Aturan Pajak Pertambangan Baru yang Diteken Jokowi Dinilai Tepat

20 Agustus 2018 8:52 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kendaraan berat mengumpulkan bebatuan dengan endapan emas di kompleks pertambangan Grasberg Freeport McMoRan. (Foto: AFP PHOTO / Olivia Rondonuwu)
zoom-in-whitePerbesar
Kendaraan berat mengumpulkan bebatuan dengan endapan emas di kompleks pertambangan Grasberg Freeport McMoRan. (Foto: AFP PHOTO / Olivia Rondonuwu)
ADVERTISEMENT
Presiden Jokowi telah menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) nomor 37 tahun 2018 tentang Perlakuan Perpajakan dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) di bidang usaha pertambangan mineral. Salah satu alasan PP ini dibuat untuk menjaga stabilitas investasi di Indonesia di sektor pertambangan.
ADVERTISEMENT
Beleid ini juga respons pemerintah menindaklanjuti perjanjian awal atau Head of Agreement (HoA) antara PT Inalum (Persero) dan Freeport McMoran Inc (FCX), di mana perusahaan asal Amerika Serikat itu menginginkan kepastian investasi jika pemerintah mau mengusai 51 persen saham mereka di Tambang Grasberg, Papua.
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, menilai aturan baru tentang perpajakan tambang yang tertuang dalam bentuk Peraturan Pemerintah tersebut sudah tepat.
Menurut dia, ini merupakan bentuk ketegasan pemerintah yang menolak keinginan PT Freeport Indonesia, yang menginginkan perpajakan tambang diatur dalam sebuah perjanjian mengikat setara Undang-Undang seperti Kontrak Karya (KK).
"Kalau dari segi pemerintah, ini bagus. Pemerintah saat ini sudah pintar, enggak mau terjebak seperti KK. Yang bisa diberikan oleh pemerintah ya PP itu, enggak bisa (dalam bentuk) perjanjian," kata Hikmahanto kepada kumparan, Senin (20/8).
ADVERTISEMENT
Hikmahanto menegaskan, opsi ini cukup baik diambil pemerintah agar tidak terjebak perjanjian KK yang membuat pemerintah bukan hanya terikat sebagai subyek hukum perdata, tapi juga sebagai regulator dan subyek hukum publik.
Dia mengatakan, pada 29 Agustus 2017 di mana salah satu butir dalam Framework Agreement antara Indonesia dan FCX, CEO FCX Richard Adkerson menginginkan kepastian stabilitas investasi tertuang dalam bentuk perjanjian seperti KK.
"Mereka awalnya mintanya bukan PP, tapi perjanjian yang ditafsirkan seperti KK. Sampai hari ini, sampai 20 tahun yang ada, price-nya begini. Kalau saya sih keberatan, itu seperti VOC (Kongsi Dagang atau Perusahaan Hindia Timur Belanda atau Vereenigde Oostindische Compagnie)," tutur dia.
Lokasi tambang Nikel Milik PT Vale Indonesia (Foto:  Selfy Sandra Momongan/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Lokasi tambang Nikel Milik PT Vale Indonesia (Foto: Selfy Sandra Momongan/kumparan)
Meski begitu, kata dia, jika dari kacamata pengusaha, khususnya PTFI, aturan itu tidak menguntungkan dari sisi kepastian investasi. Sebab, meski tarif PPh Badan lebih ringan menjadi 25 persen dari sebelumnya 35 persen, tarif tersebut hanya diatur dalam bentuk PP yang bisa saja berubah tergantung rezim pemerintahan.
ADVERTISEMENT
"Kalau dari kacamata PTFI pasti enggak, karena PP itu kapan waktu bisa berubah-ubah, karena kalau ganti pemerintah bisa ganti PP. Jadi kalau dari PTFI, ini enggak menjamin stabilitas (yang dimaksud)," lanjutnya.
Sebelumnya diberitakan, salah satu yang diatur dalam PP ini, adalah mengecualikan aturan Pajak Penghasilan (PPh) Badan bagi pemegang IUPK Operasi Produksi yang merupakan perubahan bentuk Usaha Pertambangan dari Kontrak Karya (KK) yang belum berakhir kontraknya.
Perusahaan pengelola tambang emas dan tembaga di Papua, PT Freeport Indonesia, masuk kategori yang dikecualikan tersebut. Aturan ini memberikan keringanan kewajiban pajak badan bagi PTFI.
Dalam Pasal 15 ayat 1 poin d PP Nomor 37 tahun 2018 disebutkan, tarif Pajak Penghasilan (PPh) Badan lebih ringan menjadi 25 persen. Sementara dalam status Kontrak Karya Freeport Indonesia sekarang ini, PPh Badan yang ditanggung sebesar 35 persen.
ADVERTISEMENT