Benarkah Utang Indonesia Rp 4.000 Triliun Bisa Picu Krisis Ekonomi?

7 April 2018 18:21 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi menghitung mata uang Rupiah. (Foto: AFP/Bay Ismoyo)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi menghitung mata uang Rupiah. (Foto: AFP/Bay Ismoyo)
ADVERTISEMENT
Utang pemerintah hingga akhir Februari 2018 mencapai Rp 4.035 triliun. Utang tersebut naik 13,46% dibanding periode yang sama tahun lalu sebesar Rp 3.556 triliun. 
ADVERTISEMENT
Rasio utang pemerintah tersebut masih 29,24% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Ini masih di bawah batas yang diizinkan oleh UU Keuanga Negara sebesar 60% terhadap PDB. Sejumlah pihak mengkhawatirkan utang tersebut dapat menimbulkan gejolak bagi perekonomian.
Menteri Keuangan era Presiden Soeharto Fuad Bawazier mengatakan, selama ini pemerintah selalu membandingkan kondisi utang dengan Jepang.
Menurutnya, rasio utang Jepang yang mencapai 200% terhadap PDB itu tak sama kondisinya dengan Indonesia.
"Jepang yang megang surat utang ya rakyatnya sendiri. Kalau Indonesia didominasi asing. Ini yang mengkhawatirkan," kata Fuad kepada kumparan (kumparan.com), Sabtu (7/4).
Lagi pula, lanjut dia, peringkat utang Jepang dan Indonesia jauh berbeda. Peringkat utang Jepang A+, sementara Indonesia BBB.
ADVERTISEMENT
"Pokoknya kalau kita dibanding Jepang jelas beda. Kondisinya beda," katanya.
Utang Indonesia dari masa ke masa. (Foto: Bagus Permadi/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Utang Indonesia dari masa ke masa. (Foto: Bagus Permadi/kumparan)
Kepemilikan asing di Surat Berharga Negara (SBN) mencapai 39,73% hingga 4 April 2018. Total kepemilikan asing itu setara dengan Rp 865,9 triliun dari total SBN yang sebesar Rp 2.179,9 triliun. Lembaga keuangan, perusahaan reksa dana, dan bank sentral asing tercatat sebagai pemilik terbesar pada surat utang Indonesia.
Secara rinci dari porsi asing tersebut, surat utang pada lembaga keuangan internasional sebesar Rp 362,48 triliun, perusahaan reksa dana asing Rp 165,06 triliun, kepemilikan bank sentral dan pemerintah negara asing sebesar Rp 144,08 triliun, dan lainnya Rp 110,88 triliun.
Fuad Bawazier menjelaskan, posisi utang tersebut patut dikhawatirkan. Sebab pihak asing bisa kapan pun menarik dananya keluar dari Indonesia. Perlu diingat juga bahwa krisis ekonomi 1997 bermula dari ketakutan pasar bahwa swasta Indonesia akan kesulitan membayar utang-utangnya terlebih utang dalam valas.
ADVERTISEMENT
"Mereka ini suatu waktu bisa saja menarik dananya. Ini yang harus dikhawatirkan. Karena mereka ini lebih sensitif dengan situasi politik dibandingkan domestik," ujar Fuad.
Ketika pihak asing banyak menarik dana dari Indonesia, maka kurs rupiah bisa tertekan. Nah, untuk stabilisasi rupiah, Bank Indonesia (BI) akan hadir di pasar valuta asing (valas) maupun SBN, salah satu caranya dengan menggelontorkan cadangan devisa (cadev).
Cadev ini dipengaruhi oleh laju ekspor dan impor. Artinya jika ekspor naik, maka posisi cadev juga akan naik, begitu juga sebaliknya.
Namun pada situasi kali ini, neraca dagang Indonesia terus mengalami defisit. Bahkan dalam tiga bulan berturut-turut, laju impor selalu lebih tinggi dari impor.
Fuad menyebut, cadev saat ini lebih banyak berasal dari aliran dana asing berjangka pendek atau hot money ketimbang ekspor.
ADVERTISEMENT
"Cadev ini sekarang banyak dari hot money (dana asing jangka pendek), yang bisa suatu waktu mudah ditarik ke luar negeri. Kalau dari eskpor, kita defisit terus tiga bulan jadi agak susah," katanya.
Sementara itu, Peneliti di Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan, porsi kepemilikan asing di SBN perlu mendapat perhatian. Meskipun paling banyak saat ini dipegang oleh lembaga keuangan, reksa dana, dan bank sentral asing.
"Sebenarnya lembaga keuangan juga ada risikonya, karena di dalamnya termasuk investment bank, hedge fund, dan investor institusi lainnya yang melakukan evaluasi portofolio jika terjadi perubahan skenario global," kata Bhima.
"Yang buat krisis subprime mortgage atau obligasi perumahan di AS sebagian besar investment bank. Lehman Brother dan lainnya yang masuk dalam kategori lembaga keuangan. Kalau investor ritel individual biasanya follow market," dia menambahkan.
ADVERTISEMENT
Dia pun meminta pemerintah untuk tetap mengantisipasi krisis keuangan yang kini terjadi lebih cepat dari biasanya.
"Krisis Tahun 1998 dan 2008 selisih sepuluh tahun. Kemudian krisis 2008 dan krisis utang Eropa tahun 2013 hanya berjarak lima tahun. Jadi tidak menutup kemungkinan dalam jangka pendek krisis bisa berulang lagi," jelas Bhima.
Ilustrasi mata uang Rupiah. (Foto: AFP/Bay Ismoyo)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi mata uang Rupiah. (Foto: AFP/Bay Ismoyo)
Namun demikian, Ekonom Samuel Asset Manajemen Lana Soelistianingsih menjelaskan, lembaga keuangan maupun bank sentral asing memiliki jangka waktu kepemilikan yang lebih lama. Mereka juga tidak aktif di perdagangan seperti investor market.
"Kalau lembaga keuangan, bank sentral asing, mereka itu mencari capital gain dengan memanfaatkan kupon yield maturity. Bukan trading yang bisa keluar masuk dengan cepat. Ini bagus akan terjaga sampai waktu jatuh tempo," jelas Lana.
ADVERTISEMENT
Namun dirinya tak menutup kemungkinan masih adanya potensi risiko pada pihak asing tersebut. Tapi yang terpenting adalah, pemerintah dan BI terus menjaga agar situasi perekonomian stabil dan kondusif.
"Secara ekonomi terjaga baik, inflasi, nilai tukar, kali ini bisa relatif lebih terukur dan aman, jadi mereka enggak masalah," katanya.
Ke depan, Lana menyarankan agar pemerintah membuat seri tertentu dari SBN yang dijual dengan sistem holding period. Ini bertujuan untuk menahan risiko dana asing keluar.
"Misalnya, obligasi tenornya lima tahun, tiga tahunnya itu di-hold (tidak boleh dijual). Jadi, asing yang beli obligasi itu tidak bisa keluar selama tiga tahun, tapi diberi kupon yang menarik," jelasnya.
Selanjutnya, untuk menarik lebih banyak investor domestik, lanjut Lana, yakni dengan memperbesar penerbitan SBN retail. Agar rencana tersebut sukses, menurutnya, pemerintah perlu meningkatkan bunga (kupon) yang ditawarkan.
ADVERTISEMENT
"Kalau misalnya mau memikat retail, harus lebih tinggi (bunganya). ORI (Obligasi Retail Indonesia) 2015 sukses karena bunganya masih tinggi," tambahnya.