Dibilang Jokowi Kebangetan, BPJS Sudah Usulkan Cara Atasi Defisit

18 Oktober 2018 10:49 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Jokowi membuka Kongres ke-14 perhimpunan RS Indonesia di JCC Senayan, Rabu (17/10/2018). (Foto: Jihad Akbar/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Jokowi membuka Kongres ke-14 perhimpunan RS Indonesia di JCC Senayan, Rabu (17/10/2018). (Foto: Jihad Akbar/kumparan)
ADVERTISEMENT
Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyebut kebangetan (Keterlaluan) jika urusan pembayaran utang BPJS Kesehatan ke rumah sakit, harus sampai ke presiden. Terkait hal itu, BPJS Kesehatan sebenarnya sudah melakukan berbagai langkah untuk mengatasi masalah tersebut.
ADVERTISEMENT
Tanggapan Jokowi atas masalah keuangan yang membelit BPJS Kesehatan, disampaikan di acara Kongres ke-14 Perhimpunan RS Indonesia. "Masa setiap tahun harus dicarikan solusi, mestinya sudah rampunglah di Menkes, di Dirut BPJS. Urusan pembayaran utang rumah sakit sampai presiden. Ini kebangetan sebetulnya, kalau tahun depan masih diulang kebangetan," kata Jokowi, Rabu (17/10).
Dalam acara itu, hadir pula Menteri Kesehatan, Nila Moeloek dan Direktur Utama BPJS Kesehatan, Fachmi Idris.
BPJS Kesehatan mengalami defisit hingga triliunan rupiah, dalam empat tahun terakhir. Pada 2018 ini, defisit keuangannya diproyeksi mencapai Rp 10,98 triliun. Pemerintah pun telah menggelontorkan dana Rp 4,9 triliun untuk mengatasi defisit tersebut, pada 24 September 2018 lalu.
Tapi karena besarnya tunggakan ke berbagai rumah sakit, suntikan dana dari pemerintah itu langsung habis. Kepala Humas BPJS Kesehatan, Iqbal Anas Maruf, menjelaskan dana tersebut sudah habis untuk membayar tunggakan rumah sakit hingga Juli 2018.
BPJS Kesehatan (Foto: ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi)
zoom-in-whitePerbesar
BPJS Kesehatan (Foto: ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi)
Adapun pembayaran ke rumah sakit dilakukan pada 25-30 September 2018. “Kami langsung melakukan pembayaran ke rumah sakit, kan daftarnya sudah ada. Sudah habis,” ujarnya kepada kumparan, Rabu (10/10).
ADVERTISEMENT
Dalam rapat dengan Komisi IX DPR beberapa waktu lalu, Fachmi Idris mengungkapkan pangkal persoalan ini adalah rendahnya premi yang dibayarkan peserta penerima manfaat. Pada tahun 2017, rata-rata iuran per peserta berada di angka Rp 34.119, sedangkan biaya rata-rata per peserta justru sebesar Rp 39.774.
Belum lagi, dari premi yang sudah terlalu rendah itu, sebagian peserta juga menunggak pembayarannya. Angka kolektabilitas (ketertagihan) iuran premi BPJS Kesehatan hanya 54 persen.
"Artinya angka (defisit) akan semakin meningkat seiring dengan semakin pahamnya masyarakat pada program ini," kata Fachmi dalam Rapat Kerja Gabungan di Komisi IX DPR RI, Senin (17/9).
Berdasarkan perhitungan aktuaria Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) di tahun 2016, iuran PBI semestinya Rp 36.000, namun oleh pemerintah ditetapkan Rp 23.000. Artinya ada selisih Rp 13.000 per orang. Lalu untuk peserta kelas III seharusnya Rp 53.000, namun ditetapkan Rp 25.500. Untuk peserta kelas II dari semestinya Rp 63.000, tapi ditetapkan Rp 51.000.
Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris. (Foto: Kevin Kurnianto/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris. (Foto: Kevin Kurnianto/kumparan)
“Kalau tidak terjadi penyesuaian iuran yang tercantum dalam PP, kita akan terus membahas permasalahan yang sama,” kata Fachmi.
ADVERTISEMENT
Selain menaikkan iuran PBI, satu usulan lainnya adalah digitalisasi terutama rujukan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Kartu Indonesia Sehat (KIS). Dengan digitalisasi mengharuskan BPJS Kesehatan memiliki infrastruktur jaringan teknologi digital yang bisa mencakup seluruh wilayah Indonesia. Langkah ini penting untuk menekan markup tagihan yang disampaikan Fasilitas Kesehatan (Faskes).