Bank Indonesia Beri Sinyal Tak Akan Turunkan Suku Bunga Acuan

2 April 2019 18:35 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
ADVERTISEMENT
Bank Indonesia (BI) masih enggan memberikan sinyal penurunan suku bunga acuan di tahun ini. Padahal Bank Sentral AS atau The Fed telah memberikan pernyataan tetap mempertahankan kebijakan moneter yang melunak atau dovish.
ADVERTISEMENT
Adapun suku bunga BI saat ini sebesar 6 persen. BI mempertahankan suku bunga acuan di level tersebut selama lima bulan berturut-turut atau sejak November 2018.
Deputi Gubernur Senior BI, Mirza Adityaswara, mengatakan ada tiga hal yang menjadi faktor pengambilan kebijakan moneter bank sentral. Adapun ketiganya mesti terjadi dalam waktu yang bersamaan.
Pertama, Fed Fund Rate (FFR). Keputusan The Fed untuk menahan bunga acuan bahkan hingga akhir tahun ini dinilai memberikan keuntungan bagi negara berkembang, termasuk Indonesia.
Kedua, inflasi. Saat ini, inflasi domestik terjaga di level 2,48 persen secara tahunan per Maret 2019. Bahkan BI memproyeksi laju inflasi akan di bawah sasaran target 3,5 persen di tahun ini.
Ketiga, defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD). BI menargetkan CAD di tahun ini bisa ditekan hingga hanya 2,5 persen dari Produk Domestik Bruto (PBD). Namun sayangnya, PDB saat ini dinilai masih menjadi PR bagi perekonomian Indonesia.
ADVERTISEMENT
Selama 2018, CAD mencapai USD 31,1 miliar atau 2,98 persen terhadap PDB. Angka ini termasuk tinggi, sebab berdasarkan IMF, batas maksimal defisit transaksi berjalan adalah 3 persen dari PDB.
"Nah, jadi ya BI, kita perhatikan CAD dan kita mau memastikan CAD itu menuju 2,5 persen dari PDB," ujar Mirza di kawasan Lot 1 SCBD, Jakarta, Selasa (2/4).
Mirza menegaskan, saat ini yang terpenting adalah sektor rill tumbuh dan industri perbankan bisa memberikan pembiayaan kredit. Bank Indonesia pun akan terus memastikan likuiditas perbankan cukup untuk menyalurkan kredit.
Gedung Bank Indonesia. Foto: Nicha Muslimawati/kumparan
Adapun salah satu cara yang ditempuh BI untuk memastikan likuiditas terjaga adalah dengan membuat kebijakan pelonggaran Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM) menjadi 84-94 persen, dari sebelumnya 82-92 persen.
ADVERTISEMENT
Adapun RIM merupakan parameter atau indikator yang menggambarkan kemampuan menyalurkan kredit perbankan dengan perbandingan kemampuan penghimpunan dana dari perbankan.
Semakin tinggi angka RIM menunjukkan penggunaan dana di perbankan yang optimal untuk menyalurkan kredit. Namun, jika angka RIM terlalu tinggi, dikhawatirkan kondisi pendanaan perbankan akan berkurang dan terjadi pengetatan likuiditas.
RIM di batas bawah 84 persen dengan batas atas 94 persen dinilai BI sebagai rentang yang aman dan sehat bagi perbankan.
"Yang penting sektor riil tumbuh, dan perbankan memberikan kredit kan perlu funding. BI bilang funding akan dicukupkan, dan dengan masuknya inflow yang terus, SBN yang selalu oversubscribe, artinya ada funding masuk nambah likuiditas. Kemarin RIM juga kami longgarkan," tambahnya.