BI: The Fed Bakal Pangkas Suku Bunga jika AS-China Memanas Lagi

5 Juli 2019 16:47 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo memberikan keterangan pers hasil Rapat Dewan Gubernur di kantor Bank Indonesia. Foto: ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
zoom-in-whitePerbesar
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo memberikan keterangan pers hasil Rapat Dewan Gubernur di kantor Bank Indonesia. Foto: ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Bank Indonesia (BI) menilai hubungan antara Amerika Serikat (AS) dan China yang membaik bukan berarti ketidakpastian keduanya berakhir. Sebab perundingan pada kedua negara tersebut masih terus berlangsung.
ADVERTISEMENT
Presiden AS Donald Trump pekan lalu mengatakan tak akan mengenakan tambahan bea masuk baru untuk produk-produk China. Hal ini disampaikan setelah bertemu Presiden China Xi Jinping di Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Osaka, Jepang.
"Tapi bukan berarti ketidakpastian ke depannya hilang. Ini perundingan masih terus berlangsung," ujar Perry di Gedung BI Thamrin, Jakarta, Jumat (5/7).
Menurut Perry, jika perang dagang AS-China membaik, maka bank sentral AS atau The Fed kemungkinan masih menahan suku bunga acuannya pada tahun ini di level 2,25-2,5 persen. The Fed diperkirakan baru menurunkan suku bunga acuan 25 basis poin di tahun depan.
Sementara jika perang dagang nantinya kembali memanas, Perry bilang, The Fed akan menurunkan sekali suku bunga acuan atau 25 basis poin di tahun ini dan dua kali di tahun depan.
ADVERTISEMENT
"Kalau trade war itu positif tone-nya akan berlanjut, ya kemungkinan Fed tahun ini akan stay, tapi tahun depan akan turunkan 25 basis poin. Tapi kalau terjadi pro-long trade war, ekonomi AS turun, kemungkinan Fed bisa juga tahun ini turunkan sekali 25 basis poin, tahun depan bisa dua kali," jelasnya.
New York Federal Reserve Bank Foto: REUTERS/Brendan McDermid
Perry menjelaskan, arah kebijakan The Fed akan lebih lembut atau dovish jika perang dagang memanas. Sebab, perang dagang yang memanas akan menghambat pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja. Adapun kebijakan yang dovish tersebut salah satunya berupa pemangkasan suku bunga acuan.
"Kalau pro-long (perang dagang berlanjut), Fed reaksinya akan lebih dovish untuk mendorong ekonominya penciptaan tenaga kerja. Kan mandatnya The Fed stabilitas harga dan tenaga kerja," katanya.
ADVERTISEMENT
Sementara untuk domestik, Perry masih melihat sejumlah kemungkinan yang terjadi. Mulai dari risiko perlambatan ekonomi hingga perang dagang.
Adapun pertumbuhan ekonomi AS diperkirakan akan melambat menjadi 2,2 persen di 2019 dan 1,9 persen di 2020. Sementara perekonomian China juga diperkirakan melambat menjadi 6,3 persen tahun ini dan 6,2 persen di 2020.
"Itu (pertumbuhan ekonomi AS dan China) dengan asumsi tidak ada perluasan lagi (perang dagang). Kalau ada perluasan, ada risiko pertumbuhan ekonomi dunia lebih rendah. Makanya kami dalam RDG kemungkinan ini kita lihat, karena nanti akan berpengaruh, bagaimana reaksi The Fed," tambahnya.