Cost Recovery Bengkak, Nyaris Menyamai Penerimaan Negara dari Migas

5 Januari 2018 16:02 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Amien Sunaryadi (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Amien Sunaryadi (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
ADVERTISEMENT
Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) lagi-lagi gagal menekan pengembalian biaya operasi (cost recovery). Sepanjang 2017, cost recovery mencapai USD 11,3 miliar, melampaui pagu APBN-P 2017 yang sebesar USD 10,7 miliar.
ADVERTISEMENT
Cost recovery adalah biaya operasi yang dikeluarkan kontraktor untuk memproduksi migas. Biaya ini akan diklaim oleh kontraktor dan wajib diganti negara.
Berdasarkan data SKK Migas, cost recovery selalu membengkak setiap tahun, lebih besar dari pagu yang ditetapkan APBN. Misalnya pada 2012, pagu dalam APBN hanya USD 12,3 miliar, tapi realisasinya mencapai USD 15,6 miliar. Pada 2016, realisasi mencapai USD 11,6 miliar, padahal hanya dianggarkan USD 8,9 miliar.
Besaran cost recovery pada 2017 nyaris menyamai penerimaan negara dari hulu migas di tahun yang sama. SKK Migas menyebutkan bahwa penerimaan negara dari sektor hulu migas tahun 2017 sebesar USD 13,1 miliar.
"Capaian penerimaan negara dari hulu migas sekitar 108% dari target pemerintah," kata Kepala SKK Migas, Amien Sunaryadi, dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (5/1).
ADVERTISEMENT
Selain gagal dalam mengelola cost recovery, SKK Migas juga tak berhasil menggenjot produksi migas. Realisasi lifting migas sepanjang 2017 sebesar 1,944 juta barel ekuivalen minyak per hari atau 98,93% dari target yang dipatok dalam APBNP 2017.
Rata-rata, setiap tahun cost recovery membengkak 12% dari pagu di APBN. Karena itulah, pemerintah melalui Kementerian ESDM membuat skema Production Sharing Contract (PSC) baru, yaitu PSC Gross Split. Salah satu tujuan skema gross split adalah mendorong kontraktor migas lebih efisien dan produktif.