Berita Hoax dan Ketimpangan Pendapatan Bikin Kebahagian RI Turun

26 Desember 2018 12:49 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sekretaris Bappenas Gellwynn Jusuf bersepeda dalam acara bertajuk "Aksi Pembangunan Rendah Karbon untuk Kota Berkelanjutan’’ di CFD Bundaran HI, Minggu (25/11/18). (Foto: Jamal Ramadhan/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Sekretaris Bappenas Gellwynn Jusuf bersepeda dalam acara bertajuk "Aksi Pembangunan Rendah Karbon untuk Kota Berkelanjutan’’ di CFD Bundaran HI, Minggu (25/11/18). (Foto: Jamal Ramadhan/kumparan)
ADVERTISEMENT
World Happiness Report 2018 merilis tentang tingkat kebahagian 156 negara, termasuk di dalamnya Indonesia. Survei yang dilakukan Gallup ini menunjukkan peringkat kebahagian penduduk Indonesia yang menurun dalam periode 2015-2018.
ADVERTISEMENT
Bahkan, ranking Indonesia berada di posisi ke-6 di kawasan Asia Tenggara dan peringkat ke-96 di dunia pada tahun 2018.
Berdasarkan laporan World Happiness Report 2018, ada variabel utama dalam penilaian terhadap 156 negara, yakni: pendapatan, harapan terhadap kesehatan, dukungan sosial, kebebasan, kepercayaan, dan kedermawanan. Ada juga faktor lain seperti ketimpangan pendapatan dan persepsi terhadap korupsi. Penilaian menggunakan skor dengan skala 0 hingga 10, yakni makin tinggi skala menggambarkan tingkat kebahagian yang semakin tinggi.
Pengamat Ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menilai ada beberapa faktor pemicu yang membuat indeks kebahagian Indonesia terus menurun selama 4 tahun.
Pertama, masyarakat Indonesia makin pesimistis terhadap kestabilan politik. Hal ini sangat dipengaruhi oleh tingganya berita hoax yang sering memicu perdebatan di dalam masyarakat.
ADVERTISEMENT
"Negative affect dalam 4 tahun terakhir cenderung meningkat dari 0,27 ke 0,31, diterjemahkan sebagai pesimisme terkait kehidupan sehari-hari. Kemungkinan besar efek tahun politik, sehingga menciptakan berita hoax, konten negatif yang membuat masyarakat memandang masa depan sedikit pesimistis," ungkap Bhima kepada kumparan, Rabu (26/12).
Ekonom INDEF Bhima Yudhistira. (Foto: Jafrianto/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ekonom INDEF Bhima Yudhistira. (Foto: Jafrianto/kumparan)
Penilaian Gallup terhadap ketimpangan pendapatan (gini ratio), lanjut Bhima, menujukkan hasil berlawanan dengan Badan Pusat Stastistik (BPS).
Hasil survei BPS menilai bahwa rasio gini Indonesia mengalami perbaikan atau ketimpangan makin menyempit dari tahun 2014-2018. Sebaliknya, hasil penelitian Gallup menilai ketimpangan di Indonesia justru meningkat.
Angka ketimpangan ini, lanjut Bhima, berpotensi menciptakan konflik horizontal, rasa cemburu, dan kesempatan kerja yang tidak sama.
"Dari catatan Gallup angkanya dalam 4 tahun terakhir terus meningkat dari 0,41 ke 0,44. Rasio gini ini berbeda dari data BPS maupun data Bank Dunia karena metodenya Gallup melakukan survei sendiri. Naiknya angka ketimpangan antar rumah tangga Indonesia versi Gallup jadi penyebab utama masyarakat kebahagiannya turun," tambahnya.
ADVERTISEMENT
Faktor lain yang disoroti ialah level of generosity, yakni turun dari 0,48 di 2017 ke 0,47 di 2018. Ini menunjukkan level kedermawanan orang Indonesia menurun. Faktornya, menurut Bhima, bisa berkaitan dengan tingginya kebutuhan hidup, sehingga uang untuk donasi sosial yang disisihkan ikutan berkurang.
"Kualitas demokrasi sempat turun dalam 3 tahun terakhir, efek dari rendahnya penanganan korupsi, instabilitas politik dan meningkatnya kekerasan. Persepsi korupsi di Indonesia juga terbilang masih tinggi skornya, yakni 0,9 rata-rata 3 tahun terakhir," paparnya.
Untuk memperbaiki tingkat kebahagian penduduk Indonesia, Bhima menilai pemerintah perlu mendorong efektivitas belanja seperti bantuan sosial (Program Keluarga Harapan/PKH) hingga dana desa. Dana tersebut bisa menurunkan tingkat ketimpangan (rasio gini) yang menjadi salah satu faktor penentu dalam tingkat kebahagian.
ADVERTISEMENT
Solusi lain ialah meningkatkan reformasi birokrasi, khususnya mendukung praktik anti korupsi dan peningkatan transparansi ke masyarakat. Perbaikan daya beli masyarakat dan keterjangkauan barang kebutuhan pokok yang merata juga harus dilakukan. Terakhir ialah perang melawan berita hoax.
"Penanganan hoax harus dilakukan dengan lebih cepat dan terukur sehingga persepsi publik tidak digiring ke konten yang negatif dan pesimistis," tutupnya.
Posisi Indonesia:
2015: Peringkat 74 (skor 5,399)
2016: Peringkat 79 (skor 5,314)
2017: Peringkat 81 (skor 5,262)
2018: Peringkat 96 (skor 5,093)
Peringkat Kebahagian Negara Asia Tenggara di 2018:
1. Singapura: Peringkat 34 (skor 6,343)
2. Malaysia: Peringkat 35 (skor 6,322)
3. Thailand: Peringkat 46 (skor 6,072)
4. Filipina: Peringkat 71 (skor 5,524)
ADVERTISEMENT
5. Vietnam: Peringkat 95 (skor 5,103)
6. Indonesia: Peringkat 96 (skor 5,093)
7. Laos: Peringkat 110 (skor 4,623)
8. Kamboja: Peringkat 120 (skor 4,433)
9. Myanmar: Peringkat 130 (skor 4,308)