Biodiesel, Senjata Jokowi Menekan Impor BBM yang Dikritisi Prabowo

5 November 2018 12:43 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Presiden Jokowi blusukan ke Pasar Lawang Suryakancana, Bogor. (Foto: Dok.Biro Setpres)
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Jokowi blusukan ke Pasar Lawang Suryakancana, Bogor. (Foto: Dok.Biro Setpres)
ADVERTISEMENT
Calon Presiden Prabowo Subianto kembali melontarkan kritik untuk pemerintahan Jokowi. Di sela-sela deklarasi relawan Rhoma Irama for Prabowo-Sandi di Depok pada Minggu (28/10) kemarin, Prabowo mengkritisi kebijakan impor yang dilakukan pemerintahan Jokowi, di antaranya impor bahan bakar minyak (BBM).
ADVERTISEMENT
Menurut dia, kebijakan impor ini hanya akan melemahkan perekonomian rakyat. Karena itu, Prabowo menegaskan bahwa Indonesia harus swasembada energi.
Kritik Prabowo cukup beralasan. Salah satu penyebab pelemahan rupiah saat ini adalah ketergantungan Indonesia pada impor minyak. Defisit neraca perdagangan dari sektor minyak dan gas bumi (migas) pada kuartal II 2018 mencapai USD 2,7 miliar, tertinggi sejak 2015. Ekspor migas tercatat hanya USD 4,4 miliar, sedangkan impor migas mencapai USD 7,2 miliar.
Capres Prabowo Subianto temui relawan di Ponorogo, Jawa Timur, Kamis (1/11).  (Foto: Dok. Tim Media Prabowo)
zoom-in-whitePerbesar
Capres Prabowo Subianto temui relawan di Ponorogo, Jawa Timur, Kamis (1/11). (Foto: Dok. Tim Media Prabowo)
Untuk menambal defisit tersebut, salah satu upaya yang dilakukan pemerintahan Jokowi adalah memperluas program mandatori biodiesel 20 persen (B20) pada 1 September 2018. Kini bukan hanya solar subsidi alias Public Service Obligation (PSO) saja yang dicampur biodiesel 20 persen, solar non PSO juga.
ADVERTISEMENT
Untuk tahun ini, pemerintah juga telah menargetkan penghematan devisa dari penyaluran B20 ini sebesar USD 2,10 miliar atau sekitar Rp 30,5 triliun (kurs Rp 14.200). Adapun target penyaluran volumennya sebesar 3,91 juta KL yang terdiri atas penyaluran B20 untuk sektor PSO dan non PSO.
Sedangkan pada 2019, pemerintah menargetkan penghematan devisa hingga USD 3,34 miliar atau sekitar Rp 50,7 triliun (kurs Rp 15.200). Proyeksi ini bisa didapat jika penyaluran B20 bisa sesuai target, yaitu 6,24 juta kilo liter (KL).
Berdasarkan data terbaru Direktorat Jenderal EBTKE Kementerian ESDM, perhitungan penghematan itu menggunakan asumsi nilai MOPS solar sebesar USD 85 per barel. Untuk nilai kurs, asumsi pemerintah menggunakan Rp 14.600 per dolar AS yang berarti penghematannya sekitar Rp 48,7 triliun.
ADVERTISEMENT
Ditjen EBTKE menyebutkan, pada periode September-Desember 2018, potensi penghematan devisa dari B20 sektor non PSO mencapai USD 0,50 miliar dengan target penyaluran 940 ribu KL. Hingga Oktober, realisasi penyaluran B20 untuk non PSO sebesar 273 ribu KL.
Sementara target penghematan devisa negara dari B20 sektor non PSO dan PSO pada periode September-Desember 2018 sebesar USD 1,02 miliar dengan jumlah volume 1,91 juta KL.
Adapun realisasi penyaluran Fatty Acid Methyl Esthers (FAME) untuk diolah jadi Biodiesel 20 persen (B20) sudah mencapai 2,42 juta kiloliter (KL) hingga 24 Oktober 2018. Realisasi itu sudah 60 persen dari target penyaluran FAME tahun ini yang sebesar 3,92 juta KL. Penyaluran FAME ini gabungan untuk sektor PSO dan nonPSO untuk kebutuhan B20.
ADVERTISEMENT
Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Rida Mulyana mengakui, masih banyak kendala dalam implementasi B20 ini, misalnya distribusi FAME ke Indonesia Timur. Namun masalah hanya persoalan teknis di lapangan saja, bukan di kebijakan.
"Sekarang masalah di tataran operasional. Kebutuhan terhadap kapal jadi tinggi. Masalah tidak di kebijakan, tidak di harga," kata Rida beberapa waktu lalu.
Ilustrasi biodiesel 20 persen (B20). (Foto: Nicha Muslimawati/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi biodiesel 20 persen (B20). (Foto: Nicha Muslimawati/kumparan)
Persoalan di lapangan itu terutama timbul karena belum siapnya infrastruktur untuk distribusi FAME ke daerah-daerah terpencil. Rida mencontohkan pengiriman FAME ke beberapa daerah yang terlambat karena antrean kapal.
Ia menambahkan, ketersediaan kapal juga menjadi masalah utama. Beberapa daerah sulit dijangkau karena tak memiliki kapal yang pas untuk mengangkut FAME. Misalnya untuk pengiriman FAME ke pulau-pulau kecil di Maluku, jumlah FAME yang diangkut sedikit sehingga terlalu mahal kalau dibawa dengan kapal besar, tapi kapal kecil juga tidak bisa membawanya karena laut di sana cukup ganas.
ADVERTISEMENT
Untuk memudahkan distribusi FAME, pemerintah memutuskan untuk mengurangi tempat pengolahan B20 dari 86 titik menjadi 10 titik saja di seluruh Indonesia.
Jadi kemarin kesepakatan dengan Pertamina, kita akan kurangi jumlah TBBM (Terminal Bahan Bakar Minyak). Sekarang ada 86 TBBM menjadi hanya 10 titik saja,” kata Rida.
Sepuluh titik pengolahan FAME menjadi B20 yang dimaksud terdiri atas 6 kilang Pertamina, yaitu RU Dumai, RU Plaju, RU Cilacap, RU Balikpapan, RU Balongan, dan RU Kasim di Papua. Sementara 4 sisanya adalah TBBM di Pulau Laut Kalimantan Selatan, TBBM Tuban, TBBM Sambas.