Adaro Ingin Jadi Produsen Coking Coal Lima Besar Dunia

29 April 2018 12:28 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Presdir Adaro Garibaldi Thohir (tengah) (Foto: Arifin Asydhad/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Presdir Adaro Garibaldi Thohir (tengah) (Foto: Arifin Asydhad/kumparan)
ADVERTISEMENT
Menjadi pemain terbesar di Indonesia dalam bisnis batu bara thermal (thermal coal), tidak cukup untuk Adaro Energy Tbk (Adaro). Kini, Adaro sudah masuk ke bisnis coking coal. Bahkan, Adaro sangat agresif ingin menjadi pemain lima besar dunia di bisnis coking coal.
ADVERTISEMENT
Berbeda dengan thermal coal yang merupakan batu bara yang biasa dibakar untuk menggerakkan turbin penghasil listrik, coking coal merupakan batu bara yang digunakan dalam proses pembuatan coke atau kokas yang dipakai dalam industri pembuatan baja dan besi. Untuk sumber coking coal, Adaro memiliki tambang batu bara di Kalimantan Selatan dan tambang Kestrel di Queensland, Australia.
Ada dua alasan mengapa Adaro harus masuk ke bisnis coking coal. Menurut Presiden Direktur Adaro Garibaldi Thohir, saat ini tidak ada satu pun perusahaan batu bara di Indonesia yang masuk ke bisnis coking coal.
Mengapa? Karena mereka tidak memiliki sumber coking coal. Sementara Adaro memiliki sumber coking coal di tambang di Kalimantan Selatan dan Queensland. Tentu Adaro ingin menjadi pionir.
ADVERTISEMENT
“Begitu ada opportunity, bahwa aset Rio Tinto di tambang Kestrel dijual, maka Adaro segera menggandeng EMR Capital, langsung melakukan takeover,” kata pria yang sering disapa Boy Thohir itu saat mengundang para pemimpin redaksi media massa Indonesia melihat kantor baru Coaltrade Service International Pte Ltd (CTI) milik Adaro, di AXA Tower, 8 Shenton Way, Singapura, Sabtu (28/4).
Proses takeover aset Rio Tinto di tambang Kestrel senilai USD 2,25 miliar ini sudah diumumkan ke publik. Namun, proses closing akan selesai pada satu atau dua bulan mendatang. EMR Capital akan memiliki porsi 51% saham, sementara Adaro akan memiliki 49%.
Alasan kedua, margin bisnis coking coal lebih tinggi dibandingkan dengan thermal coal dan pasarnya masih sangat terbuka, baik di dalam negeri maupun luar negeri (internasional).
ADVERTISEMENT
“Mau tidak mau Indonesia nanti menjadi negara industrialis. Kalau jadi negara industrialis pasti harus didukung industri baja yang kuat. Industri baja tidak akan jadi kalau tidak ada coking coal yang bagus,” jelas Boy.
Saat ini kebutuhan coking coal untuk Indonesia masih dipasok melalui impor dari Australia. Menurut General Manager International Marketing & Trade CTI Neil Litte, Indonesia membutuhkan pasokan coking coal sebesar 6-7 ton per tahun.
“Saat ini kebutuhan Indonesia dipasok Australia sebagai pemain terbesar di dunia,” kata Neil.
Untuk pasar Indonesia, kata Boy, sebenarnya Adaro sudah memasok 1 juta ton coking coal, yang didapatkan dari tambang Adaro di Kalimantan Tengah. “Adaro sudah memasok 1 juta coking coal untuk PT Krakatau Posco,” kata Boy. PT Krakatau Posco merupakan produsen baja patungan antara PT Krakatau Steel dan Posco Korea.
ADVERTISEMENT
Coking coal dari Kalimantan Tengah, menurut Boy, merupakan salah satu produk coking coal terbaik di dunia. Saat ini, harga coking coal per ton sebesar US 180, hampir dua kali lipat thermal coal. “Perbedaan harganya sangat signifikan. Industri coking coal ini juga berbeda total dibanding thermal coal,” ujar Boy.
Boy ingin meningkatkan produksi coking coal, baik tambang di Kalimantan Tengah maupun tambang Kestrel di Queensland. Saat ini, produksi coking coal di Kalimantan Tengah baru 1 juta ton per tahun, sementara di Kestrel sebesar 5,5 juta ton. Dia menginginkan Adaro meningkatkan produksi sekitar 20 juta ton per tahun dalam kurun waktu 5-10 tahun mendatang.
‘’Cita-cita saya (tambang Kalimantan Tengah) bisa sampai ke 8 juta ton atau 9 juta ton atau 10 juta ton. Termasuk yang di Australia sekarang kan 5,5 juta ton. Nanti mungkin saya bisa lipatkan,’’ tutur dia.
Presdir Adaro Garibaldi tengah berbincang (Foto: Arifin Asydhad/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Presdir Adaro Garibaldi tengah berbincang (Foto: Arifin Asydhad/kumparan)
ADVERTISEMENT
Dengan memproduksi 20 juta ton coking coal, maka Adaro sudah bisa melampaui posisi 5 besar dunia produsen coking coal di dunia. Saat ini, produsen terbesar di dunia adalah BHP, yang memproduksi sekitar 30 juta ton.
Urutan kedua adalah Rio Tinto yang memproduksi sekitar 25 juta ton. Baik BHP maupun Rio Tinto merupakan perusahaan Australia. Posisi ketiga ditempati perusahaan dari Rusia yang memproduksi sekitar 20 juta ton. Posisi keempat dan kelima ditempati perusahaan dari China.
“Kalau Adaro bisa memproduksi 15 juta ton saja, kami sudah masuk ke lima besar dunia. Jadi, nanti akan ada perusahaan Indonesia yang masuk ke dalam peta perdagangan coking coal dunia,” harap Boy.
Untuk mewujudkan cita-citanya sebagai produsen coking coal lima besar dunia, Boy berharap ada dukungan dari pemerintah. “Untuk bisa compete dengan perusahaan dari negara lain dalam bisnis coking coal, support pemerintah penting. Kami butuh iklim investasi dan iklim usaha yang baik. Kami juga butuh insentif-insentif tambahan untuk menerobos pasar dunia. Kemudahan-kemudahan dari pemerintah, baik pusat maupun daerah ini sangat penting,” jelas dia.
ADVERTISEMENT
CTI di Singapura Sangat Strategis Untuk pemasaran coking coal ke pasar internasional, kata Boy, CTI di Singapura akan berada di garis terdepan. Semua pembeli coking coal dari berbagai negara, seperti China, India, maupun Eropa, saat ini berproses di Singapura. Karakter ini berbeda dengan pembeli thermal coal yang biasanya langsung menghubungi Adaro di Indonesia.
Kantor International Marketing and Trade (Foto: Arifin Asydhad/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Kantor International Marketing and Trade (Foto: Arifin Asydhad/kumparan)
CTI sendiri merupakan anak perusahaan Adaro yang memiliki tiga fungsi. Pertama, sebagai trading arm dari group Adaro. Kedua, sebagai marketing agent dari produk-produk Adaro. Ketiga, sebagai agen Indonesia Bulk Terminal (IBT) yang ada di Kalimantan Selatan.
“Semua koordinasi akan kita lakukan di Singapura. Makanya saya bawa teman-teman ke sini, karena saya ingin transparan, ingin menunjukkan secara terbuka mengenai fungsi CTI ini. Dulu 7-8 tahun lalu, banyak perusahaan yang buka kantor-kantoran di sini dan isunya untuk transfer pricing. Tapi kalau CTI, ini sudah jelas dari awalnya, kantornya jelas ada, pegawainya ada. Ini sangat penting, posisinya strategis, kita harus kompetisi dengan trading company di dunia, khususnya untuk pasar coking coal,” jelas Boy.
ADVERTISEMENT
Saat ditanya mengapa CTI dibuat di Singapura, Boy menyampaikan beberapa alasan. Antara lain, Singapura dipilih karena pusat trading di Asia Tenggara saat ini berada di negara tersebut.
Selain itu, semua perwakilan pembeli (buyer) dari seluruh dunia juga berada di Singapura. “Untuk mengembangkan pasar dunia, kami harus kontak langsung dengan para perwakilan buyers di sini,” jawab Boy.
Direktur CTI Pepen Handianto Danuatmadja menjelaskan saat ini CTI memiliki 21 karyawan. “Dulu, kantor lebih kecil. Sejak Januari, kami pindah ke sini, yang lebih besar,” kata Pepen.
Pada 2017, CTI berkontribusi dalam penjualan batu bara 4,5 juta ton dari total penjualan batu bara Adaro yang mencapai 51,82 juta ton. Menurut Pepen, pendapatan 2017 masih kecil sebesar USD 300 juta. Namun, pendapatan CTI di tahun ini akan semakin besar, apalagi Adaro akan meningkatkan produksi coking coal.
ADVERTISEMENT