5 UU yang Lindungi Petani Digugat AS, Berujung Ancaman Sanksi Dagang

7 Agustus 2018 15:05 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kedelai impor Amerika (Foto: ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan)
zoom-in-whitePerbesar
Kedelai impor Amerika (Foto: ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan)
ADVERTISEMENT
Pemerintah Amerika Serikat (AS) meminta restu Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO), untuk menjatuhkan sanksi dagang terhadap Indonesia senilai Rp 5 triliun. Hal itu setelah WTO memenangkan gugatan AS atas 5 undang-undang (UU) Indonesia tentang pertanian dan peternakan.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya WTO memenangkan gugatan AS dan Selandia Baru terhadap Indonesia, baik di tingkat pertama maupun banding. Gugatan itu terkait kebijakan Indonesia membatasi impor produk pertanian dan peternakan, untuk melindungi petani dan peternak lokal.
Dilaporkan South China Morning Post (SCMP), AS dan Selandia Baru merasa dirugikan karena Indonesia membatasi impor untuk produk makanan, pertanian dan peternakan seperti apel, anggur, kentang, bawang, bunga, jus, buah kering, sapi, ayam dan daging.
Gugatan kedua negara itu, mengacu pada 5 undang-undang yang dianggap bertentangan dengan prinsip perdagangan bebas. Kelima UU tersebut adalah UU no. 13/2014 tentang hortikultura, UU no. 18/2009 tentang peternakan dan kesehatan hewan, UU no. 18/2012 tentang pangan, UU no. 19/2013 tentang perlindungan dan pemberdayaan petani, dan UU no. 7/2014 tentang perdagangan.
Kantor Sekretariat Jenderal World Trade Organization (WTO) di Geneva, Swiss
 (Foto: wto.org)
zoom-in-whitePerbesar
Kantor Sekretariat Jenderal World Trade Organization (WTO) di Geneva, Swiss (Foto: wto.org)
Gugatan AS dan Selandia Baru pertama bergulir pada 2015. Panel WTO pada 22 Desember 2016 memutuskan memenangkan AS dan Selandia Baru. Indonesia tak terima dan mengajukan banding demi melindungi para petaninya. Tapi Pengadilan Banding WTO (Appelate Body World Trade Organization), pada 9 November 2017 memutuskan menguatkan putusan Panel WTO.
ADVERTISEMENT
Atas putusan tersebut, Indonesia seharusnya menyesuaikan kebijakan dengan aturan GATT (The General Ageement on Tarrifs and Trade) 1994, yang telah ditetapkan WTO. Namun sejauh ini, AS melihat tak ada upaya perubahan kebijakan tersebut, sehingga meminta restu WTO untuk menjatuhkan sanksi dagang senilai USD 350 juta per tahun atau sekitar Rp 5 triliun.
Lamteuba, daerah penghasil kedelai (Foto: Zuhri Noviandi/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Lamteuba, daerah penghasil kedelai (Foto: Zuhri Noviandi/kumparan)
Pemerintah AS menyebut sanksi dagang tersebut sebagai tindakan balasan (retaliasi) kebijakan dagang Indonesia. Sebagai negara dengan populasi terbesar ke-4 di dunia, Indonesia menjadi pasar penting bagi produk pertanian AS. Pada 2016, Indonesia merupakan negara tujuan ekspor ke-9 terbesar bagi AS. Meski demikian, perdagangan produk pertanian AS masih defisit, karena nilai ekspornya sebesar USD 2,6 miliar sementara impor dari Indonesia USD 2,8 miliar.
ADVERTISEMENT