Bunga Tinggi, BI Ikut Dosa Bikin Pertumbuhan Ekonomi Segitu-gitu Saja

28 April 2019 22:34 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi ekonomi memburuk. Foto: Muhammad Faisal Nu'man/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi ekonomi memburuk. Foto: Muhammad Faisal Nu'man/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pemilu telah usai, ekonom mendorong kebijakan moneter Bank Indonesia harus diarahkan untuk bisa mendongkrak pertumbuhan ekonomi nasional yang lebih tinggi. Salah satunya dengan penyesuaian suku bunga yang menggairahkan sektor riil.
ADVERTISEMENT
Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Eko Listiyanto mengatakan, kebijakan moneter pasca-Pilpres perlu didorong untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi yang telah cukup lama di kisaran 5 persen.
“Pertumbuhan sebesar itu jelas tidak cukup mengantarkan Indonesia keluar dari jebakan negara berpenghasilan menengah,” katanya dalam diskusi online interaktif, Minggu (28/4).
Sebelumnya dalam rapat dewan gubernur, Kamis (25/4), Bank Indonesia (BI) memutuskan menahan suku bunga acuan 7-Day Reverse Repo Rate di kisaran 6 persen. Ini merupakan posisi yang bertahan tinggi sejak November 2018.
BI rate telah naik sebanyak 175 basis poin sejak 17 Mei 2018 hingga 15 November 2018, dari posisi semula 4,25 persen dan terus bertahan hingga kini di posisi 6 persen.
Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo menggelar rapat Dewan Gubernur BI April 2019 di Gedung BI, Jakarta. Foto: Ema Fitriyani/kumparan
Peneliti INDEF, Dzulfian Syafrian menambahkan, Indonesia butuh pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen jika ingin terbebas dari ‘kutukan' middle-income trap (jebakan penghasilan segitu-gitu saja).
ADVERTISEMENT
“Jika BI ragu, takut untuk merelaksasi kebijakan moneternya, BI turut berdosa membuat perekonomian kita hanya tumbuh segitu-gitu saja. Dalam jangka panjang, akumulasi dosa ini dapat membuat banyak masyarakat Indonesian akan tua sebelum kaya,” kata dosen Universitas Indonesia yang sedang studi doktoral di Durham University, Inggris itu.
Menurutnya, akibat suku bunga Bank Indonesia yang terlalu tinggi, daya beli masyarakat semakin tergerus. Baik itu daya beli rumah tangga maupun perusahaan. “Sehingga wajar kalau daya beli belakangan merosot karena dua hal, yakni rupiah melemah dan BI rate ketinggian.”
Teller Bank Mandiri menunjukkan uang pecahan Dolar AS dan Rupiah di Bank Mandiri KCP Jakarta DPR, Senin (7/1/2019). Kurs Rupiah terhadap Dolar AS menguat 1,3 persen menjadi Rp14.080. Foto: ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga
Padahal konsumsi rumah tangga, ujar Dzulfian, masih jadi penggerak utama pertumbuhan ekonomi nasional. Eko dan Dzulfian meyakini, lemahnya daya beli tercermin dari rendahnya inflasi.
ADVERTISEMENT
Menahan suku bunga seperti saat ini, dinilai hanya mengamankan para investor di sektor keuangan. Tapi sebaliknya bagi para pengusaha di sektor riil, termasuk UKM, tidak bisa membuat mereka meningkatkan skala usahanya. Alhasil pertumbuhan ekonomi akan stagnan, padahal tahun ini pemerintah mematok 5,3 persen, naik dari 2018 sebesar 5,17 persen.