Belajar dari China, Pembayaran Nontunai Jangan Didominasi Swasta

10 Maret 2019 19:34 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Warung makanan yang sudah gunakan aplikasi uang elektronik Ovo dan Go-Pay di sekitar Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Foto: Ema Fitriyani/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Warung makanan yang sudah gunakan aplikasi uang elektronik Ovo dan Go-Pay di sekitar Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Foto: Ema Fitriyani/kumparan
ADVERTISEMENT
Go-Pay dan Ovo menjadi dua pemain utama dalam sistem pembayaran nontunai berbasis aplikasi QR-Code saat ini di Indonesia. Berbagai diskon terus digencarkan keduanya untuk menarik konsumen bertansaksi secara online, tidak lagi menggunakan uang tunai.
ADVERTISEMENT
Go-Pay merupakan salah satu fitur yang ada di aplikasi Go-Jek. Mulanya, fitur ini digunakan sebagai dompet untuk mengisi saldo akun Go-Jek.
Tapi, CEO Go-Jek, Nadiem Makarim terus menambah kecanggihan fitur ini dengan berbagai layanan mulai dari bayar BPJS Kesehatan, Listrik, hingga bayar makanan. Bahkan Go-Pay memiliki perusahaan sendiri bernama PT Dompet Anak Bangsa.
Sementara Ovo, merupakan aplikasi yang berdiri sendiri. Tapi, dia juga terintegrasi dengan aplikasi Grab. Di Indonesia, Ovo berada di bawah kendali Lippo Group.
Tren bertransaksi dengan uang elektronik seperti ini sudah lebih dulu berkembang di China dengan maraknya penggunaan Alipay dan WeChat. Keduanya yang merupakan perusahaan milik swasta menguasai pasar sistem pembayaran nontunai berbasis aplikasi di China.
Sebuah toko di Denpasar, Bali, menerima transaksi dengan WeChat Pay (tengah) seperti ditunjukkan di bagian kasir. Foto: Wendiyanto/kumparan
Di dalam negeri, pemerintah pun tak ingin ketinggalan. Baru-baru ini, Kementerian BUMN membuat aplikasi pembayaran serupa bernama LinkAja.
ADVERTISEMENT
Aplikasi ini merupakan produk buatan dari 6 perusahaan negara, yakni Bank Mandiri, BNI, BRI, BTN, Pertamina, dan Telkomsel yang tergabung dalam PT Fintek Karya Nusantara (Finarya). LinkAja digadang-gadang bakal menyaingi Ovo dan Go-Pay.
Pakar Manajemen dari Universitas Indonesia, Rhenald Kasali mengatakan, pemerintah memang harus membuat aplikasi yang serupa Ovo dan Go-Pay. Hal ini, kata dia, sebagai respons perusahaan negara yang selama ini konvensional untuk menyesuaikan diri dalam perkembangan yang ada.
BUMN bukannya tidak memiliki aplikasi serupa. Masing-masing perbankan negara sudah lebih dulu membuat sistem pembayaran elektronik ini, sebut saja E-Money dari Bank Mandiri dan Your All Payment (Yap!) dari BNI. Tapi, kehadirannya masih berjalan sendiri-sendiri.
"Saya melihat ini langkah baik bagi BUMN, karena setiap zamannya forward-nya harus ada yang baru. Lihat saja Merpati hilang (karena tidak menyesuaikan diri). Jadi harus ada produk baru. Selama ini bank terikat aturan konvesional, jadi tidak berkembang," kata dia saat dihubungi kumparan, Minggu (10/3).
Rhenald Kasali di Kantor Wapres (28/08/2018). Foto: Kevin Kurnianto/kumparan
Rhenald melihat, kehadiran LinkAja ini bisa menyaingi eksistensi Ovo dan Go-Pay. Sebab, sebagai produk pemerintah, LinkAja memiliki akses yang banyak ke berbagai perusahaan BUMN untuk bekerja sama dalam sistem pembayaran.
ADVERTISEMENT
LinkAja, kata dia sudah memiliki ekosistem yang bagus sebab potensi konsumennya sangat banyak. Sebagai contoh Pertamina bakal menyediakan layanan membeli BBM di SPBU dengan LinkAja. Belum lagi pembayaran BPJS Kesehatan, listrik, pulsa, dan lainnya jauh lebih mudah karena pasarnya sudah ada.
Belum lagi, dengan didukung empat perbankan negara, modal untuk mengembangkan LinkAja terbuka lebar karena tidak perlu mencari investor. Jadi, tidak masalah LinkAja terlambat hadir dalam satu atau dua tahun belakangan.
"Kalau Ovo kan harusnya kasih insentif ke berbagai perusahaan (jika mau kerja sama dengan BPJS Kesehatan, PLN, dan BUMN lainnya). Mereka juga harus cari uangnya (suntikan dana dari investor), kalau LinkAja sudah punya uang," lanjut dia.
ADVERTISEMENT
Tapi, Rhenald menekankan agar LinkAja berkembang, harus diserahkan pengelolaannya ke anak-anak muda sebagai Go-Pay dan Ovo sekarang berdiri. Ini perlu dilakukan agar LinkAja bisa menciptakan berbagai program kekinian yang dekat dengan anak muda.
"Pasti bisa (bersaing) asal abindex. Misalnya Telkomsel ini jadi anak usaha jadi Telkom kan, biarkan orang muda dengan orang baru. Dunianya dunia mereka, kalau orang lama BUMN tidak bisa melakukannya, makanya ada di anak perusahaan. Jadi biarkan anak muda (yang urus)," jelas dia.
Saat ini, aplikasi LinkAja sudah bisa diakses di Play Store dan App Store. Rencananya, Menteri BUMN Rini Soemarno bakal meluncurkannya secara besar-besaran pada April mendatang.
Sebelumnya, Sekretaris Perusahaan Bank Mandiri Rohan Hafas, mengatakan ada beberapa program yang telah disiapkan LinkAja untuk bersaing dengan pemain yang sudah ada. Salah satunya menebar promo selama dua bulan, terutama untuk menyambut ulang tahun Kementerian BUMN ke-21 tahun pada 13 April 2019.
ADVERTISEMENT
Rohan optimistis promosi akan efektif, mengingat jumlah nasabah bank BUMN yang kerja sama dengan LinkAja cukup banyak. Saat ini, jumlah nasabah Himbara mencapai 50-60 juta.
"Jadi promo bisa digabung bersama-sama, lebih besar promonya. Kalau promo sendiri kan enggak sebesar promo bersama. Jadi ini menguntungkan nasabah dan mengefisienkan BUMN. Selain promo, ada value chain sebab kita punya nasabah korporasi. Dia (pesaing) punya ritel bisnis, grup ini (LinkAja) punya food and beverage, lebih ke situ kekuatannya," kata dia.