4 Fakta soal Utang Lapindo Rp 773 M dan Klaim Piutang Rp 1,9 T

28 Juni 2019 10:17 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sejumlah petugas melihat tanggul penahan lumpur Porong yang ambles di titik 67 Gempol Sari, Tanggulangin, Sidoarjo. Foto: ANTARA FOTO/Umarul Faruq
zoom-in-whitePerbesar
Sejumlah petugas melihat tanggul penahan lumpur Porong yang ambles di titik 67 Gempol Sari, Tanggulangin, Sidoarjo. Foto: ANTARA FOTO/Umarul Faruq
ADVERTISEMENT
Lapindo Brantas Inc dan PT Minarak Lapindo Jaya memiliki utang Rp 773,38 miliar ke pemerintah sebagai dana antisipasi untuk pembelian tanah dan bangunan warga terdampak luapan lumpur Sidoarjo. Adapun jatuh tempo utang tersebut pada akhir Juni ini.
ADVERTISEMENT
Namun persoalan muncul ketika cucu usaha Grup Bakrie itu menyatakan minta utang itu dibayar terlebih dahulu dengan piutang pemerintah yang diklaim sebesar USD 138,23 juta atau sekitar Rp 1,9 triliun (kurs Rp 14.200).
Untuk lebih lengkapnya, berikut fakta-fakta mengenai utang maupun piutang Lapindo ke pemerintah yang dirangkum kumparan:
1. Utang Lapindo Belum Termasuk Bunga
Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Isa Rachmatawarta mengatakan, pada 2015 Lapindo meminta dana talangan ke pemerintah untuk ganti rugi ke masyarakat yang terdampak lumpur panas. Pemerintah pun menyetujui hal tersebut. Menurut Isa, Lapindo berjanji untuk mencicilnya sampai empat tahun, yang mana jatuh temponya adalah akhir Juni ini.
Namun utang sebesar Rp 773,38 miliar itu belum termasuk bunganya yang sebesar 4 persen. Artinya, utang Lapindo ke negara akan lebih dari Rp 773,38 miliar.
ADVERTISEMENT
"Iya baru pokoknya (Rp 773 miliar) itu, (bunganya) 4 sekian persen," kata Isa beberapa waktu lalu di Gedung DPR RI, Jakarta.
2. Lapindo Minta Utang Dibayar dengan Piutang
Perusahaan tersebut pun menegaskan bersedia mengganti utang Rp 773,38 miliar ke negara, namun hal ini memiliki persyaratan. Mereka ingin melalui mekanisme Perjumpaan Utang, yakni menjumpakan piutang kepada pemerintah sebesar Rp 1,9 triliun dengan pinjaman dana antisipasi Rp 773.38 miliar alias 'tukar guling' utang dengan piutang.
Hal tersebut juga diklaim perusahaan sudah disampaikan ke Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melalui surat pada 12 Juni lalu.
"Untuk itu kami sudah mengajukan permohonan kepada pemerintah melalui Departemen Keuangan untuk dilakukan pembayaran utang dengan mekanisme Perjumpaan Utang, yaitu menjumpakan piutang kepada pemerintah sebesar USD 138,28 juta atau setara Rp 1,9 triliun dengan pinjaman dana antisipasi Rp 773,38 miliar. Usulan tersebut telah kami sampaikan kepada pemerintah melalui surat Nomor 586/MGNT/ES/19 tanggal 12 Juni 2019," jelasnya.
Lumpur Lapindo. Foto: Antara/Eric Ireng
3. Piutang Rp 1,9 Triliun Diklaim Lapindo dari Cost Recovery
ADVERTISEMENT
Presiden Lapindo Brantas Faruq Adi Nugroho dan Dirut Minarak Lapindo Jaya Benjamin Sastrawiguna menyatakan, piutang Rp 1,9 triliun ke negara berasal dari dana talangan kepada pemerintah atas penanggulangan luapan lumpur Sidoarjo yang telah dilakukan oleh Lapindo Brantas Inc dan PT Minarak Lapindo Jaya selama periode 29 Mei 2006 hingga 31 Juli 2007.
Biaya untuk penanggulangan luapan lumpur itu dimasukkan sebagai cost recovery, yakni pengembalian atas biaya operasi yang dikeluarkan Lapindo sebagai Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) untuk kegiatan hulu migas.
Selanjutnya, perusahaan juga mengklaim piutang terhadap pemerintah tersebut telah diverifikasi oleh SKK Migas sebagai biaya yang dapat diganti (cost recoverable) pada bulan September tahun 2018, sesuai dengan surat SKK Migas No SRT-0761/SKKMA0000/2018/S4 tanggal 10 September 2018.
ADVERTISEMENT
Namun demikian, Isa mengatakan, piutang untuk dana talangan dan cost recovery tersebut adalah dua isu yang berbeda. Menurutnya, cost recovery adalah apabila wilayah kerja menghasilkan produksi komersial dan menyumbang penerimaan kepada negara.
"Jadi ada dua isu. Utang dari pemerintah ini untuk masyarakat, tapi di sisi lain mereka mencoba klaim cost recovery ke SKK Migas," kata Isa.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 27 Tahun 2017 tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, pada Pasal 7 disebutkan bahwa kontraktor yang mendapatkan kembali biaya operasi adalah yang sesuai dengan rencana kerja dan anggaran yang telah disetujui oleh Kepala Badan Pelaksana, setelah wilayah kerja menghasilkan produksi komersial.
ADVERTISEMENT
Pasal 19 beleid tersebut juga menegaskan, pembebanan biaya kerja tersebut ditangguhkan sampai dengan adanya lapangan yang berproduksi secara komersial di wilayah kerja.
Sementara itu, selama ini Lapindo sendiri tidak melakukan proses produksi dan tidak menyumbang penerimaan kepada negara selama ini.
4. SKK Migas Sebut Nilai Cost Recovery Masih Harus Diaudit
Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) mengaku sudah melakukan verifikasi. Tapi, cost recovery yang wajib diganti oleh negara masih harus melalui proses audit lebih lanjut.
Audit dilakukan untuk memeriksa, biaya-biaya mana saja yang memang wajib diganti negara dan mana yang harusnya tak ditanggung negara.
"Unrecover cost-nya sudah diverifikasi untuk kontrak eksisting, namun tetap subject to be audit," kata Kepala Divisi Program dan Komunikasi SKK Migas Wisnu Prabawa Taher kepada kumparan.
ADVERTISEMENT