Defisit Perdagangan Terparah, Adakah yang Harus Kita Khawatirkan?

16 Januari 2019 11:03 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Chatib Basri (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Chatib Basri (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
ADVERTISEMENT
Defisit neraca perdagangan yang terjadi pada 2018 cukup dalam, terparah sejak Indonesia merdeka. Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik, neraca perdagangan minus USD 8,57 dolar AS.
ADVERTISEMENT
Ekonom senior yang juga mantan Menteri Keuangan Chatib Basri mengatakan, defisit perdagangan tersebut memang masih disebabkan sektor minyak dan gas (migas). Namun, harus diperhatikan juga dari sektor non-migas yang surplusnya merosot tajam.
"Mengapa? Surplus non migas tahun 2017 adalah USD 20.4 miliar, sedangkan tahun 2018 tinggal USD 3.8 miliar," kata Chatib dalam akun twitternya @ChatibBasri, Rabu (16/1).
Artinya, kata Chatib, terjadi penurunan surplus sebesar USD 16.6 miliar. Sedangkan dalam migas, kenaikan defisit yang terjadi relatif kecil, yaitu USD 3.9 milyar. "Disinilah kita harus memperhatikan sumbernya," ujarnya.
Ekspor non-migas tahun 2018 tumbuh sebesar 6,2 persen. Sementara ekspor migas 2018 tumbuh sebesar 10,1 persen. Impor migas dan non-migas masing-masing tumbuh 22,6 persen dan 19,7 persen.
ADVERTISEMENT
Menurut Chatib, pertumbuhan impor migas tersebut terlihat lebih besar dari non-migas namun pertumbuhan ekspornya juga lebih besar dari non migas. Padahal seperti diketahui, 90 persen impor Indonesia adalah bahan baku dan barang modal.
"Sehingga secara konseptual kita tak perlu khawatir karena impor ini adalah impor barang produktif (bukan konsumsi), yang akan menghasilkan produksi," katanya.
Namun, Chatib melanjutkan, yang perlu menjadi perhatian dan pertanyaan adalah mengapa impor barang modal dan bahan baku naik terus, namun pertumbuhan ekonomi tetap stagnan di 5 persen.
"Soal waktu kah? Karena ada senjang waktu dalam proses produksi? Atau inefisiensi?" ujarnya.
Dengan ICOR (Incremintal, Capital, Output, Ratio) yang saat ini sebesar 6.1, untuk menghasilkan 1 persen pertumbuhan ekonomi dibutuhkan 6.1 persen investasi per Produk Domestik Bruto. Artinya untuk menghasilkan output dibutuhkan modal yang tinggi.
ADVERTISEMENT
Kondisi tersebut, kata Chatib, bisa disebabkan dua hal, yakni Indonesia banyak mengimpor barang modal dan bahan baku (untuk infrastruktur) yang belum memberikan hasil atau memang produktifitas rendah.
"Dan inilah issue terbesar kita: produktivitas."
Chatib mengatakan peningkatan produktivitas hanya bisa dilakukan dengan reformasi ekonomi di sektor riil. Menurut dia, tanpa itu Indonesia akan terus terperangkap.
"Dan yang membahayakan walau dengan impor barang modal dan bahan baku yang tinggi, pertumbuhan nyaris tak bergerak," katanya.
Yang menarik, dia melanjutkan, walau defisit mencapai rekor, mengapa rupiah kemarin stabil?
"Hal Ini memperkuat argumen yang saya katakan. Dalam soal nilai tukar, kita juga harus melihat capital account. Rupiah akan melemah jika current account deficit yang dibiayai portfolio mendorong capital outflow akibat Fed
Suasana bongkar muat peti kemas. (Foto: REUTERS / Aly Song)
zoom-in-whitePerbesar
Suasana bongkar muat peti kemas. (Foto: REUTERS / Aly Song)
Isunya, kata Chatib, adalah arus modal portfolio yang mudah berpindah karena peka oleh gejolak eksternal seperti kebijakan the Fed. Saat ini, karena the Fed tampaknya akan “bersabar”, maka walau defisit neraca dagang mencapai rekor dampak terhadap rupiah terbatas, kecuali jika nanti Fed kembali agresif.
ADVERTISEMENT
"Maka itu kembali memperkuat argumen tentang perlunya financial deepening, perlunya FDI (Foreign Direct Investment), perlunya penerapan reverse tobin tax atau tobin tax (dikaji mana yang lebih cocok). Dan perlunya reform di sektor riil," kata Chatib.
Tanpa itu semua, Chatib menilai Indonesia akan terus terperangkap dalam isu stabilitas vs pertumbuhan. Dengan ICOR 6.1, kata dia, untuk tumbuh 6 persen dibutuhkan rasio investasi per PDB sebesar 36-37 persen. Padahal, tabungan domestik per PDB 32-33 persen.
"Artinya dengan pertumbuhaan 6 persen, defisit current account akan menjadi 4 persen."
Kalau kita memilih stabilitas dengan fokus pada defisit transaksi berjalan, maka ekonomi hanya akan tumbuh 5-5,5 persen. Namun jika yang dipilih adalah pertumbuhan, maka defisit transaksi berjalan akan naik dan rupiah melemah.
ADVERTISEMENT
"Kita harus memutus lingkaran setan ini dengan reformasi di sektor riil, mengundang PMA (FDI), financial deepening, dan menerapkan macro prudential seperti tobin tax atau reverse tobin tax," kata Chatib.