3 Tahun Lagi, Listrik dari PLTS Diprediksi Lebih Murah dari PLTU

5 November 2018 20:03 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
PLTS di Kampung Enem, Distrik Obaa, Kabupaten Mappi, Provinsi Papua, Senin (23/7) (Foto:  Ela Nurlaela/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
PLTS di Kampung Enem, Distrik Obaa, Kabupaten Mappi, Provinsi Papua, Senin (23/7) (Foto: Ela Nurlaela/kumparan)
ADVERTISEMENT
Kajian ekonomi dan finansial lembaga internasional asal London, Carbon Tracker, memprediksi pada 2021 biaya untuk membangun fasilitas listrik bertenaga surya atau PLTS akan jauh lebih murah daripada membangun Pembangkit Listrik Tenaga Uap yang berbahan dasar batu bara.
ADVERTISEMENT
Kepala Kajian Ketenagalistrikan dan Pembangkit Listrik Carbon Tracker, Matt Gray, mengatakan prediksi ini berdasarkan kajian dinamika biaya pembangkitan listrik di Indonesia.
Selain itu, kajian juga dilihat dari bagaimana tren ekonomi dan finansial global akan berdampak pada biaya pembangkitan listrik di Indonesia, khususnya membandingkan energi batu bara yang saat ini menjadi sumber utama di ketenagalistrikan di Indonesia dengan teknologi energi terbarukan.
Modelling kami menunjukkan bahwa di tahun 2021 Indonesia akan sampai di titik di mana investasi per megawatt akan lebih murah untuk pembangkit listrik tenaga surya dibandingkan PLTU batu bara,” ujar Matt dalam diskusi dengan media di Plaza Kuningan, Jakarta, Senin (5/11).
Carbon Tracker juga meninjau berbagai skenario global terkait penurunan emisi gas rumah kaca dan rencana negara-negara besar untuk beralih dari energi tenaga fosil seperti minyak dan batu bara, serta dampaknya terhadap nilai aset PLTU batu bara di berbagai negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia, Vietnam, dan Filipina.
ADVERTISEMENT
Laporan tersebut menemukan bahwa rencana pengembangan PLTU batu bara yang agresif di tiga negara tersebut tidak sejalan dengan tren dunia dan dapat berujung pada stranded asset atau aset terpinggirkan yang dapat mencapai USD 60 miliar.
Diakui Matt, perhitungan ini menggunakan metode modelling ekonomi berbasis aset bagi setiap negara dalam kajian ini. Hal tersebut termasuk mengolah data inventori aset, data performance aset, dan menggunakan berbagai asumsi teknis, pasar serta regulasi yang menyeluruh.
“Di Indonesia sendiri, kajian kami menunjukkan ada kemungkinan terjadi penurunan nilai aset dan kerugian aset PLTU batu bara yang dapat mencapai USD 34,7 miliar. Siapa yang menanggung beban kerugian ini akan tergantung dari struktur kepemilikan dan kontrak jual beli listrik, tapi yang jelas PLN akan menanggung beban yang paling besar dan jumlahnya dapat mencapai USD 15 milar,” kata Matt.
ADVERTISEMENT
Analis Energy Finance, Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA), Elrika Hamdi, juga mengatakan hal yang sama. Dia melihat sebenarnya dari sisi harga terakhir PPA untuk pembangkit surya sudah jauh lebih kompetitif. Sedangkan biaya operasional dan pemeliharaan pembangkit tersebut jauh lebih murah karena tidak ada biaya bahan bakar seperti batu bara, gas, atau BBM.
Konstruksi pembangunan PLTU Suralaya Unit 9 dan 10 di Suralaya, Cilegon. (Foto: ANTARA FOTO/Weli Ayu Rejeki)
zoom-in-whitePerbesar
Konstruksi pembangunan PLTU Suralaya Unit 9 dan 10 di Suralaya, Cilegon. (Foto: ANTARA FOTO/Weli Ayu Rejeki)
Karena itu, lanjut Elrika, levelized cost of electricity (LCOE) dari pembangkit surya hampir dapat dipastikan akan dapat bersaing dan bisa mencapai tingkat keekonomian yang sama atau lebih rendah dibandingkan pembangkit berbahan bakar fosil tersebut dalam waktu yang lebih cepat dari 2028.
“Terlebih lagi dengan menjulang tingginya harga minyak gas dan batu bara dalam setahun terakhir, ditambah dengan melemahnya rupiah terhadap USD yang menjadi nilai tukar pembelian bahan bakar tersebut,” tutup Elrika.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan rencana proyek 35.000 megawatt seperti tertuang dalam RUPTL 2018-2027, akan terjadi penambahan kapasitas pembangkitan listrik dari tenaga batu bara sebanyak lebih dari 30.000 megawatt dalam sepuluh tahun mendatang.
Sebanyak 10 persen dari rencana penambahan kapasitas tersebut sudah terpasang dan operasional, serta lebih dari 40 persen disebutkan oleh Kementerian Energi Sumber Daya dan Mineral (ESDM) masih berada dalam tahap konstruksi.
Namun, melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar juga mendorong penjadwalan ulang atau penundaan berbagai proyek setrum, termasuk yang tercakup dalam proyek 35 ribu megawatt.
Sebanyak 15.200 megawatt proyek kapasitas ketenagalistrikan baru yang ditinjau ulang oleh Kementerian ESDM dengan Commercial Operation Date (COD) yang akan ditunda sampai 2021 dan bahkan sampai 2026.
ADVERTISEMENT