BPJS Kesehatan Kurangi Layanan karena Biaya Triliunan

7 September 2018 17:04 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Selama 3 tahun terakhir, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan mengalami kinerja keuangan negatif. Di tahun 2017, kerugian mencapai Rp 183,37 miliar. Sementara di 2016, kerugian sebesar Rp 6,59 triliun. Sedang kerugian di 2015 tercatat Rp 4,6 triliun.
ADVERTISEMENT
Atas dasar hal tersebut, BPJS Kesehatan mulai awal 2018 lalu dinilai melakukan pengurangan manfaat yang diterima oleh masyarakat. Pertama pada 1 April 2018, obat trastuzumab bagi penderita kanker payudara tidak ditanggung lagi oleh BPJS Kesehatan.
Lalu pada pertengahan 2018, terbit Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan (Perdir Jampelkes) BPJS Kesehatan nomor 2, 3, dan 5 tahun 2018. Dalam beleid itu, manfaat dalam penjaminan pelayanan katarak, persalinan caesar, dan rehabilitasi medik dikurangi.
“Itu terkesan memang mengurangi manfaat untuk mengefisienkan biaya,” kata Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar kepada kumparan.
Dia menjelaskan dalam Perdir Jampelkes nomor 2/2018, jumlah pemegang kartu BPJS Kesehatan yang ingin melakukan operasi katarak dibatasi dengan volume pelayanan maksimal per departemen wilayah, dan standarisasi visus preoperatif <6/18.
BPJS Defisit, Warga Dilarang Sakit. (Foto: Sabryna Putri Muviola/kumparan)
Kemudian dalam Perdir Jampelkes nomor 3/2018, paket pelayanan bayi baru lahir dipisahkan dengan pelayanan bayi dengan Sumber Daya Khusus (SDK). Hal itu membuat sebagian rumah sakit enggan memberikan layanan SDK kepada bayi yang baru lahir.
ADVERTISEMENT
Sedangkan Perdir Jampelkes nomor 5/2018, menurut dia mengurangi pelayanan rehabilitasi medik hanya maksimal 8 kali per bulan. Selain itu, pemberian pelayanan tersebut harus sesuai assesment dari dokter spesialis kedokteran fisik dan rehabilitasi.
“Rehabilitasi medik stroke itu kan beda-beda, bisa 3 kali dalam seminggu. Kalau yang berat bisa 4-5 kali. Sekarang dibatasi 2 kali seminggu, selebihnya bayar sendiri. Ini kan kasihan masyarakat yang tidak punya uang,” papar Timboel.
Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Mata Indonesia, Sidik, mengungkapkan sejak Perdirjampelkes nomor 2/2018 diberlakukan, pesan singkat dari rekan sejawatnya terus berdatangan untuk mengeluh terkait pembatasan operasi katarak.
“Hampir setiap hari saya menerima sms dari teman sejawat, kenapa kuota saya sekian. Sekarang akses masyarakat untuk operasi katarak banyak yang tertunda akibat kuota itu,” katanya.
ADVERTISEMENT
Menanggapi itu, Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan BPJS Kesehatan, Maya Amiarny, mengaku melibatkan pihak terkait dalam menyusun kebijakan tersebut, misalnya seperti PB Ikatan Dokter Indonesia (IDI) hingga Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi).
“Kami bahas dari bulan ke bulan, melibatkan semua asosiasi profesi terkait. Ada surat rekomendasi dari perhimpunan (asosiasi profesi). Ini kemudian ditarik oleh perhimpunan itu sendiri,” ujarnya.
Maya pun menjelaskan, ketiga Perdir Jampelkes itu terbit karena pengeluaran BPJS Kesehatan untuk pelayanan itu begitu besar, namun tidak efektif. Dia mengakui, langkah tersebut diambil juga dalam rangka memperkecil defisit keuangan perusahaan.
Berdasarkan catatan BPJS Kesehatan, klaim bayi baru lahir sehat selama 2017 sebesar Rp 1,17 triliun. Maya mengungkapkan, banyak bayi lahir sehat yang seharusnya hanya terkena biaya Rp 3,8 juta, namun diklaim oleh rumah sakit setara bedah caesar sebesar Rp 5,4 juta.
ADVERTISEMENT
“Sekarang hanya yang seksio (bedah caesar), kalau bayi lahir sakit bisa ditagihkan terpisah. Semua persalinan kami jamin, yang kami kecualikan yang lahir seksio dan dilihat bayinya sehat,” kata Maya.
Sedangkan untuk klaim operasi katarak, menurut dia selama 2017 sebesar Rp 2,65 triliun. Pihaknya meyakini, hal itu terjadi karena tidak ada batasan visual dalam penjaminan operasi katarak.
“Ini membuat ada beberapa rumah sakit memobilisasi masyarakat untuk melakukan operasi. Selama ini pelayanan katarak metode phacoemulsifikasi banyak dilakukan dokter yang belum tersertifikasi sesuai standar,” ucapnya.
Sementara untuk klaim rehabilitasi medik dan fisioterapi selama 2017 sebesar Rp 965 miliar. Dia menjelaskan, klaim bisa membengkak karena pelayanan kedokteran rehabilitasi medik banyak dilakukan oleh tenaga medis yang belum tersertifikasi sesuai standar.
ADVERTISEMENT
“Tentu kami BPJS Kesehatan tidak masuk ranah medis, tapi kami berdialog dengan ahlinya, kami tuangkan ke dalam aturan-aturan,” ucap Maya.
Namun demikian, Menteri Kesehatan Nila F Moeloek meminta agar penerapan kebijakan BPJS Kesehatan tersebut pada waktu itu ditunda. Sebab, ia memprediksi Perdir Jampelkes BPJS yang mengurangi manfaat pelayanan itu akan menuai polemik.
Dirut BPJS Kesehatan, Fachmi Idris, Rabu (5/9). (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
“Penghematan (dari kebijakan itu) hanya Rp 360 miliar. Jadi apa artinya sebenarnya dibandingkan ributnya luar biasa. Kami minta ditunda dulu supaya tidak terjadi polemik dengan maksud mendekati para asosiasi profesi ini,” paparnya.
Terkait defisit BPJS Kesehatan, dia mengungkapkan bahwa Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, bersedia untuk menutup. Namun sebelumnya, laporan keuangan BPJS Kesehatan di tahun 2017 harus diaudit oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Saat ini, laporan sudah diterima Kemenkeu dan sudah diumumkan secara terbuka di situs BPJS Kesehatan.
ADVERTISEMENT
“Menteri Keuangan baru bisa mengeluarkan uang kalau ada alasan yang tepat, maka dari itu harus diaudit BPKP. Soal defisit memang BPJS harus dibantu,” kata Nila.
Ketua Komisi IX DPR RI, Dede Yusuf membeberkan, Perdir Jampelkes yang diterbitkan BPJS Kesehatan sebenarnya melanggar aturan, sebab aturan direktur semestinya hanya berlaku internal. Perubahan manfaat pelayanan seharusnya melalui Perpres.
Nyak Sandang usai jalani oprasi katarak. (Foto: Humas ACT Aceh)
“Sesuai UU Nomor 40/2014, mengubah pelayanan yang berdampak pada publik itu harus Perpres, bukan Perdir. Kami mendapatkan pernyataan direksi, ada untuk efisiensi dalam kebijakan ini,”ujarnya.
Dia pun mengaku, Komisi IX DPR RI akan mendukung penuh penyelesaian masalah defisit BPJS Kesehatan, namun bukan dengan mengurangi layanan. Rencananya pada 25 September 2018, DPR akan mengundang Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk membahas persoalan defisit.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya pada 6 Agustus 2018, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengundang Direktur Utama BPJS Kesehatan, Fachmi Idris ke Istana Negara. Dalam kesempatan itu, Jokowi meminta BPJS Kesehatan untuk tidak mengurangi pelayanan meski alami defisit.
Berangkat dari arahan Presiden Jokowi, Fachmi menjelaskan pihaknya tidak mengambil opsi pengurangan pelayanan dan menaikkan iuran. Hasil pertemuan dengan Presiden, semua pihak sepakat subsidi pemerintah sebagai pilihan yang bisa diambil saat ini.
"Pilihan untuk menghilangkan, pilihan untuk mengurangi manfaat yang sudah dirasakan masyarakat itu tidak menjadi opsi. Opsi ketiga lah yang diambil untuk mengatasi anggaran berimbang ini. Opsinya adalah suntikan dana APBN," ungkap Fachmi kepada kumparan.