Bos BCA: Suku Bunga dan Rupiah Bagai Buah Simalakama

26 Juli 2018 21:15 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Peluncuran kartu Paspor BCA Mastercard (Foto: Puti Cinintya Arie Safitri/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Peluncuran kartu Paspor BCA Mastercard (Foto: Puti Cinintya Arie Safitri/kumparan)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Nilai tukar rupiah terus melemah terhadap dolar AS. Direktur Utama PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) Jahja Setiaatmadja berkomentar soal pelemahan ini.
ADVERTISEMENT
Jahja bercerita, nilai tukar rupiah di awal 2018 tercatat Rp 13.000 per dolar AS. Tapi, saat ini posisinya sudah menyentuh Rp 14.500 per dolar AS. Pelemahan ini pun diikuti dengan peningkatan suku bunga acuan BI.
Jahja bilang, pelemahan ini tidak bisa dilihat satu sisi saja tapi juga faktor global yang harus diperhatikan seperti bank sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve (The Fed) yang tahun ini sudah menaikkan suku bunga acuannya beberapa kali. Kemudian, pasar juga sudah berekspektasi akan terjadi kenaikan lagi pada September dan Desember tahun ini.
Atas kondisi ini, menurut Jahja, sudah menjadi kelaziman di mana pun berada, investor memiliki kecenderungan untuk menempatkan dana di tempat yang memberikan imbal hasil yang tinggi.
ADVERTISEMENT
"Seorang investor itu kalau US interest rate naik mereka cenderung shift dana di tempat yang bunganya tinggi. Itu naluri investor," katanya dalam paparan kinerja BCA semester I 2018 di Hotel Kempinski, Jakarta, Kamis (26/7).
Lebih lanjut, dia menjelaskan, mata uang yang melemah tidak hanya rupiah. Beberapa negara juga mengalaminya seperti renminbi, euro, hingga poundsterling.
“Memang seperti itu, jadi mood-nya di dunia sedang mencari interest yang naik dan memang akan lebih tinggi. Itu tak bisa dihindarkan, mau tidak mau suka tidak suka BI memang terpaksa menaikkan bunga," ujarnya.
Paparan kinerja BCA semester I 2018 (Foto: Ema Fitriyani/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Paparan kinerja BCA semester I 2018 (Foto: Ema Fitriyani/kumparan)
Dia mengungkapkan, jika BI tidak menaikkan suku bunga acuannya yang secara total sudah mencapai 100 bps di level 5,25%, ada kemungkinan rupiah bisa bergerak liar dan mempengaruhi jumlah cadangan devisa. Karena itu, langkah yang dilakukan BI sudah tepat.
ADVERTISEMENT
"Kalau kemarin tidak dinaikkan rupiah bisa lari ke mana-mana dan cadangan devisa kita bisa terkuras untuk menahan laju dolar AS. Memang seperti buah simalakama, kalau dilihat ke depan situasi ini tidak selesai dalam waktu singkat," katanya lagi.
Dia melihat, kondisi rupiah saat ini memang sulit untuk berjalan normal. Katanya, posisi rupiah akan sulit jika nilai dolar AS terus menguat dan ditekan kenaikan bunga acuan The Fed.
Padahal menurut dia, dengan menguatnya dolar AS ini, membuka peluang untuk mengembangkan ekspor. Namun sayangnya saat ini kemampuan industri nasional belum siap untuk mengembangkan ekspor. Ini menjadi sebuah dilema bagi pemerintah.
"Rupiah bisa terdepresiasi, apalagi sekarang hampir semua bahan baku BBM kita impor, semuanya pasti naik dan menyebabkan harga pokok naik. Kalau harga tidak ikut dinaikkan maka profit akan turun, memang ini sedikit dilema," jelas dia.
ADVERTISEMENT
Untuk di sektor perbankan sendiri, kata dia, kondisi ini harus diwaspadai sebab ini masih akan terjadi untuk jangka panjang. Karena itu, bank harus menyiapkan diri untuk uji ketahanan.
"Kalau ini bukan sprint lagi, tapi marathon dan harus jaga ketahanan. Rezim bunga rendah sudah tidak ada lagi, apalagi kalau bunga di AS naik kita juga terpacu untuk ikut naik," tandasnya.