tertekan.
"Saya khawatirnya pekerja-pekerja yang dia enggak menerima kenaikan UMP, ini akan beralih ke sektor informal, freelance, bisa saja kerja di startup yang jumlahnya makin banyak kan. Akibatnya, ya semakin tertekan industrinya karena pekerjanya juga berkurang," tambahnya.