PKB ke Menkeu: Cukai Rokok Naik 23 Persen, Matikan Petani dan Buruh

17 September 2019 10:30 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kepala Staf Presiden Moeldoko (kiri), Menteri Keuangan Sri Mulyani (tengah) dan Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto bersiap mengikuti rapat kabinet terbatas di Kantor Presiden, Jakarta, Selasa (13/8). Foto: ANTARA FOTO/Wahyu Putro A
zoom-in-whitePerbesar
Kepala Staf Presiden Moeldoko (kiri), Menteri Keuangan Sri Mulyani (tengah) dan Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto bersiap mengikuti rapat kabinet terbatas di Kantor Presiden, Jakarta, Selasa (13/8). Foto: ANTARA FOTO/Wahyu Putro A
ADVERTISEMENT
Pemerintah telah memutuskan untuk menaikkan cukai rokok sebesar 23 persen mulai 1 Januari 2020. Menteri Keuangan, Sri Mulyani, menyatakan keputusan itu ditetapkan dalam Rapat Kabinet Terbatas yang dipimpin Presiden Joko Widodo atau Jokowi, Jumat (13/9).
ADVERTISEMENT
"Kenaikan (cukai) ini sudah mempertimbangkan berbagai unsur dan kepentingan," kata Sri Mulyani usai Rapat Kabinet Terbatas, di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta.
Menyikapi ini, DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) meminta Menteri Keuangan Sri Mulyani agar mempertimbangkan lagi kenaikan cukai sebesar 23 persen tersebut. Alasannya, kenaikan itu pertama-tama akan memukul petani dan pekerja pabrik rokok.
"Kenaikan ini terlalu besar, lebih dari dua kali lipat dari kenaikan di tahun 2018 yang rata-rata sebesar 10.48 persen. Memang tahun ini cukai tidak naik, namun kan perhitungannya tidak perlu sampai dirapel dua kali lipat begitu," kata Ketua DPP PKB bidang Ketenagakerjaan dan Migran, Dita Indah Sari, di Jakarta, Selasa (17/9).
Selain menetapkan kenaikan cukai rokok dan produk tembakau secara umum, Pemerintah juga mematok kenaikan harga jual eceran rokok sebesar 35 persen. "Apalagi harga rokok juga dipatok (kenaikannya). Ini akan membunuh industri tembakau. Dan yang paling dulu kolaps adalah petani, pekerja rokok dan pabrik rokok kecil-menengah," ujarnya.
Ketua DPP PKB Dita Indah Sari mengkritisi kebijakan Sri Mulyani menaikkan cukai rokok. Foto: Maulana Ramadhan/kumparan
Dita menjelaskan, kenaikan cukai rokok dan harga jual eceran akan membuat volume permintaan turun drastis. Akibatnya pembelian tembakau petani oleh pabrik rokok akan menurun, baik jumlah maupun harganya. Pada akhirnya, dia memprediksi industri rokok dan tembakau akan mati pelan-pelan dan orang kehilangan pekerjaan.
ADVERTISEMENT
"Ibu Sri Mulyani, coba dipertimbangkan lagi. Ada 150 ribu buruh pabrik rokok, 90 ribu karyawan pabrikan, 1,6 juta petani cengkeh, 2,3 juta petani tembakau. Belum pedagang ecerannya 2,9 juta orang. Itu efek dominonya. Lagipula rata-rata pekerja pabrik tembakau adalah perempuan, usia tua dan low skill. Industri mana lagi yang mau terima mereka? Tidak ada," tandas Dita.
Meski demikian, Dita menyatakan PKB memahami kesulitan neraca penerimaan pemerintah. Selain kenaikan cukai, pemerintah juga ingin menggenjot PPN dari tembakau. Tapi menurutnya jangan dengan besaran yang membunuh industri.
"Cukai tidak naik sebesar itu saja industri ini sudah menurun. Tahun 2012 ada sekitar 1000 pabrikan, sekarang tersisa 456 saja. Kenaikan sebesar ini adalah zero-sum game bagi kita semua. Enggak ada yang menang pada akhirnya. Semua kalah. Dan yang kalah duluan adalah yang kecil," imbuhnya.
Pegawai pabrik rokok melakukan produksi manual. Foto: ANTARA/M Risyal Hidayat
PKB mengusulkan kenaikan cukai rokok sebesar 15 persen masih realistis. Itu pun tidak berlaku merata, karena Sigaret Kretek Tangan (SKT) yang padat pekerja, seharusnya naik di bawah itu. Sedangkan Sigaret Putih Mesin, bisa naik di atas angka 15 persen.
ADVERTISEMENT
"Jadi cukai tetap naik, pemerintah dapat tambahan uang untuk menambal defisit, namun industri tidak mati. Kami minta dipertimbangkan lagi," tutup Dita.