BI Soal Rupiah Melemah: Kurangi Dulu Liburan Keluar Negeri

10 September 2018 18:31 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Dolar-Rupiah (Foto: ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Dolar-Rupiah (Foto: ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan)
ADVERTISEMENT
Bank Indonesia menyatakan bahwa masyarakat tidak perlu panik melihat kondisi nilai tukar rupiah yang terus terkapar dolar Amerika Serikat. Pemerintah disebutnya terus berjuang untuk kembali mengangkat rupiah seperti intervensi di pasar valas.
ADVERTISEMENT
Selain pemerintah, masyarakat juga bisa ikut serta untuk menguatkan kembali rupiah. Misalnya dengan menukarkan dolar AS ke rupiah atau menunda dulu liburan keluar negeri.
"Kita ikut konversikan uang kita ke valas, menggunakan produk dalam negeri, lalu untuk liburan keluar negeri kurangi dahulu. Intinya, tolong berbagai pihak masyarakat membantu mencoba mengurangi dominasi dolar," ungkap Kepala Departemen Internasional BI Doddy Zulverdi dalam Diskusi Media Forum Merdeka Barat (FMB) 9 dengan tema "Bersatu untuk Rupiah", bertempat di Ruang Serba Guna Kementerian Komunikasi dan Informatika, Jakarta, Senin (10/9).
BI sendiri sudah bergerak cepat untuk menstabilkan rupiah sejak awal. Setidaknya BI telah menggelontorkan sekitar Rp 11,9 triliun untuk mengintervensi pasar valas hingga hingga membeli surat berharga negara di pasar sekunder guna menahan laju pelemahan rupiah.
ADVERTISEMENT
"Situasi yang kita hadapi memang situasi yang belum pasti. Kita harus selalu waspada. Yang perlu dilihat bahwa otoritas terkait, baik pemerintah, BI, dan OJK tidak tidur, terus berkoordinasi sehingga langkah-langkah stabilisasi terus berjalan," paparnya.
Ilustrasi Bank Indonesia (Foto: Iqbal Firdaus/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Bank Indonesia (Foto: Iqbal Firdaus/kumparan)
Dia menjelaskan bahwa pelemahan rupiah lebih banyak disebabkan karena gejolak ketidakpastian perekonomian dunia. Hal ini ditambah dengan situasi politik yang saat ini juga kian memanas. Misalnya saja, pada perang dagang (AS-China, AS-Eropa, Turki) serta juga kebijakan super power AS hingga naiknya suku bunga acuan The Fed.
Tak elak, hal itu berimbas pada depresiasi mata uang di banyak negara berkembang (emerging market) seperti Turki, Venezuela, Brazil, Argentina, Meksiko, Iran, Rusia, dan tentunya Indonesia.
"Ekonomi dunia pertumbuhannya berat sebelah. Ibarat pesawat, hanya satu mesin yang menggerakkan karena ekonomi Amerika yang kuat, negara lain melemah, sehingga investor ragu dengan ketahanan ekonomi dunia," tuturnya.
ADVERTISEMENT
Selain itu, Doddy menambahkan penyebab lain adalah ketakutan The Fedl akibat melihat overheating ekonomi AS yang kini berada dalam situasi ekonomi yang maju. Maka jelas, The Fed mulai konsisten menaikkan suku bunganya.
"Justru suku bunga Jepang, Eropa, itu masih lemah. Jika mata uang AS menguat dan tidak punya pesaing lagi, ya dolar terus perkasa. Ini juga faktor ketidakpastian. Ketiga adalah trade worst. Terakhir adalah memang beberapa negara berkembang sedang mengalami masalah yang banyak bersumber manajemen ekonominya kurang pas," terang Doddy.