Curhat Pengusaha ke DPR soal Harga Batu Bara Dipatok USD 70/Ton

3 April 2018 16:40 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Lokasi stockpile tambang batu bara. (Foto: Sigid Kurniawan/Antara)
zoom-in-whitePerbesar
Lokasi stockpile tambang batu bara. (Foto: Sigid Kurniawan/Antara)
ADVERTISEMENT
Komisi VII DPR RI mengundang 15 perusahaan batu bara untuk membahas kondisi di lapangan setelah harga jual batu bara Domestic Market Obligation (DMO) untuk kelistrikan dipatok dengan batas tertinggi USD 70 per Metrik Ton (MT).
ADVERTISEMENT
Patokan harga batu bara untuk kelistrikan di dalam negeri itu diatur dalam Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM Nomor 1395K/30/MEM/2018 yang diberlakukan sejak 12 Maret 2018 lalu.
Para pengusaha batu bara mengaku perusahaan mereka berpotensi kehilangan pendapatan hingga triliunan rupiah tahun ini akibat aturan ini.
Direktur Utama PT Arutmin Indonesia, Ido Hutabarat, mengatakan perusahaan mereka berpotensi kehilangan pendapatan sebesar USD 67,8 juta atau sekitar Rp 920 miliar.
"Di tahun 2018 ini penurunan pendapatan kami sekitar USD 67,8 juta atau sekitar Rp 920 miliar sejak peraturan ini diberlakukan 12 Maret lalu," kata Ido dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) di Komisi VII DPR RI, Jakarta, Selasa (3/4).
Ido mengatakan potensi kehilangan pendapatan itu berasal dari batu bara yang akan dijual ke PLN tahun ini sebanyak 7,4 juta ton. Batu bara tersebut merupakan kuota 25% DMO yang ditetapkan pemerintah.
ADVERTISEMENT
Hal yang sama juga diutarakan salah satu Direktur Bumi Resources yang mewakili PT Kaltim Prima Coal (KPC), Eddie J Soebari. Eddie mengatakan KPC berpotensi kehilangan pendapatan Rp 2,5 triliun. Kehilangan pendapatan itu berasal dari jatah 25% DMO yang akan dipasok ke PLN atau sekitar 12,7 juta ton tahun ini.
"Terkait ketentuan DMO, sama dengan kawan-kawan lain, kami akan ikuti ketentuan DMO itu. Tapi untuk KPC sendiri, bicara DMO 25% itu 12,7 juta ton yang harus kita supply ke PLN. Dengan dibandingkan harga batu bara sebesar USD 70 per ton, ada potensi kehilangan pendapatan Rp 2,5 triliun," ujarnya.
Meski begitu, Eddie mengatakan potensi kehilangan pendapatan itu hanya sebesar 4% dari total pendapatan perusahaan tahun ini. Eddie menegaskan potensi hilangnya pendapatan itu akan ditambal dengan efisiensi internal dari perusahaan, salah satunya dengan membeli batu bara dari IUP lain.
ADVERTISEMENT
Selain itu, PT Adaro Indonesia yang merupakan produsen batu bara terbesar di Indonesia juga mengaku perusahaan akan kehilangan pendapatan akibat aturan ini. Tapi Adaro tak enggan mengungkapkan besarnya potensi pendapatan yang hilang.
"Dari sisi market terjadi gap, ini yang kita lakukan mitigasi risiko. Untuk 2018, kita lakukan upaya-upaya efisiensi, sehingga untuk 25% paling tidak kita bisa penuhi apa yang ditetapkan pemerintah untuk DMO 25%," jelas Direktur Pemasaran PT Adaro Indonesia, Hendri Tamrin.
Perusahaan lain yang juga mengaku akan kehilangan pendapatan adalah PT Kideco Jaya Agung. Direktur Kideco, Kurnia, mengatakan perusahaannya akan kehilangan pendapatan sebesar Rp 1,1 triliun. Tahun ini, produksi Kideco sebesar 32 juta ton. Dengan kewajiban DMO 25%, rata-rata dalam 6 tahun terakhir Kideco memasok 9 juta ton batu bara ke PLN.
ADVERTISEMENT
"Perhitungan kami terhadap penetapan harga USD 70 per ton, impact-nya ke penjualan Kideco itu Rp 1,1 triliun tahun ini," jelasnya.
Secara keseluruhan, meski berpotensi kehilangan pendapatan, perusahaan yang hadir mengaku mereka setuju dengan aturan pemerintah dan akan menjalankannya.
Berikut daftar ke-15 perusahaan yang diundang dan datang" PT Adaro Indonesia, PT Arutmin Indonesia, PT Berau Coal, PT Kaltim Primacoal, PT Kideco Jaya Agung, PT Indominco Mandiri, PT Antang Gunung Maratus, PT Borneo Indobara, PT Insani Bara Perkasa, PT Mahakam Sumber Jaya. PT Mandiri Inti Perkasa, PT Pesona Katulistiwa Nusantara, PT TRUbaindo Coal Mining, PT Bukit Asam, dan PT Bumi Rantau Energi.