Cerita Pertamina Kebut Proyek Gas JTB Tanpa Bantuan Asing

10 Oktober 2019 7:53 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pertamina Mulai Pengeboran Gas di Jambaran-Tiung Biru. Foto: dok. Pertamina
zoom-in-whitePerbesar
Pertamina Mulai Pengeboran Gas di Jambaran-Tiung Biru. Foto: dok. Pertamina
ADVERTISEMENT
Rig bernomor 40.3/DSI 1500-E terpasang di tengah Jambaran East, salah satu area dalam Lapangan Gas Unitisasi Jambaran-Tiung Biru (JTB). Rig tersebut akan mengebor hingga 2.700 meter ke berbagai arah di bawahnya. Di tengah terik yang mencapai 40 derajat Celcius, para pekerja berkaca mata hitam dengan pakaian khusus dan helm berlalu lalang bersiap melaksanakan pengeboran sumur.
ADVERTISEMENT
Keberadaan Rig setinggi 142 kaki atau 42 meter itu adalah penanda momen penting bagi penting bagi PT Pertamina EP Cepu (PEPC), anak usaha PT Pertamina (Persero) yang mengelola JTB. Pada 9 Oktober 2019, salah satu dari 4 proyek hulu migas yang masuk dalam Proyek Strategis Nasional ini memulai tajak sumur pertama setelah sempat terkatung-katung hingga 2017 lalu.
Pengeboran sumur gas pertama di JTB ini disaksikan langsung oleh Deputi Operasi SKK Migas Julius Wiratno, Direktur Hulu PT Pertamina (Persero) Dharmawan H Samsu, Bupati Bojonegoro Anna Muawanah, dan Direktur Utama PEPC Jamsaton Nababan.
"Kita akan ngebor 6 sumur, ini yang pertama untuk tajak. Mudah-mudahan semua proses drilling lancar. Ini milestone dari pengerjaan JTB," kata Jamsaton dalam sambutannya saat pelaksanaan prosesi tajak sumur di JTB, Bojonegoro, Rabu (9/10).
ADVERTISEMENT
JTB sempat diragukan bisa berjalan setelah ExxonMobil memutuskan untuk keluar dari proyek ini pada 2017 lalu. Tapi Pertamina menjawab tantangan. Hingga saat ini, secara keseluruhan progres proyek tersebut telah mencapai lebih dari 40 persen, lebih maju daripada rencana. Ini merupakan keadaan langka dari sebuah proyek.
Pertamina Mulai Pengeboran Gas di Jambaran-Tiung Biru. Foto: dok. Pertamina
PEPC awalnya bermitra dengan ExxonMobil Cepu Limited dalam mengoperasikan JTB. Pada 2015, revisi Plan of Development (POD) alias rencana pengembangan JTB diserahkan pada pemerintah. Exxon ingin menjalankan proyek JTB dengan biaya investasi (capital expenditure/capex) sebesar USD 2 miliar dengan produksi gas 172 MMscfd. Tingginya capex itu membuat harga gas yang dihasilkan jadi mahal, yakni mencapai USD 8 per MMbtu dengan eskalasi (kenaikan) 2 persen per tahun.
ADVERTISEMENT
Akibatnya tak ada yang mau membeli gasnya. PT PLN (Persero) dan PT Pupuk Indonesia (Persero) yang awalnya berminat, langsung mundur. Ketiadaan pembeli gas membuat proyek JTB mandek. Satu-satunya cara agar proyek ini bisa jalan adalah dengan menurunkan capex dan harga gasnya.
Tapi Exxon enggan memangkas harga gas JTB karena itu berarti menurunkan Internal Rate Return (IRR) alias tingkat pengembalian investasi. Menurut hitungan Exxon, proyek JTB jadi tak ekonomis kalau itu dilakukan. Sementara PEPC melihat sebenarnya ada peluang untuk menurunkan capex, yakni lewat pemilihan teknologi hingga mengurangi pekerja asing. Di sini, PEPC dan Exxon beda pendapat.
Akhirnya PEPC dan Exxon 'bercerai' pada 2017. Seluruh Hak Kelola (Participating Interest/PI) Exxon di JTB dibeli oleh PEPC. "Karena kita sendirian, kita lebih leluasa menguliti capex-nya," Jamsaton menuturkan.
ADVERTISEMENT
PEPC memulai langkah penghematan dengan mengganti teknologi yang digunakan untuk memisahkan gas bumi dengan kandungan CO2. "Waktu desain awal, ternyata di GPF-nya (Gas Processing Facility) saking dinginnya, gas itu jadi es. Kalau begini harus dibersihkan tiap minggu. Harus dicari jalan keluarnya. Kita cari teknologi yang lebih bagus. Ketemu teknologi membran. Memisahkan CO2-nya tanpa kimia. Kalau yang lama harus pakai kimia, capex-nya jadi lebih besar," ujar Jamsaton.
Pertamina Mulai Pengeboran Gas di Jambaran-Tiung Biru. Foto: dok. Pertamina
Pria kelahiran 1962 yang berkarir di Pertamina sejak 1990 ini menambahkan, pergantian teknologi yang dipakai untuk GPF ini membuat capex turun sampai sekitar USD 500 juta. Dari total penurunan biaya investasi sebesar USD 509 juta, hampir seluruhnya berasal dari sini.
Bahkan bukan hanya membuat biaya turun, produksi gas juga bertambah 20 MMscfd menjadi 192 MMscfd. Penyebabnya, teknologi yang dipakai untuk GPF ini tak membutuhkan banyak gas untuk bahan bakar, beda dengan teknologi yang direncanakan sebelumnya. Kenaikan produksi ini tak mengurangi masa produksi gas.
ADVERTISEMENT
"Tadinya pakai teknologi lama 315 MMscfd masuk, keluar 172 MMsfd. Sekarang masuk 315 MMscfd, bisa menghasilkan 192 MMscfd karena processing-nya," katanya.
Penurunan biaya investasi juga terjadi karena pengolahan kandungan H2S yang dipisahkan dari gas bumi. Tadinya direncanakan H2S tersebut diolah jadi pelet. Tapi limbah pelet tidak berharga, tidak bisa dijual. Setelah dikaji, ternyata kandungan H2S bisa diolah menjadi asam sulfat.
Pembangunan Fasilitas Pengolahan Gas di Jambaran-Tiung Biru. Foto: dok. Pertamina
Indonesia termasuk importir asam sulfat untuk bahan baku industri, salah satunya pupuk. Total impornya mencapai 800 ton per hari. Dari proyek JTB bisa dihasilkan 191 hingga 300 ton asam sulfat per hari. Ini sekaligus bisa mengurangi impor.
Langkah-langkah efisiensi itu membuat harga gas JTB turun dari USD 8 per MMbtu dengan eskalasi 2 persen per tahun menjadi hanya USD 6,7 per MMbtu dengan eskalasi 0 persen alias tidak akan naik. PLN jadi mau beli. Dengan tambahan tol fee sebesar USD 0,9 per MSCF karena gas dialirkan melalui pipa Gresik-Semarang, harga gas JTB untuk PLN menjadi USD 7,6 per MMbtu.
ADVERTISEMENT
Perkembangan proyek JTB yang menggembirakan ini mendapat apresiasi dari SKK Migas. Meski demikian, SKK Migas tetap mengingatkan PEPC agar terus menjalankan proyek dengan standar tinggi agar tak terjadi kecelakaan.
"Sampai detik ini tidak ada hal-hal yang mengganggu, ini luar biasa. Kita sedang mengukir another success story. Secara teknis operasional sudah dipersiapkan dengan baik tapi tetap berisiko, ada kandungan H2S. Tapi saya yakin sudah diantisipasi," kata Deputi Operasi SKK Migas Julius Wiratno.
Pembangunan Fasilitas Pengolahan Gas di Jambaran-Tiung Biru. Foto: dok. Pertamina
Julius juga berpesan agar jangan sampai biaya investasi di proyek JTB membengkak hingga melebihi USD 1,5 miliar. Sebab, kenaikan tersebut akan membuat pendapatan negara jadi tak optimal. Proyek JTB diproyeksikan akan meningkatkan pendapatan negara sebesar USD 3,61 miliar selama kontrak bagi hasil (PSC).
ADVERTISEMENT
"Kami dari SKK Migas tentu akan memperhatikan segala aspek, khususnya PSN. Kami monitor sangat ketat. Selalu akan kita dukung agar proyek JTB bisa berjalan dengan baik dan sukses. Yang kita tidak inginkan adalah biaya bengkak sehingga bagian negara turun," ucapnya.
Secara terpisah, Pengamat Ekonomi Energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Fachmi Radhi menyatakan bahwa pemerintah sudah memberi banyak kepercayaan, berbagai proyek besar diserahkan kepada Pertamina, salah satunya JTB. Ini adalah kesempatan bagi Pertamina untuk membuktikan kapabilitasnya dalam memperkuat kedaulatan energi nasional.
"Proyek-proyek besar diserahkan kepada Pertamina demi kedaulatan energi. Ada kekhawatiran, sejauh mana kemampuan Pertamina? Pertamina harus membuktikan bahwa dia mampu," tegasnya kepada kumparan.
Dharmawan H Samsu, Direktur Hulu PT Pertamina (Persero), optimistis pihaknya mampu menjawab keraguan. "Perjalanan masih panjang. Kita yakin kita bisa," tutupnya.
ADVERTISEMENT