Ada B20, Kenapa Impor Migas Masih Tinggi?

19 November 2018 9:34 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi biodiesel 20 persen (B20). (Foto: Nicha Muslimawati/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi biodiesel 20 persen (B20). (Foto: Nicha Muslimawati/kumparan)
ADVERTISEMENT
Program perluasan penggunaan Biodiesel 20 persen (B20) secara mandatori sudah berlangsung sejak 1 September 2018. Program ini menjadi salah satu andalan pemerintah untuk mengatasi defisit neraca perdagangan Indonesia.
ADVERTISEMENT
Meski sudah berjalan hampir 3 bulan, penerapan B20 belum bisa menekan defisit neraca perdagangan sebab nilai impor masih tinggi ketimbang ekspor, terlihat dalam data terbaru ekspor impor yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) Oktober 2018.
BPS melaporkan nilai ekspor Indonesia Oktober 2018 tercatat USD 15,80 miliar atau naik 5,87 persen dibanding ekspor September 2018. Sementara nilai impor Indonesia pada Oktober 2018 mencapai USD 17,62 miliar atau naik 20,6 persen dibanding September 2018.
Adapun nilai impor migas Oktober 2018 mencapai USD 2,91 miliar atau naik 26,97 persen dibanding September 2018. Demikian juga apabila dibandingkan Oktober 2017 meningkat 31,78 persen.
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan, impor migas masih tinggi sebab kebutuhan dalam negeri terhadap BBM masih banyak. Salah satunya, kata dia, untuk pemenuhan listrik Jawa Bali yang masih membutuhkan BBM Solar.
ADVERTISEMENT
"Karena ada beberapa kebutuhan di luar perencanaan, ada peningkatan kebutuhan di Jawa Bali untuk pengadaan Solar. Itu di luar perencanaan, karena siapa pun yang nambah BBM kan harus ke Pertamina. Yang terjadi di BBM ini kan yang paling tinggi. Salah satunya itu," katanya saat dihubungi kumparan, Senin (19/11).
Bukan hanya kebutuhan yang masih tinggi, masalah lain dari penyaluran B20 hingga saat ini adalah di infrastruktur dan pasokannya. Peneliti dari INDEF Bhima Yudhistira mengatakan masih banyak terminal minyak sawit yang belum siap, ini berdampak pada belum jelasnya kepastian pasokan yang akan disalurkan.
Alasan lainnya dalah faktor distribusi di beberapa daerah yang masih lamban. Menurutnya, hal itu terlihat dari kunjungannya beberapa waktu lalu saat ke daerah, tidak hanya di kota kecil, tapi seperti SPBU di Balikpapan saja tertulis B20 masih dalam pengiriman.
Ilustrasi Biodiesel (Foto: Reuters/Mike Blake)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Biodiesel (Foto: Reuters/Mike Blake)
ADVERTISEMENT
Selain itu, masalah lain adalah masalah insentif. Kata dia, penting agar pemerintah memberikan insentif bagi pengguna yang belum bisa pakai B20 seperti industri pertambangan di ketinggian tertentu yang kesulitan pakai bahan bakar campuran ini karena bisa membeku.
"Artinya masih belum merata. Jadi masih berjalan lambat. Jadi ini artinya ada miss degan pengusaha sawit padahal sawit kita over. Satu lagi buat pengguna, insentifnya apa? Kalau dipaksakan B20, mesin enggak sama karena sawit membeku. Yang kayak begini, siapa yang tanggung," jelas dia.
Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) melihat dampak dari kewajiban penggunaan minyak solar dengan campuran biodiesel 20 persen (B20) ke defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD) di tahun depan.
ADVERTISEMENT
Deputi Gubernur BI Dody Budi Waluyo mengatakan, kewajiban B20 bisa menekan CAD sebesar 0,1 hingga 0,2 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) di tahun depan. Adapun selama tahun depan, bank sentral menargetkan CAD di bawah 2,5 persen terhadap PDB.
Terkait impor migas yang masih tinggi dan menjadi penyumbang terbesar defisit neraca perdagangan, Dody bilang, hal ini akan tergantung pada harga migas itu sendiri. Upaya pemerintah untuk menekan impor migas juga dinilai lebih utama dibandingkan dengan menambah produksi minyak.
"Hitungan kami, dampak positif, sekarang kan baru paruh jalan. Kami lihat full impact satu tahun, ke CAD 0,1-0,2 persen terhadap PDB," ujar Dody dalam pemaparan di Solo, Jawa Tengah, Sabtu (17/11).
ADVERTISEMENT