Chatib Basri: Beberapa Kebijakan Pemerintah Makin Menekan Rupiah

24 April 2018 15:58 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi mata uang Dolar. (Foto: AFP/Adek Berry)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi mata uang Dolar. (Foto: AFP/Adek Berry)
ADVERTISEMENT
Nilai tukar rupiah melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Berdasarkan data Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesia (BI), kurs rupiah terhadap dolar AS pada Selasa (24/4) siang ini mencapai Rp 13.900. Sementara pada Senin (23/4) sore kemarin, rupiah sempat menyentuh level Rp 13.998.
ADVERTISEMENT
Menanggapi hal ini, Menteri Keuangan periode 2013-2014 M. Chatib Basri mengungkapkan, pelemahan rupiah terhadap dolar AS ini merupakan hal yang normal. Tentunya selama tidak ada kepanikan di dalam negeri.
Namun Dosen Fakultas Ekonomi Bisnis (FEB) Universitas Indonesia itu juga mengingatkan, tekanan terhadap rupiah bisa makin kuat, oleh kebijakan (policy) yang memicu kekhawatiran investor.
“Berbagai policy yang bisa membuat investor khawatir seperti price control, risiko over leverage BUMN, contingent liabilities. Pressure terhadap rupiah akan makin kuat,” katanya seperti dikutip dari akun twitter pribadinya @ChatibBasri.
Beberapa kebijakan yang dimaksud Chatib, seperti penetapan Harga Eceran Tertinggi (HET) produk pangan pokok. Selain itu juga keharusan peritel BBM meminta izin pemerintah, jika akan menaikkan harga BBM non-subsidi. Chatib juga memberi perhatian, pada beban BUMN yang menggarap proyek-proyek infrastruktur dengan kebutuhan dana besar.
ADVERTISEMENT
Komodo bond yang terlalu agresif juga dapat membuat rupiah rentan. Investornya mungkin baik, namun dengan rupiah yang melemah, return mereka menjadi turun. Bukan tak mungkin akan hit NDF (Non-Deliverable Forward), yang pada gilirannya menekan rupiah,” tambahnya. NDF merupakan instrumen derivatif, berupa kontrak pertukaran dua mata uang yang dipatok pada nilai tertentu.
Dari faktor eksternal, Chatib sudah menduga akan terjadinya penguatan dolar AS. Hal ini didorong oleh rencana kenaikan defisit anggaran AS, yang memicu kenaikan imbal hasil obligasi.
Chatib Basri (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Chatib Basri (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
Imbal hasil (yield) obligasi AS untuk tenor 10 tahun sudah menembus angka 3%. Pada Senin (23/4) kemarin, yield obligasi 10 tahun mencapai titik tertingginya sejak 2013, yakni sebesar 3,095%. Menurut Chatib, implikasi dari kondisi ini, kemungkinan bank sentral AS akan mempercepat kenaikan bunga acuan, peluangnya makin besar.
ADVERTISEMENT
“Yang perlu dijaga adalah current account deficit. Sejauh ini CAD normal. Namun bila CAD terus meningkat, dan the Fed mempercepat kenaikan bunga, maka stability over growth menjadi penting. Implikasinya tidak bisa berharap ekspansi moneter,” tandasnya.