5 Poin Penting Soal Ancaman Perang Dagang Duterte ke Indonesia

28 Januari 2019 8:42 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Presiden Filipina Rodrigo Duterte (Foto: Reuters/Athit Perawongmetha)
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Filipina Rodrigo Duterte (Foto: Reuters/Athit Perawongmetha)
ADVERTISEMENT
Pemerintah Filipina berencana membatasi impor minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil/CPO) dari Indonesia. Wacana ini disampaikan Menteri Pertanian Filipina Manny Pinol dalam pernyataannya di media Philippine News Agency beberapa waktu lalu.
ADVERTISEMENT
Bagaimana dampaknya ke Indonesia?
Berikut kumparan rangkum informasi terbaru tentang wacana perang dagang Filipina ke Indonesia.
1. Kementerian Perdagangan RI Belum Dapat Surat Resmi dari Filipina
Meski informasi rencana pembatasan impor CPO dari Indonesia sudah disampaikan pemerintahan Presiden Rodrigo Duterte, Indonesia ternyata belum dapat laporan resmi tentang hal ini.
“Sampai saat ini baru sepihak dan hanya di pemberitaan serta tidak ada pembicaraan official,” kata Jenderal Perdagangan Luar Negeri (Daglu) Kementerian Perdagangan Oke Nurwan kepada kumparan.
Pekerja sawit di perkebunan milik PT Best Agro Palantation. (Foto: Dok. bestplantation.com)
zoom-in-whitePerbesar
Pekerja sawit di perkebunan milik PT Best Agro Palantation. (Foto: Dok. bestplantation.com)
2. Indonesia Bakal Bantu Filipina Kurangi Defisit Neraca Perdagangan
Salah satu yang dikeluhkan Filipina dalam pernyataan persnya di sana adalah defisit neraca perdagangannya yang semakin melebar. Filipina menilai hal itu terjadi karena nilai ekspor CPO dari Indonesia besar, sementara impor Indonesia dari Filipina terlampau kecil.
ADVERTISEMENT
Filipina pun ingin Indonesia membuka keran impor yang lebih besar, terutama untuk komoditas pertanian. Menanggapi hal ini, Oke mengaku Indonesia mesti membantu Filipina untuk mengurangi beban neraca perdagangan di sana.
“Surplus perdagangan Indonesia yang makin besar tentunya berdampak Filipina menjadi gerah sehingga sudah harus menjadi pemikiran kita untuk membantu perdagangan Filipina,” kata Oke.
3. Perlu Ada Penegasan Terkait Pembatasan atau Pengurangan Ekspor CPO
Saat ditanya seberapa besar dampak rencana perang dagang Filipina ke Indonesia, Oke mengatakan, mesti dilihat secara keseluruhan dulu. Kata dia, jika yang dimaksud Filipina adalah mengurangi ekspor, bakal berdampak ke Indonesia.
Tapi, jika rencana Filipina adalah melakukan pembatasan impor, sebenarnya Indonesia masih bisa melakukan ekspor ke sana.
ADVERTISEMENT
"Membatasi tidak sama dengan mengurangi, kalau mengurangi tentunya akan berdampak tapi kalau membatasi peningkatannya artinya tetap akan ada ekspor," lanjut dia.
Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kemendag Oke Nurwan (Foto: Selfy Sandra Momongan/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kemendag Oke Nurwan (Foto: Selfy Sandra Momongan/kumparan)
4. Indonesia Tidak Perlu Panik
Ancaman Filipina yang bernada perang dagang ke Indonesia dinilai tidak perlu direspons dengan panik. Ekonom Indef Bhima Yudhistira mengatakan, Indonesia punya posisi tawar yang tinggi dalam hal ini.
Bedasarkan data Kementerian perdagangan, kenaikan surplus neraca dagang Indonesia dan Filipina hingga November 2018 dibanding periode yang sama 2017 hanya tumbuh 4,82 persen dari USD 5,2 miliar ke USD 5,48 miliar.
Angka ini jauh lebih kecil pertumbuhannya jika dibanding 2016-2017 yang melonjak 28,5 persen. Artinya, kata dia, selama 2018 justru pertumbuhan ekspor Indonesia ke Filipina cenderung melambat.
ADVERTISEMENT
"Di sini pemerintah bisa melakukan lobi ke Kementerian Pertanian atau Atase Perdagangan Filipina sehingga tuduhan Filipina berdasarkan data yang faktual. Betul, tidak perlu panik," kata Bhima.
5. Indonesia Perlu Melakukan Lobi-lobi Cantik ke Negara Lain
Meski begitu, Bhima mengungkapkan, yang menjadi permasalahan ketika ideologi proteksionisme Presiden Rodrigo Duterte ini ditiru oleh negara importir sawit lainnya. Filipina sebenarnya terinspirasi Narendra Modi PM India yang menaikkan bea masuk produk impor CPO di tahun 2018 lalu.
"Kampanye dan lobi untuk mencegah pengaruh anti-sawit di negara tujuan ekspor tetap penting," jelasnya.