Aturan Wajib Tanam Bawang Putih bagi Importir Dikritik

22 April 2019 7:58 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Stok Bawang Putih di Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta Timur, Senin (15/4). Foto: Abdul Latif/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Stok Bawang Putih di Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta Timur, Senin (15/4). Foto: Abdul Latif/kumparan
ADVERTISEMENT
Bawang putih kembali menjadi komoditas pertanian yang banyak dikeluhkan pedagang dan masyarakat. Harga jualnya meroket hingga Rp 60 ribu per kilogram, padahal normalnya di kisaran Rp 25 ribu sampai Rp 35 ribu per kg.
ADVERTISEMENT
Mahalnya harga bawang putih di dalam negeri karena ketergantungan Indonesia pada impor sangat besar. Sebanyak 95 persen bumbu rempah yang satu ini diimpor, kebanyakan datang dari China. Sementara produksi di dalam negeri hanya 5 persen.
Ketika pasokan impor tak lancar, maka permintaan di dalam negeri tak bisa dipenuhi. Alhasil stok menipis dan rakyat harus membelinya lebih mahal seperti yang terjadi sejak beberapa minggu belakangan ini.
Guru Besar Pertanian IPB, Dwi Andreas Santosa, mengatakan setidaknya ada dua hal krusial yang membuat bawang putih selalu menjadi polemik di dalam negeri.
Pertama, importir wajib membuka lahan bawang putih di dalam negeri. Porsinya 5 persen dari kuota impor yang didapat pengusaha. Aturan ini berlaku sejak 2 tahun lalu.
ADVERTISEMENT
Misalkan importir ingin mendapatkan kuota sebanyak 10.000 ton bawang putih, maka importir tersebut harus menanam 500 ton bawang putih di dalam negeri.
Aturan ini terdapat dalam Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 38 Tahun 2017 tentang Rekomendasi Impor Produk Holtikultura (RIPH). Jika kewajiban ini tak dijalankan, maka Kementan tak memberikan RIPH pada importir, yang artinya Kemendag tak bisa memberikan izin impor.
Menurut Andreas, Permentan 38 Tahun 2017 ini tidak masuk akal sebab aturan ini justru memberatkan importir karena mereka bukanlah petani yang memiliki kemampuan bercocok tanam. Dia melihat, sejak aturan ini diberlakukan, tak banyak importir yang berhasil menanamnya. Bahkan, di beberapa tempat hasilnya gagal total.
"Kebijakan ini tidak rasional dan lihat saja, produksi mereka seberapa banyak? Bahkan di beberapa tempat gagal total karena importir enggak punya kapasitas, bibitnya juga kacau balau sehingga produksi rendah. Jadi program ini nonsense-lah," kata dia saat dihubungi kumparan, Senin (22/4).
Stok Bawang Putih di Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta Timur, Senin (15/4). Foto: Abdul Latif/kumparan
ADVERTISEMENT
Importir yang menjalankan aturan ini pun mau tidak mau bekerja sama dengan petani lokal. Tapi modal untuk bertani bawang putih sendiri tidak murah.
Menurut perhitungannya, diperlukan biaya Rp 80 juta per 1 hektare lahan bawang putih. Petani pun harus memikirkan untung ruginya jika ingin menanam ini dengan harga jual ketika sudah panen. Pun importir yang mengajaknya kerja sama.
"Ketika proyek ini gagal, maka siapa yang mau bertanggung jawab?" lanjutnya.
Sementara jika importir tak bisa memenuhi syarat buka lahan ini, RIPH tak keluar yang artinya Kemendag tak bisa memberi izin impor. Akhirnya pasokan pun menipis dan harga jualnya jadi mahal.
Masalah kedua adalah keterbatasan lahan. Andreas mengungkapkan, dengan kesuburan tanah di Indonesia, sebenarnya bukan hal sulit untuk menanam komoditas ini.
ADVERTISEMENT
Bawang putih idealnya di tanam di atas ketinggian minimal 800 meter dan maksimal 1.300 meter di atas permukaan laut. Sayangnya, di atas lahan tersebut sudah penuh sesak dengan komoditas pertanian yang lain seperti kentang dan wortel, terutama di Jawa.
Produksi kentang pun 2-3 kali lipat dibanding bawang putih. Jadi, kalaupun bawang putih bisa ditanam, harga jualnya di kalangan petani kalah saing dengan komoditas lain seperti kentang. Jadi, dari segi modal, tak menguntungkan petani.
"Sebab bawang putih harus bersaing dengan kentang dan lainnya. Sementara harga kentang di sana, di pinggir jalannya saja bisa Rp 10 ribu per kg, bawang putih berapa? Jadi enggak ada petani yang tertarik tapi bukan karena mereka malas," lanjut dia.
ADVERTISEMENT
Karena itu, jika pemerintah ingin petani-petani lokal menanam bawang putih, harganya harus menguntungkan mereka. Hanya saja, pertanyaannya, apakah pemerintah berani melakukannya atau tidak.
Sementara itu, Komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Chandra Setiawan menilai, kewajiban ini memberatkan pengusaha. Aturan ini sulit dipenuhi karena importir bukanlah petani yang memiliki keterampilan bercocok tanam. Dia pun meminta aturan ini dihapus.
“Iya betul (dihapus). Enggak usah memaksakan diri untuk swasembada di bawang putih. Secara pribadi, saya saran untuk dibebaskan dari sistem kuota," ucapnya.
Sebagai solusi untuk jangka pendek dan menengah, Chandra mengusulkan agar pemerintah yang mendorong petani agar mau menanam bawang putih. Opsi lain, pemerintah fokus mendorong produksi dan ekspor bawang merah.
ADVERTISEMENT
Devisa dari ekspor bawang merah ini dapat menambal pengeluaran untuk impor bawang putih.
"Sebab untuk bawang putih kita mungkin tetap harus impor sekitar 80 persen dan untuk bawang merahnya diusahakan ekspor sampai mencapai 80 persen. Ini mungkin lebih realistis, sehingga perhitungan devisanya balance," jelas dia.
Sebelumnya diberitakan, Komisioner KPPU, Guntur Saragih, mengatakan mahalnya harga bawang putih bukan karena permainan kartel. Menurut penelusuran KPPU, hal ini terjadi karena kementerian terlambat mengeluarkan izin impor. Izin impor bawang putih baru diterbitkan ketika stok sudah sangat tipis.
“Memang persoalannya kemarin memang terlambat ya, sehingga di lapangan suplai terlambat turun karena eksekusi impornya terlambat," kata Guntur.