Belajar dari Kenaikan Suku Bunga Turki yang Membubung

14 September 2018 9:36 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Seseorang membawa foto Tayyip Erdogan. (Foto: Reuters/Goran Tomasevic)
zoom-in-whitePerbesar
Seseorang membawa foto Tayyip Erdogan. (Foto: Reuters/Goran Tomasevic)
ADVERTISEMENT
Berbulan-bulan bergeming di tengah pelemahan nilai tukar (kurs) mata uang lira, Bank Sentral Turki akhirnya membubungkan suku bunga acuan, untuk mendongkrak lira. Tak tanggung-tanggung, pada Kamis (13/9), bank sentral menaikkan bunga acuan dari semula 17,75 persen menjadi 24 persen.
ADVERTISEMENT
Kebijakan itu langsung melambungkan kurs lira terhadap dolar AS sebesar 5 persen atau 625 basis poin. Dikutip dari Reuters, kenaikan itu melebihi ekspektasi para analis yang memproyeksikan penguatan hanya 350 basis poin.
Meski demikian, penguatan itu belum bisa mengembalikan posisi lira ke awal, setelah sepanjang 2018 ini tergerus 35 persen.
CNN Money menulis, kenaikan suku bunga bahkan hingga setinggi itu, tak akan mengatasi persoalan di pasar. “Negara emerging market harus hati-hati,” tulis CNN Money. Kenaikan suku bunga dianggap sebagai langkah darurat yang banyak diambil negara-negara berkembang, untuk mengatasi pelemahan kurs.
Tapi tindakan itu sering gagal untuk meyakinkan investor, untuk tetap menahan uangnya di dalam negeri.
Ilustrasi mata uang Turki, Lira. (Foto: Pixabay/PublicDomainPictures)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi mata uang Turki, Lira. (Foto: Pixabay/PublicDomainPictures)
"Kenaikan suku bunga sepertinya tak akan memberikan pemulihan yang layak bagi nilai tukar lira," kata Direktur Riset Capital Index, Kathleen Brooks. "Ini adalah tanda bahwa tindakan bank sentral saja, tidak dapat benar-benar memberi dampak apa pun."
ADVERTISEMENT
Nilai tukar mata uang negara-negara berkembang seperti Afrika Selatan, India, Indonesia, juga Pakistan dan Sri Lanka, serta terutama Argentina dan Turki, tergerus banyak akibat para investor membawa uang mereka keluar dari negara-negara itu.
Mereka memulangkan dolar AS ke kampung halamannya, untuk merespons kenaikan suku bunga di Amerika Serikat. Para ekonom mengkhawatirkan masalah itu bisa menyebar, menginfeksi pasar rentan lainnya atau bahkan Wall Street.
Brooks mengatakan, dinamika itu tidak akan berubah sampai investor menjadi lebih percaya diri. "Kita perlu melihat ketenangan dalam retorika tentang perang dagang," katanya. "Saat itulah pasar negara berkembang akan mulai pulih."