Alasan Pemerintah Belum Lirik Pembangkit Nuklir: Listriknya Mahal

15 Juli 2019 20:32 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir. Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir. Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
Dalam Rapat Kerja dengan Komisi VII DPR RI, Menteri ESDM Ignasius Jonan mengatakan, pemerintah belum melirik tenaga nuklir sebagai sumber energi kelistrikan nasional. Alasannya, Biaya Pokok Produksi (BPP) Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) masih mahal dibanding sumber energi yang lain.
ADVERTISEMENT
Jonan mengatakan, sebenarnya pemerintah sudah menjajaki komunikasi dengan beberapa perusahaan pengembang PLTN, salah satunya Rosatom yang berasal dari Rusia. Sayangnya, tarif BPP yang diajukan perusahaan tersebut lebih mahal.
"Mengenai PLTN ini pak, kalau penawaran yang saya terima langsung dari Rosatom, yang pertama tarif listrik terjangkau," kata Jonan di Gedung DPR, Jakarta, Senin (15/7).
Batang bahan bakar nuklir bekas Korea Utara, disimpan di kolam pendingin, terlihat di fasilitas nuklir di Yongbyon, Korea Utara. Foto ini di ambil pada tahun 1996. Foto: Yonhap via AP
Kala itu, kata dia, Rosatom mengajukan Biaya Pokok Produksi PLTN sebesar 12 sen per kilo Watt hour (kWh). Angka tersebut masih lebih mahal dibanding BPP listrik rata-rata nasional yaitu sekitar 7-8 sen per kWh.
"Rosatom menawarkan 12 sen per kWh. Kalau 12 sen per kWh, kalau mau longterm dengan rata-rata BPP listrik nasional misal 7-8 sen per kWh," tutur Jonan.
ADVERTISEMENT
Selain BPP PLTN masih lebih mahal, masyarakat Indonesia masih khawatir terhadap dampak negatif penggunaan energi nuklir. Pemerintah masih perlu sosialisasi lebih lagi.
"Kalau harganya kompetitif kita bisa katakan, tapi kalau 12 sen kurang (kompetitif). Selain memberi pengertian ke masyarakat, harganya juga masih tinggi," tandasnya.