Akhir Sekuel Perang Tarif di Bisnis Penerbangan dan Telekomunikasi

6 April 2019 11:12 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi penumpang beristirahat di pesawat Foto: Helinsa Rasputri/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi penumpang beristirahat di pesawat Foto: Helinsa Rasputri/kumparan
ADVERTISEMENT
Dunia bisnis tidak lepas dari persaingan ketat para pelaku usaha untuk berebut pasar. Idealnya pelaku bisnis seharusnya berlomba-lomba merancang inovasi untuk mencuri hati konsumen.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, pada beberapa sektor bisnis, yang terjadi bukan lagi persaingan inovasi atau pun kualitas pelayanan. Tak sedikit para pelaku bisnis rela menempuh jalan pintas untuk memenangkan pasar.
Mereka rela menawarkan produk dengan harga miring meski banyak aspek bisnis yang dikorbankan. Faktanya pun masyarakat lebih tergiur dengan harga murah, sebab uang adalah bahasa universal. Muaranya, perang tarif jadi bentuk persaingan yang timpang selama bertahun-tahun.
Beruntungnya, beberapa industri akhirnya tersadar untuk menyudahi era perang tarif, meski kondisi secara bisnis terlanjur pincang. Dua di antaranya adalah bisnis aviasi dan telekomunikasi.
Berikut kumparan merangkum akhir dari sekuel perang tarif bisnis penerbangan dan telekomunikasi.
Pesawat Garuda Indonesia. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
Perang Tarif Bisnis Penerbangan
Berbagai pihak terus menaruh perhatian besar pada mahalnya harga tiket pesawat. Masyarakat berpandangan bahwa harga tiket pesawat saat ini jauh lebih mahal dari beberapa tahun sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Direktur Niaga Garuda Indonesia Pikri Ilham Kurniansyah menjelaskan, murahnya harga tiket pesawat di masa lalu sebenarnya adalah imbas dari perang tarif maskapai yang tengah berebut penumpang.
Menurut Pikri, lima tahun yang lalu, industri aviasi mengalami over supply penerbangan. Akibatnya, semua maskapai saling berebut market. Hal yang paling mungkin dilakukan saat itu adalah memberikan diskon untuk menarik hati penumpang.
Tak tanggung-tanggung, maskapai banting harga dan menjual tiket hanya 50 persen hingga 60 persen dari Tarif Batas Atas (TBA). Persaingan tidak sehat ini berlangsung selama bertahun-tahun. Akibatnya, harga diskon tersebut dianggap sebagai harga normal oleh masyarakat.
“Bom waktu dari perang tarif kemarin. Bom waktu dan sekarang baru munculnya. Orang baru tersadar ‘wah gila ternyata’ (tiket pesawat mahal),” ujar Pikri kepada kumparan, Kamis (4/4).
ADVERTISEMENT
Artinya, perang tarif yang terjadi antar-maskapai beberapa tahun lalu berdampak buruk di masa sekarang.
Pikri mengatakan, dulu pada masa perang tarif, ada banyak hal yang dikorbankan oleh masing-masing maskapai demi memberikan diskon tiket. Akibatnya, luka dari perang tersebut baru muncul saat ini. Kini, industri penerbangan dikabarkan harus jungkir balik untuk bisa bertahan. Akhirnya jalan tengah yang ditempuh adalah menyudahi perang tarif. Sayangnya, masyarakat terlanjur salah persepsi soal harga tiket pesawat.
Menurut Pikri, ketika masa perang tarif berakhir, masyarakat mengira bahwa ada kenaikan harga tiket. Padahal yang terjadi sebenarnya adalah harga tiket pesawat kembali pada level normal. Maskapai tak lagi pasang diskon besar-besaran.
“Ini masalah persepsi saja,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Pikri pun mengakui, pihak maskapai dan masyarakat sama-sama membutuhkan waktu untuk menyesuaikan diri soal tarif ini. Menurut Pikri, pihaknya akan berusaha mengedukasi masyarakat soal harga tiket pesawat yang sesungguhnya. Selama ini, informasi inilah yang tidak sampai ke masyarakat secara utuh.
“Mungkin butuh waktu dua bulan untuk penyesuaian. Setelah pilpres lah,” ujarnya.
Lion Air dan Garuda Indonesia di Bandara Internasional Soekarno-hatta, Jakarta. Foto: AFP/Adek BERRY
Perang Tarif Bisnis Telekomunikasi
Sepanjang 2018 menjadi cerita tak menggembirakan bagi perusahaan telekomunikasi di Indonesia.
Emiten telekomunikasi seperti PT Telkom Tbk (TLKM), PT XL Axiata Tbk (EXCL), dan PT Smartfren Telecom Tbk (FREN) sempat melaporkan penurunan perolehan laba bersih hingga kuartal III 2018.
Menurut Analis Artha Sekuritas Indonesia Dennies Christoper, penurunan laba bersih ketiga perusahaan tersebut disebabkan adanya perang tarif yang sempat terjadi antar-perusahaan.
ADVERTISEMENT
“Turun itu karena ada perang tarif, jadi ada satu perusahaan pasang murah yang lainnya jadi ikut-ikutan. Revenue-nya tergerus semua,” ungkap Dennies kepada kumparan, Jumat (30/11).
Logo Telkom Indonesia. Foto: Muhammad Fikrie/kumparan
Meski demikian, Dennies menyebutkan, kini perang tarif telah mulai mereda. Namun dampaknya belum terlalu signifikan sebab masing-masing perusahaan baru menaikkan tarif sejak awal 2018.
Kenaikan tersebut juga sejatinya belum kembali pada level awal. Contohnya saat era perang tarif, XL Axiata menurunkan harga paket data menjadi Rp 7-8 ribu per 1 giga byte. Padahal harga awal berkisar Rp 13-14 ribu per giga byte. Kini perseroan mulai menaikkan harga, namun baru sampai level Rp 11-12 ribu per giga byte. Artinya, meski sudah menaikkan harga, toh harga yang dipatok belum kembali pada level normal.
ADVERTISEMENT
Meski emiten telekomunikasi mulai menaikkan harga, Dennies mengatakan, hal tersebut tidak akan memberikan dampak negatif pada penjualan maupun pergerakan saham. Sebab kini masyarakat tengah mengarah pada era digital sehingga tidak akan lepas dari akses internet.
“Saya rasa enggak terlalu masalah, karena semua orang butuh. Kenaikan harga enggak terlalu mempengaruhi. Enggak berdampak negatif termasuk bagi sahamnya,” ujarnya.
Selama 9 bulan pertama di 2018, Telkom melaporkan laba bersih sebesar Rp 14,426 triliun. Laba bersih periode Januari-September 2018 tersebut turun 20,59 persen dibandingkan periode yang sama (year-on-year/yoy) di 2017 sebesar Rp 17,922 triliun. Sementara BUMN telekomunikasi ini meraih pendapatan Rp 99,203 triliun selama periode Januari-September 2018, atau meningkat dibandingkan periode sebelumnya (yoy) yang senilai Rp 97,003 triliun.
XL Axiata. Foto: Bianda Ludwianto/kumparan
Sementara, XL Axiata mencatatkan kinerja keuangan negatif yakni rugi Rp 145 miliar selama periode Januari-September 2018. Angka ini membaik dibandingkan laporan laba rugi periode yang sama di 2017 yakni rugi Rp 238 miliar.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya Smartfren. Perusahaan telekomunikasi ini mencatatkan kerugian Rp 2,503 triliun selama 9 bulan pertama di 2018. Kerugian Smartfren membaik daripada catatan rugi pada periode Januari-September 2017 yang sebesar Rp 2,822 triliun.
Sementara pendapatan perusahaan milik Sinar Mas Communication & Technology ini tercatat sebesar Rp 3,949 triliun pada periode Januari-September 2018, atau meningkat dari periode yang sama di 2017 sebesar Rp 3,318 triliun.