news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Ada Perang Dagang, IMF Turunkan Proyeksi Ekonomi Indonesia dan Global

9 Oktober 2018 10:31 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso di Indonesia Investment Forum, IMF-WB 2018, di Hotel Conrad, Bali. (Foto: Ema Fitriyani/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso di Indonesia Investment Forum, IMF-WB 2018, di Hotel Conrad, Bali. (Foto: Ema Fitriyani/kumparan)
ADVERTISEMENT
Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) melihat, ekonomi dunia pada hingga akhir tahun ini mampu tumbuh sebesar 3,7 persen. Proyeksi ini turun dari laporan IMF sebelumnya pada Maret 2018 yang sebesar 3,9 persen.
ADVERTISEMENT
Dengan proyeksi ini, IMF juga memperkirakan bahwa pertumbuhan ekonomi dunia bakal stagnan selama tiga tahun ini. Sebab, dari tahun 2017 hingga 2019, pertumbuhannya masing-masing 3,7 persen.
Chief Economist IMF Maurice Obstfeld mengatakan, alasan downgrade proyeksi tersebut lantaran meningkatnya suku bunga dan ketidakpastian global secara lebih luas, utamanya akibat gangguan dalam kebijakan perdagangan.
“Dampak dari kebijakan perdagangan dan ketidakpastian menjadi jelas di tingkat makroekonomi. Hal itu juga didukung oleh data-data yang terjadi pada perusahaan,” ujar Maurice di IMF World Economic Outlook, Nusa Dua, Bali, Selasa (9/10).
Oleh karena itu, dia mengingatkan agar penurunan proyeksi pertumbuhan ekonomi ini bisa meningkatkan urgensi bagi pembuat kebijakan untuk bertindak.
Maurice juga menjelaskan mengenai pertumbuhan ekonomi di AS yang didukung oleh kebijakan fiskal dan moneter Negeri Paman Sam tersebut. Namun, IMF memperkirakan pertumbuhan ekonomi AS akan menurun lantaran stimulus fiskal berubah menjadi kebalikan meskipun ada momentum permintaan.
Menko Perekonomian Darmin Nasution di High Level Parliamentary Meeting IMF-WB Nusa Dua, Bali. (Foto: Dok. Humas Kemenko Perekonomian)
zoom-in-whitePerbesar
Menko Perekonomian Darmin Nasution di High Level Parliamentary Meeting IMF-WB Nusa Dua, Bali. (Foto: Dok. Humas Kemenko Perekonomian)
"Kami menurunkan prediksi pertumbuhan AS di tahun 2019 menjadi 2,5 persen dari tahun ini perkiraan kami 2,9 persen, karena tarif yang baru-baru ini diberlakukan untuk impor China dan pembalasan China," kata dia.
ADVERTISEMENT
Pada tahun depan, IMF juga menurunkan proyeksi ekonomi China menjadi 6,2 persen dari tahun ini yang diperkirakan sebesar 6,6 persen. Maurice bilang, kebijakan domestik China cenderung untuk mencegah penurunan pertumbuhan lebih besar daripada yang diproyeksikan IMF. Hal ini memperpanjang ketidakseimbangan keuangan internal di China.
Maurice menuturkan, perang dagang antara AS dan China dapat memperlambat penyebaran teknologi, menurunkan produktivitas, dan kesejahteraan di banyak negara. Adapun pembatasan impor cenderung menghasilkan barang-barang yang lebih mahal dan memukul negara dengan pendapatan rendah.
"Pemerintah di banyak negara saat ini memiliki amunisi fiskal dan moneter lebih sedikit daripada ketika krisis keuangan global sepuluh tahun yang lalu, oleh karena itu mereka perlu penerimaan supaya lebih banyak dan berkelanjutan dengan berbagai cara," jelasnya.
ADVERTISEMENT
Selain itu, IMF juga mengurangi perkiraan pertumbuhan untuk emerging market dan developing economies masing masing 0,2 persen dan 0,4 persen untuk tahun ini dan tahun depan. Hal ini karena suku bunga yang lebih tinggi yang membuat utang negara lebih mahal. Indonesia termasuk di dalamnya.
Dalam laporan IMF sebelumnya pada April, IMF memproyeksi ekonomi Indonesia tumbuh sebesar 5,3 persen hingga akhir tahun. Hanya saja, dalam laporannya yang dirilis hari ini, Selasa (9/10), IMF menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi sebesar 5,1 persen untuk Indonesia juga diperkirakan terjadi di 2019.
Adapun, pertumbuhan ekonomi secara agregat untuk negara-negara ASEAN-5 (Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand) diperkirakan tumbuh sebesar 5,3 persen di tahun ini dan turun menjadi 5,2 persen di tahun depan.
ADVERTISEMENT
“Meskipun kami menurunkan proyeksi karena tight monetary policy di dunia, harga minyak dunia, dan kepastian dagang yang belum jelas, tapi kami lihat pertumbuhan Indonesia masih fairly strong,” ujar Maurice.